Pernah dengar pepatah, “Kalau tidak membaca, tak bisa menulis”? Kalimat itu bukan sekadar kata mutiara, tapi fakta. Membaca dan menulis itu ibarat dua sisi mata uang —  tak bisa dipisahkan. Seperti teori kendi. Kalau kita menulis tanpa membaca, ibarat orang lumpuh. Tapi kalau cuma membaca tanpa menulis, ya pincang juga.

Intinya, dua-duanya penting. Tapi tunggu dulu, jangan bangga dulu cuma karena kamu hobi membaca. Kenapa? Karena membaca saja, ternyata belum cukup.

Sekarang coba tanya ke diri sendiri, kenapa sih Anda mau membaca? Hanya buat nambah pengetahuan? Supaya bisa ngomong pintar di tongkrongan? Atau biar terlihat keren di depan orang lain?

Kalau jawabannya iya, ya agak sedih juga. Karena itu artinya Anda membaca hanya buat diri sendiri. Semacam egois intelektual. Padahal ilmu itu baru punya makna kalau dibagikan, salah satunya lewat tulisan.

- Poster Iklan -

Bayangkan seperti anak muda yang baru belajar silat. Baru bisa jurus dasar aja, tapi sudah gaya seperti pendekar hebat di depan temen-temennya. Nah, banyak juga orang yang baru membaca satu dua buku, tapi ngomongnya udah seperti profesor. Ini efek dari membaca tanpa menulis. Perumpamannya, kita jadi haus pengakuan, bukan haus makna.

Stephen R. Covey pernah bilang, “Apa yang diingat orang tentangmu setelah mati? Cuma dua. Namamu, atau karya yang kamu tinggalkan.” Nah, kalau Anda cuma baca tanpa menulis, kira-kira apa yang bakal diwariskan?

Sejarah penuh dengan bukti bahwa tulisan punya kekuatan besar. Bahkan bisa mengubah arah dunia. Coba lihat Karl Marx. Dari buku Manifesto Komunis dan Das Kapital, muncul gerakan besar yang mengguncang sistem sosial dan ekonomi dunia selama lebih dari satu abad. Tulisan Marx menginspirasi banyak gerakan buruh untuk melawan ketidakadilan. Ia tidak cuma baca realitas sosial, tapi juga menulis untuk mengubahnya.

Lalu ada Niccolò Machiavelli dengan Il Principe (Sang Pangeran). Waktu itu Italia sedang kacau. Politik berantakan, ekonomi lemah, dan agama pun tidak stabil. Dari situ, Machiavelli menulis panduan “gila” tentang cara jadi pemimpin yang kuat. Bahkan kalau harus menghalalkan segala cara demi kekuasaan dan persatuan.

Atau lihat Adolf Hitler dengan Mein Kampf. Meskipun caranya kelam dan kejam, buku itu berhasil membakar semangat bangsa Jerman untuk bangkit dari keterpurukan. Bukunya menunjukkan bagaimana tulisan bisa menumbuhkan kepercayaan diri kolektif  — sekaligus menjadi pengingat bahwa pena bisa lebih tajam dari pedang.

Dari Thomas Paine dengan Common Sense sampai Charles Darwin dengan The Origin of Species, semua membuktikan satu hal. Dunia berubah bukan karena omongan kosong, tapi karena tulisan yang lahir dari pikiran dan perenungan dalam.

Seperti kata Ahmad Wahid dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam, membaca itu baru satu langkah. Kalau cuma membaca tanpa mengamati sekitar, pikiran kita bisa tumpul. Kita simak pendapatnya;

 

“Terlalu banyak persentase waktu untuk membaca itu tidak baik. Kita hanya sekedar akan menjadi reservoir ilmu. Pikiran otentik yang kita adakan maksimal hanya dalam kerangka kemungkinan-kemungkinan yang diberikan dalam suatu buku dan perbandingannya dengan buku sarjana-sarjana lain. Banyak  membaca harus diimbangi dengan banyak merenung dan banyak observasi langsung. Harus ada keseimbangan antara membaca, merenung dan mengamati. Dengan demikian kita akan mampu membentuk pendapat sendiri dan tidak sekedar mengikuti pendapat orang atau memilih salah satu diantara pendapat yang berbeda-beda.

