Istilah “Gratis” selalu menjadi kata ajaib di negeri ini. Ia adalah mantra yang bisa membuat rakyat senyum-senyum meski dompet kering, dan bisa membuat politisi terlihat seperti malaikat penolong. Maka, ketika pemerintah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), wajar bila publik langsung berharap banyak. Apa ada yang lebih indah dari janji anak sekolah, santri, hingga ibu hamil mendapat makanan sehat tanpa harus merogoh kocek?

Apalagi, program ini didukung dengan anggaran super jumbo, sebesar 171 triliun untuk tahun 2025. Angka ini bukan sekadar deretan nol di layar, melainkan wujud ambisi negara untuk membangun masa depan. 171 triliun adalah simbol keseriusan, atau setidaknya tampak serius, untuk menyehatkan generasi muda. Bila uang sebanyak itu digunakan dengan tepat, maka mungkin stunting bisa ditekan, gizi buruk bisa dikurangi, dan anak-anak bisa belajar tanpa diganggu perut kosong.

Tapi, realitas tak pernah sesederhana baliho atau pidato pejabat. Alih-alih membawa kesehatan, MBG justru membawa petaka. Ribuan anak keracunan setelah menyantap nasi kotak gratis. Orang tua dipaksa menandatangani surat pernyataan bahwa risiko sakit anaknya bukan tanggung jawab pemerintah. Dan publik mulai sadar bahwa di balik kata “gratis”, selalu ada biaya mahal yang diam-diam ditagihkan.

Seperti sinetron yang selalu punya plot twist, MBG pun jadi tontonan penuh drama. Dari layar televisi hingga linimasa media sosial, yang muncul bukan cerita gizi sehat, melainkan berita anak muntah massal, antre di IGD, atau pingsan di kelas. Pertanyaannya sederhana, mengapa pemerintah belum juga melakukan evaluasi total? 

- Poster Iklan -

Hingga September 2025, sekitar lima ribu anak di berbagai daerah mengalami keracunan akibat makanan dari MBG. Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi wajah pucat anak-anak yang tiba-tiba tumbang di ruang kelas. Di Bengkulu, ratusan siswa muntah berjamaah. Di Banjarnegara, ratusan santri lemas serentak. Di Kupang, siswa SMP harus dirawat karena gejala keracunan. 

Alih-alih menjadi “makanan penyelamat”, MBG justru menjelma jadi “makanan percobaan”. Anak-anak seakan dijadikan kelinci laboratorium dari program yang tergesa-gesa. Gratis memang, tapi bayarannya mahal dengan kesehatan yang dipertaruhkan. Jika ini disebut “episode gizi sehat”, maka jalan ceritanya benar-benar menyedihkan.

Sinetron ini makin absurd ketika muncul isu tambahan mengenai surat pernyataan. Dimana orang tua harus menandatangani dokumen yang intinya menyatakan bahwa mereka setuju menanggung risiko bila anak mereka sakit atau keracunan. Gratis, tapi dengan disclaimer besar-besaran.

Bukankah logikanya terbalik? Negara yang menggagas program dengan anggaran triliunan justru menghindar dari tanggung jawab. Surat pernyataan ini ibarat adegan klasik di sinetron: pihak kuat selalu lolos dari masalah, sementara rakyat kecil dipaksa pasrah.

Bagi publik, ini menimbulkan rasa getir. Pemerintah tampak ingin mendapat pujian karena memberi makan gratis, tapi ketika ada masalah, yang disalahkan justru rakyat sendiri. Gratis di mulut, lepas tangan di kertas.

Mari kita kembali pada inti persoalan. Dengan uang sebanyak 171 triliun, seharusnya bisa membuat program MBG menjadi mahakarya. Dengan jumlah tersebut, pemerintah bisa membangun ribuan sekolah, mendirikan rumah sakit modern di setiap kabupaten, atau memberi subsidi gizi langsung kepada jutaan keluarga.

Tapi apa yang terjadi? Ribuan anak masuk rumah sakit, orang tua dibuat bingung, dan kepercayaan publik merosot. Anggaran raksasa yang seharusnya jadi solusi justru berubah jadi bahan sindiran.

Bayangkan jika 171 triliun itu digunakan untuk program yang lebih sederhana tapi nyata. Hasilnya mungkin lebih jelas, lebih aman, dan tidak perlu drama. Tapi pilihan yang diambil justru program nasi kotak serentak, yang ujung-ujungnya menimbulkan bencana kecil di ruang kelas.

Sulit menolak aroma politik dalam MBG. Diluncurkan dengan gegap gempita, dihias dengan jargon “generasi emas 2045”, program ini lebih tampak sebagai panggung pencitraan ketimbang kebijakan berbasis kebutuhan rakyat.

Mengatur makan bergizi untuk jutaan anak setiap hari bukan perkara sederhana. Ia butuh infrastruktur distribusi, standar mutu, tenaga terlatih, dan pengawasan ketat. Namun pemerintah seakan lebih peduli pada citra ketimbang kesiapan lapangan. Yang penting terlihat megah, soal hasil belakangan.

Rakyat pun akhirnya jadi penonton sinetron panjang ini. Mereka hanya bisa menyaksikan anak-anak mereka jadi aktor dalam drama yang ditulis terburu-buru. Kita harus kembali ke akal sehat. Niat program ini baik, tapi niat baik saja tidak cukup. Yang dibutuhkan sekarang adalah evaluasi total, bukan tambal sulam.

Evaluasi berarti pemerintah harus berani menilai ulang, apakah model distribusi nasi kotak massal adalah pilihan terbaik? Atau sebaiknya diganti dengan skema lain? Cara yang lebih fleksibel, lebih transparan, dan mengembalikan tanggung jawab pada keluarga, bukan pada dapur massal yang sulit diawasi.

Evaluasi juga berarti transparansi penuh. Publik berhak tahu siapa penyedia makanan, bagaimana kontraknya, dan siapa yang harus bertanggung jawab bila terjadi keracunan. Jangan lagi ada surat pernyataan yang memindahkan beban ke pundak orang tua. Negara tidak bisa terus menerus jadi penonton yang hanya muncul di baliho, tapi absen ketika rakyat menderita.

Program Makan Bergizi Gratis adalah contoh klasik janji manis yang berubah pahit. Ia lahir dari niat mulia, tapi lahir prematur, tanpa kesiapan nyata. Hasilnya bukan gizi sehat, melainkan drama keracunan massal. Rakyat kecil, yang katanya jadi prioritas, justru menjadi korban pertama.

Karena itu, tuntutannya jelas, bahwa pemerintah harus melakukan evaluasi total, sekarang juga. Bukan tahun depan, bukan setelah lebih banyak anak tumbang, tapi sekarang. 171 triliun bukan angka kecil, dan setiap rupiahnya adalah uang rakyat yang harus kembali dalam bentuk manfaat nyata, bukan trauma massal.

Negara harus berani turun dari panggung sinetron, berhenti memainkan skenario yang hanya indah di kata-kata, dan mulai bekerja dengan logika sehat. Jika tidak, MBG hanya akan tercatat sebagai episode memalukan dalam sejarah pembangunan bangsa.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here