Pernah dengar ungkapan ini? Kalau mau jadi penulis, jangan baperan. Kalimat itu ada benarnya. Menulis itu dunia yang penuh komentar, saran, bahkan sindiran. Tidak semua tanggapan menyenangkan. Ada yang membantu kita berkembang. Ada juga yang bikin kita pengin gulung naskah lalu “resign” jadi penulis.
Sebelum terlalu jauh, ada empat tipe pengkritik yang bakal Anda temui saat tulisanmu mulai dibaca orang lain. Pertama, orang yang caranya salah dan isinya juga salah. Mereka menyerang tulisanmu dengan nada tinggi, tapi tanpa dasar yang jelas. Misalnya bilang tulisannya jelek hanya karena tidak menyertakan teori akademik dalam artikel populer. Cara salah, isi pun salah.
Kedua, orang yang isinya benar, tapi cara menyampaikannya bikin Anda panas dingin. “Anda baru menulis dua artikel saja sudah menyerah. Bodoh, “katanya sambil menuding wajah di depan publik. Sebenarnya niatnya mengingatkan. Hanya caranya salah dan melukai harga diri.
Ketiga, orang yang sopan dan elegan saat mengkritik, tapi isi kritiknya ngawur. Mereka mungkin berkata halus bahwa menulis itu gampang tinggal salin sana sini. Padahal semua penulis tahu mencomot karya orang tanpa sumber itu disebut plagiat. Jadi sopan bukan berarti tepat.
Keempat, pengkritik terbaik. Caranya santun dan isinya membantu. Mereka berbagi pengalaman. Menjelaskan bahwa menulis tidak tergantung bakat semata. Yang paling penting usaha dan latihan terus. Kritik seperti ini bikin kita sadar diri tanpa merasa dipermalukan.
Empat tipe ini hampir pasti Anda temui sepanjang perjalanan menulis. Karena itu, kalau Anda tidak siap dikritik, jangan berharap bisa bertahan lama di dunia kepenulisan. Kritik itu kadang pahit, tapi justru bergizi buat perkembangan karya.
Banyak penulis pemula akhirnya memilih diam karena takut dinilai. Takut dianggap sok pintar. Takut tulisan jelek. Padahal semua penulis besar pernah menulis buruk. Semua penulis terkenal pernah dikritik pedas. Bedanya, mereka bertahan.
Saya pun pernah mengalaminya. Dulu waktu masih mahasiswa, saya memberanikan diri meminta senior membaca artikel saya. Saya berharap pujian kecil. Yang datang malah tuduhan, tulisan saya tidak bermutu, tidak punya ide baru, hanya kumpulan kutipan, bahkan disebut seperti sampah. Jujur, saya sakit hati. Tulisan itu saya buat dengan waktu dan tenaga. Mendengar komentar seperti itu rasanya ingin berhenti menulis.
Untungnya saya cepat sadar. Saya berkata pada diri sendiri, “Kritik itu boleh saya dengarkan atau saya abaikan”. Yang penting saya tidak berhenti. Saya ingat, kalau saya menyerah waktu itu, saya tidak akan pernah tahu sejauh apa kemampuan saya berkembang.
Kritik juga menuntun kita membuka mata. Menulis itu bukan hanya soal menuangkan pendapat. Menulis juga tentang menghargai pendapat pembaca lain. Ketika artikel saya tentang musik dimuat di Pikiran Rakyat di Bandung, saya sama sekali tidak menduga ada pengamat musik Jerman yang membaca tulisan tersebut. Seorang profesor musik lagi. Komentarnya keras. Ia membongkar kelemahan saya dalam memahami topik. Saya sempat tertegun. Namun saya jadikan momen itu sebagai hadiah. Saya belajar lebih banyak, membaca lebih luas, dan memperbaiki cara saya menulis. Hasilnya, saya tetap menulis di media itu. Lebih hati-hati, lebih matang. Yang penting tetap dimuat.
Ada juga penulis pemula yang bingung ketika tulisannya ditanggapi orang lewat artikel balasan. Perlu dibalas atau tidak. Jawabannya tergantung situasi. Jika tanggapan itu mendukung atau hanya menambahkan data, Anda tidak wajib menanggapi. Kalau mengkritik gagasanmu dan Anda punya argumen kuat, Anda boleh menanggapi. Namun tetap dengan kepala dingin. Jangan terpancing emosi sampai tulisan jadi ajang balas dendam.
Rasa takut dikritik sering membuat writer’s block. Kita sibuk membayangkan reaksi orang. Bukan fokus memperbaiki kualitas tulisan. Padahal belajar menghadapi kritik itu bagian penting dari perjalanan seorang penulis.
Anda boleh kecewa ketika kritik datang. Itu manusiawi. Namun jangan biarkan rasa itu menghentikan langkah. Setiap komentar bisa Anda jadikan bahan saringan. Mana yang perlu diterima. Mana yang cukup Anda senyumi lalu simpan ke folder “buang”.
Pesan seorang motivator Indonesia, Andrie Wongso, bisa Anda ingat, “Tidak masalah berapa banyak orang yang meremehkanmu. Yang penting Anda jangan meremehkan dirimu sendiri”. Orang yang menunjuk Anda dengan satu jari, tiga jari lainnya sebenarnya mengarah pada dirinya. Sementara ibu jari jadi saksi bahwa setiap ucapan punya konsekuensi.
Jadi mulai sekarang, jangan takut karyanya dibaca orang. Jangan takut dinilai. Kritik bukan tanda Anda buruk. Kritik adalah bukti bahwa tulisan Anda diperhatikan. Lebih baik dikritik daripada tidak dibaca sama sekali.
Penulis besar tidak lahir dari pujian, melainkan dari keberanian menghadapi kritik. Yang membuatmu berkembang bukan tepuk tangan penonton, melainkan keteguhan untuk bangkit setelah dikomentari pedas. Tulis. Kirim. Dapat kritik. Perbaiki lagi. Selama Anda tidak menyerah, Anda sudah selangkah lebih dekat menjadi penulis yang dihormati dan bereputasi.





















