Peringatan: Tulisan ini mengandung konten yang mungkin menimbulkan rasa tidak nyaman atau mengingatkan pada pengalaman traumatis. Mohon baca dengan hati-hati dan penuh empati untuk penyintas

Belakangan ini, berita tentang pelecehan dan kekerasan seksual semakin sering terdengar hingga membuat masyarakat mulai terbiasa dengan fenomena ini. Hampir setiap hari, kita menemui laporan berbagai kejadian tersebut. Seperti, keberadaan pesan dan ujaran seksis yang tersebar luas di media sosial menjadi fenomena global seiring kemajuan dan meningkatnya akses teknologi komunikasi berbasis internet. Pada 2015, UN Women dan UN Broadband Commission melaporkan dari Networked Intelligence for Development bahwa 73% perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan online. Di ruang-ruang publik, catcalling dan bentuk pelecehan lainnya dialami oleh empat dari lima perempuan berdasarkan temuan survey KRPA (Koalisi Ruang Publik Aman) pada tahun 2021 lalu. Pemeriksaan kesehatan pun bisa disalahgunakan, seperti yang dilakukan oleh seorang dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tidak hanya itu, kasus ini juga banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Menurut laporan Komnas Perempuan dalam CATAHU 2023 (Catatan Tahunan 2023), kekerasan seksual di perguruan tinggi mencapai 78% dari total kasus selama 2021 hingga 2024. Bahkan tempat ibadah pun tidak luput dari pelecehan, seperti kasus yang terjadi di toilet sebuah masjid di Jakarta Selatan Januari 2025 lalu. Masih banyak jenis kasus yang mungkin tak bisa saya perinci satu per satu.  

Stigma kebanyakan orang meyakini pelecehan hanya terjadi pada perempuan. Padahal Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) mencatat kasus pelecehan seksual terhitung dari bulan Januari 2025 hingga saat ini  terdapat 23.493 kasus. Dengan perincian 20.135 kasus korbannya adalah perempuan sedangkan 4.956 korbannya laki-laki. Data tersebut bisa berubah seiring waktu. Selain itu, data dari Simfoni PPA juga menunjukkan peningkatan kasus kekerasan termasuk pelecehan pada rentang tahun 2020-2024 mengalami peningkatan. Itu semua data yang terlapor, belum terhitung mereka yang memilih untuk tidak bersuara. 

Tak sedikit pelaku yang lolos dari sanksi sosial dan hukum dibiarkan berkeliaran bebas begitu saja sedangkan para korban tak bisa berkutik apapun selain terpaksa berdamai dengan trauma mereka. Mau bagaimana? sekadar bercerita pun mereka merasa malu dan jijik dengan diri mereka sendiri apalagi untuk melapor. Melapor membutuhkan keberanian yang besar dan tentu itu bukan hal yang mudah. Begitu mereka memutuskan melapor, kebanyakan yang terjadi mereka tidak mendapatkan keamanan melainkan kejadian serupa yang menimbulkan trauma baru lagi. Jika sampai terdapat benih kehidupan di tubuh perempuan. Pilihannya adalah menjadi orangtua tunggal, menikah dengan pelaku, aborsi, dan tak sedikit juga yang memilih mengakhiri hidupnya sebagai jalan terakhir.

- Poster Iklan -

Masih banyak masyarakat yang keliru dalam menanggapi peristiwa pelecehan seksual. Mereka lebih sibuk berasumsi ‘Apa yang dilakukan korban sampai berhasil memancing keluar nafsu pelaku? Mengapa korban tidak melawan saat hal itu terjadi? Mengapa korban tidak lebih berhati-hati lagi?’ dan mengapa lainnya sampai mereka tidak menyadari bahwa tindakan pelaku tidak akan pernah bisa dibenarkan, apapun alasannya. 

Yang patut disalahkan adalah pelaku yang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

Padahal, tidak ada satupun manusia yang ingin dilecehkan. Saya rasa, pemikiran ini sudah cukup sehingga kita tak akan pernah sibuk menyalahkan korban dengan asumsi sok tahu kita. Suka-suka orang saja mereka memakai pakaian terbuka atau tertutup, melakukan apapun yang mereka mau di tempat publik, atau bahkan dalam kondisi bermabuk-mabukan (yang kata mereka pantas dilecehkan dalam kondisi tersebut). Tak ada alasan yang membenarkan pelecehan. Toh, mereka yang memakai pakaian tertutup, beribadah di masjid, bahkan thawaf di tanah suci pun bisa terkena pelecehan.

Persetan dengan masyarakat yang mengatur bagaimana sepantasnya kita berpakaian dan berperilaku agar tidak mendapat siulan dan berbagai perlakuan sialan itu. Semuanya bisa menjadi korban. Anak-anak, remaja, dewasa, lansia, difabel, entah perempuan atau laki-laki. Bukan manusia saja, hewan pun juga bisa menjadi korban kebejatan moral pelaku. 

Pelecehan seksual tidak hanya meninggalkan luka fisik yang terlihat. Jika dilihat lebih dalam terdapat rasa malu dan trauma yang begitu hebat dirasakan penyintas. Hal ini tentu sangat memengaruhi kesehjateraan mental mereka dalam jangka panjang. Cemas, depresi, sampai kesulitan bersosialisasi. Oleh karena itu, proses pemulihan mereka harus didukung oleh akses terhadap layanan psikologis yang profesional dan pemahaman dari lingkungan sekitar yang inklusif dan suportif. 

Sayangnya, kebanyakan korban memilih tidak melapor karena takut tidak dipercaya atau justru dihakimi. Sistem hukum yang ada seringkali kurang responsif dan malah menghadirkan tantangan baru bagi korban, sehingga reformasi dalam penegakan hukum harus menjadi prioritas agar pelaku mendapatkan sanksi yang tegas dan penyintas memperoleh perlindungan optimal. Selain itu, upaya pencegahan harus dilakukan melalui pendidikan sejak dini yang mengajarkan nilai-nilai respek dan batasan personal, sekaligus membangun solidaritas sosial yang aktif menentang segala bentuk kekerasan seksual. Solidaritas dan peran serta aktif setiap individu serta komunitas sangat penting untuk menolong penyintas serta menghapus stigma yang melekat pada mereka.

Para penyintas sudah cukup menderita dengan trauma yang mereka miliki. Tak perlu kita menambahkan dengan sibuk menyalahkan mereka ini itu. Etika kita adalah tidak memberikan luka baru dengan tidak memberikan mereka komentar yang menyakitkan, serta selalu menghormati privasi dan hak-hak penyintas. Karena, sikap empati dan dukungan yang penuh pengertian sangat penting dalam membantu kelancaran proses pemulihan mereka.

Lagipula, orang yang berkomentar “sama-sama mau”. Jika bukan karena kejadian yang merenggut kehormatan nan traumatis itu kenapa penyintas kerepotan merawat luka-lukanya sendiri?

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here