Menulis dan berpikir itu seperti dua sisi mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan. Kalau Anda tidak terbiasa berpikir, Anda juga akan kesulitan menulis. Tapi, berpikir saja belum cukup. Kita juga perlu bisa berpikir dengan runtut, logis, dan sistematis supaya tulisan kita enak dibaca.

Robert Pinckert, dalam bukunya The Truth About English, bilang, “Writing is thinking. If you cannot think, you cannot write.” Artinya, menulis itu adalah berpikir. Kalau Anda tidak bisa berpikir, Anda juga tidak bisa menulis. Jadi, belajar menulis sebenarnya sama saja dengan belajar berpikir.

Nah, karena menulis erat kaitannya dengan cara berpikir, otak kita juga butuh “asupan” agar tetap tajam. Salah satu caranya adalah membaca. Tapi menariknya, bukan cuma membaca buku-buku serius yang bisa membantu kita menulis artikel dengan baik. Justru membaca novel dan cerpen juga punya peran penting di situ.

Saya sudah lama menulis artikel, tapi sampai sekarang masih rutin membaca novel dan cerpen. Alasannya sederhana. Membaca novel membantu saya bernalar dan berpikir dengan lebih hidup. Sejak kuliah, saya suka menyewa novel-novel klasik karya Asmaraman S. Kho Ping Ho. Dari sana saya belajar banyak hal. Mulai dari cara penulis membangun alur, karakter, sampai cara mereka memainkan emosi pembaca. Ternyata, kebiasaan ini berpengaruh besar terhadap gaya menulis saya.

- Poster Iklan -

Menulis artikel itu aktivitas yang cukup serius. Begitu juga membaca buku-buku teori atau referensi berat. Kalau terlalu sering membaca hal-hal serius, tulisan kita bisa jadi kaku, kering, bahkan susah dipahami. Sebaliknya, ketika saya mulai rutin membaca novel dan cerpen, gaya tulisan saya jadi lebih renyah, mengalir, dan hidup. Bahasa yang awalnya kaku berubah jadi lebih cair dan enak dibaca.

Tapi tentu saja, semua harus seimbang. Kalau terlalu banyak baca buku serius, tulisan kita jadi terasa seperti naskah akademik. Kalau terlalu banyak baca novel, tulisan artikel kita malah bisa terdengar seperti cuplikan cerita fiksi. Padahal, artikel butuh kejelasan dan fokus. Jadi, membaca novel itu semacam bumbu tambahan. Cukup untuk memberi rasa, tapi jangan sampai menutupi inti masakan.

Saya juga punya pengalaman menarik dengan novel sejarah Bende Mataram karya Herman Pratikto. Dulu, saya pertama kali mengenalnya dari siaran radio, lalu meminjam bukunya di persewaan. Saking sukanya, ketika novelnya diterbitkan ulang, saya beli semua 15 serinya dan membacanya ulang. Tak berhenti di situ, saya juga melahap karya-karya SH Mintardja seperti Nagasasra dan Sabuk Inten dan Api di Bukit Menoreh. Dari situ saya belajar bahwa membaca novel tak sekadar hiburan, tapi juga latihan memahami gaya bahasa, struktur cerita, dan cara penulis menyampaikan pesan. Semua itu akhirnya ikut membentuk cara saya menulis artikel.

Bagi saya, membaca dan menulis itu seperti dua napas dalam satu kehidupan. Kalau salah satunya berhenti, yang lain juga akan melemah. Saya pernah berhenti membaca cukup lama. Hasilnya? Kemampuan menulis saya ikut tumpul. Begitu juga sebaliknya. Saat lama tidak menulis, butuh waktu lama untuk kembali menemukan ritmenya. Karena itu, saya selalu berusaha agar kegiatan membaca — entah novel, cerpen, atau buku serius — tetap berjalan di sela-sela aktivitas menulis.

Kadang, orang heran melihat saya yang masih suka membaca cerpen di tengah rutinitas menulis artikel. “Bukannya cerpen itu cuma hiburan?” begitu katanya sebagian. Tapi bagi saya, justru di sanalah letak manfaatnya. Membaca cerpen membuat pikiran lebih rileks. Kita bisa menikmatinya sambil rebahan, mendengarkan musik, atau bahkan menonton TV. Tapi tanpa sadar, imajinasi kita sedang diasah. Bahasa kita ikut terbentuk. Gaya menulis kita jadi lebih ekspresif.

Coba perhatikan penulis seperti Romo Mudji Sutrisno. Ia dikenal sebagai penulis filsafat, tapi tulisannya mudah dipahami. Mengapa? Karena ia juga seorang budayawan yang gemar membaca karya sastra. Bacaan semacam itu memberi “rasa” pada tulisannya, membuatnya lebih hangat dan manusiawi.

Memang, membaca novel atau cerpen bukan kewajiban bagi semua penulis. Tapi kalau Anda merasa tulisan Anda mulai terasa kering, mungkin  butuh bacaan yang lebih “berwarna”. Tidak ada salahnya menyelipkan satu dua novel ringan di antara daftar bacaan serius.

Menulis memang soal berpikir, tapi berpikir juga butuh bahan bakar. Novel dan cerpen bisa menjadi “vitamin” bagi sebuah tulisan agar tidak kaku dan membosankan. Jadi, jangan hanya membaca buku-buku teori atau referensi berat. Sesekali, izinkan diri sendiri menikmati cerita. Karena dari sanalah, gaya menulis akan menemukan napas baru. Lebih hidup, mengalir,  menarik, menghibur dan lebih “aku banget”.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here