Malam itu (11/4/22) menjadi malam yang berkesan bagi saya, sebab telah mengikuti diskusi “Ngaji Sastra jilid 2: Refleksi Sosial dalam Sastra dan Seni” bersama Iksan Skuter, yang diselenggarakan komunitas Pondok Langgeng. Meskipun diskusi dilakukan secara tatap maya, tetapi kekeluargaan tampaknya tak bisa hilang begitu saja. Pancaran motivasi yang diberikan Iksan Skuter mendadak memberikan semangat baru bagi para penggiat seni.
Tak mau berlama-lama, saya mau memperkenalkan Iksan Skuter secara singkat saja, karena siapa, sih, yang tidak mengenal beliau? Beliau adalah seorang musisi (penyanyi maupun penulis lagu) yang lahir di Blora, 30 Agustus 1984. Musik-musiknya yang terkesan “pembangkit jiwa” inilah yang membuat lagu-lagunya dikenal penikmat musik.
Namun ternyata, sebelum musik-musiknya dikenal oleh masyarakat luas, Iksan Skuter pernah melalui 2 fase. Fase pertama, beliau masuk industri musik sebagai kreator yang diatur oleh pemodal, atau sederhananya ia membuat karya atas dasar keinginan pemodal. Dari sana, hasil yang dikeluarkan justru monoton, karena memang pasar Indonesia kebanyakan bertemakan cinta jarak jauh, perbedaan agama, dan sebagainya.
Setelah merasa “dikontrol”, beliau akhirnya mulai memasuki fase kedua. Di fase kedua ini beliau memberanikan diri menjadi penyanyi, solois, dan penulis lagu mandiri. Tentu saja beliau juga mengubah tema-tema lagunya, sesuai dengan perasaan dirinya saat itu. Iksan berusaha untuk jujur, agar lirik yang disampaikan bisa dirasakan oleh pendengar secara real tanpa dibuat-buat.
Pesan lagu yang dapat diterima publik secara real yaitu ketika Iksan menulis lagu “Bapak” dan “Pulang“. Lagu berjudul “Bapak” menyadarkan publik agar dekat kembali dengan sosok bapak, begitu pula Iksan sendiri. Lagu “Pulang” juga dibuat untuk menyadarkan publik bahwa rumah adalah tempat paling aman dan nyaman.
Dari sini, muncullah istilah yang dipegang teguh oleh Iksan Skuter, bahwa industrilah yang harus dikontrol seni, bukan malah sebaliknya. Ketika industri dikontrol seni, terbitlah suatu pesan kehidupan nyata dari penyanyi dan penulis lagu pada publik.
Saya yang mendengar kisah itu sempat tersadarkan, kalau segala sesuatu yang dilakukan secara jujur pasti akan menghasilkan sebuah karya yang indah.
Sembari memikirkan satu hal penting itu, Iksan kini melanjutkan pembicaraannya mengenai musisi saat ini. Akhir-akhir ini, jarang sekali seni musik itu bicara dengan hal-hal realisme. Kebanyakan musik itu hanya tentang cinta jarak jauh, seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya.
Hal yang menjadi pembeda, Iksan lebih menyukai musik berbau kehidupan real dari suatu kejadian. Rupanya, banyak pendengar yang menyukai. Dari sini Iksan merasa bahwa seni itu akan lebih disukai apabila liriknya diungkapkan secara jujur.
Setelah Iksan mengutarakan hal itu, entah mengapa suasana diskusi tiba-tiba hening. Jujur, saya pribadi sedang berpikir sambil mengiyakan apa-apa saja yang sudah dikatakan Iksan barusan.
Saat hening, Yusron Ridho memantik sebuah diskusi terkait musik Iksan yang ada sisi tasawufnya. Dengan cekatan, Iksan langsung menjawab. Iksan bahkan tidak tahu dan tidak memasukkan unsur sufi/tasawuf.
