Satu momen Saya dihubungi oleh seseorang, Ibu Ibu, yang bertanya. Mas Faizal Alfa, bisa bantu bikinkan website nggak? Konteksnya, sang Ibu nampaknya habis mengikuti pelatihan yang digelar oleh salah satu dinas, dan mendapat materi : digital marketing, dan oleh narasumbernya diberikan materi tentang website untuk menunjang usaha. Sang Ibu dengan polos, fokus, dan lurus, mencoba menyelaraskan langkah, menindaklanjuti, dan mencari yang dia kenal, salah satunya : Faizal Alfa. Tentu saja, kalau bikin website, ada dan bisa. Tapi Saya coba dalami dulu.

Ibu usahanya apa? Produknya apa? Konsumennya selama ini siapa? Cara jualannya bagaimana? Dan dengan cepat akurat kemudian Saya simpulkan, bahwa sang Ibu ikut pelatihan yang kurang tepat, atau, panitia pelatihan yang salah ngasih tema pelatihan, atau narasumber pelatihan yang keliru memberikan jenis materi yang tidak disesuaikan dengan segmen pesertanya, atau, entahlah, ya ndak tau kok tanya Saya. Karena sang Ibu sih akhirnya wok de tok, not only tok de tok. Pokoknya tepuk sakinah deh sama penyelenggara acara.

Dengan lemah lembut Saya sampaikan pada sang Ibu. Saya perdalam tanya, Ibu mau bikin website, tujuannya buat apa? Beliau menjawab, biar jualan Saya makin laris Mas. Sederhana kebutuhannya.

Produknya adalah camilan, yang kalau Saya petakan ada 3 jalur penjualan, yakni :

- Poster Iklan -

A. Penjualan langsung ke end user.

B. Penjualan melalui pusat oleh oleh.

C. Penjualan online melalui marketplace dibantu anaknya.

Nah kembali ke urusan website, Saya tanya ke Beliaunya, butuhnya bagaimana sih Ibu?

  1. Kalau dicari di online, ada dan ketemu.
  2. Kalau dicari alamatnya, ada dan ketemu.
  3. Kalau mau ditelepon, ada dan ketemu.
  4. Kalau mau dicari foto dan videonya, ada dan ketemu.
  5. Meningkatkan eksistensi dan reputasi online.

Kemudian Saya bilang ke sang Ibu. Kalau kebutuhannya dalam lingkup tersebut, apalagi jenis usahanya juga bukan model B2B (business-to-business) maka dalam sudut pandang dan pendapat Saya, belum banget banget perlu website. Karena, bikin websitenya sudah effort, perlu waktu, tenaga, biaya. Belum lagi maintenance atau pengelolaannya, belum lagi kalau domain dan hostingnya cuma 1 tahun, apalagi lupa memperpanjang, maka bukannya dapat website, sang Ibu cuman akan dapat hikmahnya.

Ibu, gimana kalau Ibu Kita bantu bikin Google Mas?

Ada wajah heran di wajah Beliau. Mas, Saya ini mau bikin website, kok malah dibuatkan Google Maps?

Coba Kita telaah :

Perlu eksistensi online, ada alamat, ada nomer WA, ada rating dan ulasan.

Ya sudah, beres itu Google Maps, toh juga ada insightnya juga. Berapa yang kunjung, berapa yang klik alamat, berapa yang klik telepon, ada berapa ulasan, ada berapa pesan masuk, ada semua tercatat datanya. Urusan foto dan video bisa tambahkan di media, mau menu, produk, harga, bisa dipasang semua, beres, dan memudahkan. Kalau ada yang mau kunjung dan datang, tinggal : kirim shareloc.

Nah, iya juga ya. Pondasi berpikirnya kan : tujuannya sama, dengan solusi dan cara yang lebih praktis.

Minimal ada di Google Maps.

Karena kalau nggak ada Google Mapsnya, mau ngasih shareloc susah, mau naik ojol ke lokasi ribet, tukang paket nanya alamat kirim ya riweh.

Kalau sudah ada Google Maps nya, ngajak konsumen ngasih rating dan ulasan juga gampang, sehingga yang puas bisa nampang.

Sama saja sebenarnya manfaat yang didapat. Punya website atau ada punya Google Maps. Keduanya juga sama sama muncul di hasil pencarian Google.

Karena kalau belum punya Google Maps, itu kayak warga ilegal. Ada dan tinggal, tapi nggak diakui sama Pak Lurah. Karena sama Pak Lurah dibilang nggak ada. Lha gimana, lha nggak pernah laporan ke Pak Lurah untuk pendataan warga.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here