Dini hari, Saya tiba di Bandara Makassar, untuk transit, kemudian lanjut melaju ke Sorong, lalu ke Manokwari, disambung perjalanan darat 6 jam ke Bintuni. Sebuah kota di Teluk Bintuni, Papua Barat.

Ada sebuah pekerjaan dari salah satu NGO Internasional, Samdhana Institute, untuk masyarakat adat Moskona di Bintuni, yang terdiri dari 4 marga : Yen, Yec, Masakoda, dan Ogonai.

Saya diajak berangkat kerja ke Papua oleh Sahabat Saya, Nugie Lukas Kristian, kawan lama asal Salatiga, penganut Katolik yang lebih sering nonton Youtube nya Gus Baha daripada Saya yang islam dari lahir.

Sebuah perjalanan panjang, mengingat Saya berangkat start awal dari Kediri. Singgah dulu di Jombang, ada mampir di Surabaya, dan baru terbang dari Juanda. Terasa spesial dan istimewa, karena ini pertama kalinya, perjalanan dan pengalaman Saya, menginjak tanah Papua.

- Poster Iklan -

Rombongan tiba di Bintuni sekitar ashar, setelah sempat singgah sejenak di gunung botak, di Manokwari Selatan, menyeruput es kelapa muda batok, setelah melaju diatas kendaraan double cabin yang disewa dari Manokwari.

Tujuannya, menata dan mengawal launching sebuah market-hub bernama : Agromos Bintuni. Meetup perdana pada Kamis malam, digelar di Mace Kitchen, sebuah resto & cafe di Bintuni. Beberapa identifikasi awal dilakukan, Saya gunakan pendekatan tiga poin : Produk x Prospek x Penawaran. Benar saja, ketiganya bermasalah. Pemahaman produk dangkal, list prospek kurang, dan penawaran lemah. Kronis akut ini.

Namun tenang, ini bukan kondisi pertama kali yang ditemui seperti ini. Bahkan boleh dibilang, ini adalah kondisi yang kerap ditemui dalam banyak situasi. Untuk sebuah event, dengan target peserta 200 orang, posisi saat itu baru terdaftar 21 orang, dalam posisi acara akan digelar 5 hari kemudian. Memberi stres yang bertubi-tubi.

Dibereskan satu persatu. Pemahaman produk dipertajam dan diperdalam, team secara internal diberi bekal dulu, apa acaranya, apa faedahnya, siapa narasumbernya, tema apa yang dibahas, nilai tambah yang dimuat, serta kelangkaan yang bisa dijadikan daya tarik.

Setelah produk dapat diuraikan, PR berikutnya, adalah : Prospek dan Penawaran.

Tim Saya ajak untuk mengkonkretkan list, sebenarnya prospek calon konsumen (peserta) sebenarnya ada berapa? Ada 4 orang team inti yang diikutkan meeting dengan Saya. Masing-masing Saya berikan kertas kosong dan pulpen, dan Saya berikan waktu satu jam untuk menuliskan 50 nama dan nomor kontak, dari jaringan mereka, dengan kriteria yang sudah disepakati. Lumayan, agar fokus dalam sejam tersebut, dan kudu menghasilkan minimal 50 nama dan nomer WA. Sekitar 1 nama dan WA dalam setiap menitnya. Saya libatkan dan uji seberapa AKAMSI mereka, sebagai bukti bahwa mereka Anak Kampung Sini, anak Bintuni, yang lahir, tumbuh, dan hidup di kota ini.

Ketemu, dalam sejam dapat di kumpulkan sekitar 220 nama dan WA berbeda. Itupun sudah dipastikan tidak ada nama dan WA yang sama, ditulis lintas orang, karena dikerjakan bersama dan di verifikasi silang antar orang. Beres poin ke 2, yakni perkara prospek, sudah bisa dioprek.

Perkara ke 3, yakni penawaran, harusnya sudah bisa dijalankan, tinggal dilakukan, ya kan? Oh, tidak semudah itu Ferguso, karena ternyata nomer WA Hotline Agromos, ternyata kena pembatasan, karena di hari hari sebelumnya, nomer yang baru dan unyu ini, langsung dipakai untuk broadcast dan blast WA. Tentu sama oleh aplikasi WA nya, dihambat dan dibatasi, mungkin kata mereka : eits, tidak boleh terlalu barbar ya nomer baru!