Menurutnya, perspektif orang berbeda-beda. Mungkin saat itu ada pihak yang memahami ilmu tasawuf, sehingga pihak itu bisa mengaitkan lagu Iksan dengan tasawuf. Namun, satu hal yang ia pegang teguh, “Tuhan berikan saya kelebihan dan sebuah peran. Logikanya saya tak akan bisa paham tentang kunci, chord, alat musik, nada, dan sebagainya, padahal saya dari pelosok,”
Diskusi pun terus berlanjut. Kini Ridwan, pemantik diskusi kedua yang berkaitan dengan kesuksesan dan kegagalan. Sebenarnya, jika suatu karya sudah jadi berarti sudah sukses. Bonus jika dinikmati banyak orang dengan ketenaran. Tolok ukur kegagalan dan keberhasilan itu berasal dari sudut pandang masing-masing musisi. Sukses menurut Iksan yaitu ketika dia sudah melahirkan musiknya (tak termasuk dikenal banyak orang).
Terkadang, kreator karya terjebak dalam data digital. Kebanyakan menganggap karya gagal karena views, subscribers, dan followers tidak sebanyak musisi lainnya yang lebih dikenal. “Seharusnya jangan menganggap gagal, karena kalau sudah berani menciptakan karya berarti itu hal yang bagus. View 32 juta bukanlah keberhasilan, tapi malah bencana dikarenakan terjebak pada data digital,” tutur Iksan. Contoh nyatanya ketika Iksan berada di konsernya. Di sana, penonton hanya meminta 1-2 lagu yang tenar, padahal Iksan punya 18 album.
Selanjutnya, Budi Siswanto memantik panasnya diskusi. Budi mengeluarkan unek-uneknya terkait K-Pop yang sangat terkenal di Indonesia (berkebalikan dengan musik-musik asli Indonesia). Menurut Iksan, K-Pop sangat percaya diri dengan apa yang dilakukan. Di sisi lain, kenyataannya memang banyak sekali musisi Indonesia yang tidak percaya diri dengan karyanya.
Rasa tidak percaya diri itu timbul ketika batasan followers ada. Jika pendengar musiknya sangat banyak, berarti karyanya bagus. Jika tidak, berarti karyanya jelek. Doktrin inilah yang harus diubah di Indonesia, agar budaya dan musik kita lebih dikenal di negara sendiri tanpa membatasi diri dengan digitalisasi.
Selanjutnya, Khoirunnisa tampak sedikit menanggapi diskusi di atas dengan ilustrasi anak muda yang mudah terbawa tren. Mudahnya anak muda terbawa tren ini tentu membuat Iksan resah. Keresahan ini bermula ketika anak muda terbawa kata ‘viral’, sehingga mereka hanya mengikuti perkembangan zaman tanpa melihat musik yang benar-benar berbobot.
Tentu saja dari sini Iksan sebagai musisi hanya bisa fokus dengan melawan keviralan itu dengan karyanya sendiri. Meskipun karya tidak dikenal, setidaknya ada pesan moral yang terkandung di dalamnya, daripada asal viral tetapi tidak memiliki makna baik.
“Melawan karya dengan karya, bukan melawan dengan cocot,” tutur Iksan dengan semangat membara.
Di sisi lain, Iksan memberikan sebuah intermezzo terkait cover lagu. Iksan senang apabila pengamen dan penyanyi café menyanyikan ulang lagunya demi bertahan hidup. Namun, Iksan bersikeras menentang apabila ada penyanyi cover yang memang dasarnya sudah tenar dan tidak izin dalam cover lagu Iksan, tentu saja Iksan tidak terima. Ibaratnya penyanyi itu bisa semakin tenar, tetapi kreator menjalani hidup dalam kondisi berkebalikan.
Di akhir, Rizki Hidayat memberikan sebuah pertanyaan menarik mengenai ide Iksan dalam penulisan lagu. Iksan mendapatkan ide yang notabene dari hasil perjalanan mengendarai motor. Namun, ada juga ide lagu yang muncul ketika Iksan sedang berada di Jakarta. Kala itu di salah satu warung, ada sekumpulan bapak-bapak yang asyik mengobrol membahas tayangan tv tentang berita partai tertentu. Saat itu ada celetukan “anjing partai itu”. Dari sana, timbullah lagu berjudul “Partai Anjing” yang terinspirasi dari kehidupan di sekitarnya.
ilustrasi: https://www.instagram.com/artcologi/?hl=id