24 April 1969.

Maknanya apa? Kita butuh observasi. Melihat dunia nyata, mendengar cerita orang, memahami konteks. Dan setelah itu? Ya menulis. Karena lewat tulisan, semua hasil baca dan amatan itu bisa punya arah dan makna.

Menulis bukan cuma menuangkan isi kepala, tapi juga cara berpikir. Saat menulis, kita diajak menata logika, mengasah empati, dan menyeimbangkan emosi. Tapi biar tulisan punya “jiwa”, ada satu hal lagi yang sering dilupakan, merenung.

Banyak orang salah paham. Merenung dianggap membuang waktu. Padahal justru dari merenung, ide-ide besar lahir. Saya punya pengalaman menarik. Saya suka merenung  di bawah jembatan sungai Bengawan Solo. Di sana, saya tidak cuma melamun, tapi memikirkan apa yang mau ditulis, bagaimana cara menyusunnya, sampai media mana yang cocok untuk memuat tulisannya. Jadi, merenung bukan hanya bengong.

Suatu malam, setelah salat Tahajud, saya tidak bisa tidur. Di teras kos “Wisna SUN” Solo, sambil merenung. Tiba-tiba teringat berita tentang program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Dari situ muncul ide tulisan. Saya langsung bikin konsep, edit, ketik pakai mesin tik manual jadul (merek KOFA), dan kirim ke koran Wawasan. Beberapa hari kemudian, tulisannya dimuat (3 Juni 1992). Semua bermula dari satu momen merenung  dini hari (30 Mei 1992).

Nah, di sinilah kekuatan 3M bekerja: Membaca, Menulis, dan Merenung. Tiga hal yang tidak  bisa dipisahkan. Membaca itu seperti mengisi bahan bakar. Menulis adalah mesin yang menggerakkan. Dan merenung adalah kemudi yang menentukan arah.

Kalau kamu cuma membaca, Anda penuh pengetahuan tapi tak tahu cara menyalurkannya. Kalau cuma menulis tanpa membaca, tulisannya bisa kosong atau salah arah. Dan kalau dua-duanya Anda lakukan tanpa merenung, hasilnya mungkin cepat tapi dangkal.

Merenung bikin kita berhenti sejenak untuk memproses apa yang sudah dibaca dan diamati. Di situ, ide tumbuh, makna terbentuk, dan arah menjadi jelas. Bahkan saat orang lain tidak tahu Anda lagi mikir apa, di dalam kepala Anda sedang terjadi “rapat besar” antara pengalaman, bacaan, dan intuisi.

Seringkali, orang yang suka merenung dianggap aneh. Padahal justru di situlah proses menjadi diri sendiri. Saat Anda membaca, Anda menyerap dunia luar. Saat Anda menulis, Anda mengekspresikan dunia dalam. Dan saat Anda merenung, Anda menemukan keseimbangan antara keduanya.

Menulis tanpa merenung memang bisa dilakukan, tapi hasilnya sering mentah. Merenung membantu kita berdialog dengan diri sendiri. Ia berusaha mempertanyakan. Apa yang mau disampaikan? Kenapa ini penting? Bagaimana agar orang lain juga bisa merasakan pesan itu? Mungkin tidak  ada yang tahu apa yang Anda pikirkan saat menatap kosong ke langit malam. Tapi di situ, Anda sedang mematangkan ide yang suatu hari bisa mengubah orang lain.

Membaca, menulis, dan merenung bukan sekadar kegiatan intelektual, tapi gaya hidup. Tiga hal ini saling melengkapi. Seperti kopi, gula, dan air. Tanpa salah satunya, rasanya tidak lengkap. Dengan membaca, kita membuka jendela dunia. Dengan menulis, kita meninggalkan jejak di dunia. Dengan merenung, kita menemukan arah di dalam dunia.

Jadi, kalau kamu ingin hidup yang tidak cuma “pintar”, tapi juga bermakna, lakukan 3M. Baca sebanyak mungkin, tulis sesering mungkin, dan renungkan setiap langkah. Karena dari 3M inilah lahir orang-orang yang bukan cuma tahu banyak, tapi juga mampu memberi makna bagi sekitarnya.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here