Pusing lagi jadinya Kami. Mau kerja, tapi alatnya bermasalah. Tapi kebetulan, Saya ada 2 HP dan 2 nomer, maka tanpa pikir panjang, salah satu HP dan nomer milik Saya, langsung Saya pinjam dan serahkan ke Panitia, untuk digunakan mengundang prospek peserta yang telah di list, satu persatu. Saya sangat larang dan ketat batasi, kali ini tidak boleh di broadcast atau di blast WA. Istilah Saya, kali ini perlunya, Kita kunjungi, datangi, samperin, satu persatu, para prospek calon peserta, dengan kendaraan berupa : WhatsApp.

Sesuai pemahaman dan pengalaman Saya. Baik jualan maupun bikin acara, penjual atau penyelenggara event, umumnya mengambil posisi untuk melakukan : publikasi. Bikin poster, bikin video, upload, posting, sebar, dan berharap dapat pembeli atau peserta. Paling males mikir, langsung di blast dan broadcast, sebar sebar, sebar, ambyar.

Apa bisa? Ya bisa saja. Apa boleh? Ya boleh saja.

Tapi, dalam skala tertentu, daripada sebar sebar ambyar, daripada publikasi yang terbukti tidak efektif di proses sebelumnya, cuma dapat 21 peserta, Saya ubah pendekatan. Publikasi diubah menjadi invitasi. 200 nama yang sudah dimasukkan dalam list, dihubungi secara personal, satu persatu, disapa dan diajak ngobrol saru persatu, diundang satu persatu, dan dikonfirmasi kesanggupan hadirnya satu persatu.

Capek? Tentu!

Lelah? Pasti!

Perlu lebih banyak waktu dan energi? Jelas!

Tapi, proses ini, terasa berbeda, karena perkembangan tugas menjadi jelas. Saya minta Team memilah respon menjadi 3. Label merah (❌) untuk prospek yang nomernya mati atau tidak respon, kemudian label kuning (⚠️) untuk prospek yang nomernya aktif, dan merespon komunikasi, tapi belum daftar, lalu label hijau (✅) untuk prospek yang aktif, merespon, dan konfirmasi mau mendaftar ikut acara. Untuk nomer yang label merah, Saya minta di degradasi dan dieliminasi, lalu wajib diganti dengan nomer prospek baru yang masih fresh sesuai kriteria.

Situasi jadi seru, karena tingkat perhatian berkembang, tingkat respon meningkat, dan jumlah penambahan peserta bergerak dalam angka yang signifikan. Kok bisa? Karena tentu saja, pendekatannya lebih intimate dan personal, per orang merasa diperlakukan dengan lebih perhatian, dan karena diundang secara spesifik, jadi lebih aware dan care.

Hari pelaksanaan tiba, acara digelar di Gedung Serba Guna Teluk Bintuni, gedung terbesar du Bintuni. Acara digelar dalam 2 sesi. Pagi berhasil mendatangkan 110 an peserta, dan sesi siang berhasil dihadiri 130 an peserta. Melampaui target 200 peserta.

Hebat Team Agromos Bintuni. Pada hari tersebut, Kami membuktikan, bahwa ketika Kita berkomunikasi dengan prospek calon konsumen secara intensif, hasilnya akan lebih efektif. Hanya komunikasi dari hati yang dapat dirasakan oleh hati yang lain. Masuk akal sih, karena saat Kota broadcast blast, Kita kan mengirimnya tanpa rasa peduli, ya wajar juga kalau penerima pesan juga cuek dan nggak peduli juga dalam merespon.

Timbul kesimpulan dalam pikiran Saya. Bahwa berkomunikasi dengan orang lain, itu seperti memberi prompt ke AI. Kalau hasil responnya salah, maka, sebenarnya yang perlu dievaluasi adalah prompt nya. Karena AI merespon sesuai prompt yang diberikan. Jadi kalau respon orang salah saat berkomunikasi dengan Kita, maka, kuat dugaan, memang pesan awal yang Kita lakukan, memang bermasalah.

Bukan mereka yang nggak mau beli produk atau nggak mau ikut acara Kita, namun bisa jadi karena Kita yang ruwet dan nggak seru menyampaikannya. Mereka jadi tidak tertarik, atau sekedar : gagal paham.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here