Peristiwa robohnya bangunan berlantai empat di Pondok Pesantren Al Khaziny Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin sore, 29 September 2025, mendapat sorotan luas, bukan hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari mancanegara. Misalnya, AFP—salah satu media besar asal Prancis—melaporkan bahwa pada Rabu (1/10/2025) masih ada 91 orang yang terjebak di balik reruntuhan. Bahkan, telah beredar kabar bahwa tiga orang dinyatakan meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.

Menurut penjelasan KH Abdul Salam Mujib, pengasuh Pondok Pesantren Al Khaziny Buduran, bangunan yang roboh itu sebenarnya sedang dalam tahap renovasi. Atap bangunan baru saja selesai dicor pada siang hari sebelum peristiwa nahas itu terjadi. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) kemudian mengungkapkan bahwa penyebab ambruknya bangunan empat lantai tersebut adalah pondasi yang tidak kuat menahan beban.

Di sisi lain, muncul isu yang cukup ramai diperbincangkan pasca tragedi itu, yakni soal tradisi roan (gotong royong) yang sejak lama menjadi tradisi turun temurun di pesantren. Isu ini mencuat ketika salah seorang wali santri korban bercerita bahwa saat kejadian, anaknya sedang ikut ngecor di lantai empat. Fakta tersebut menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana tradisi roan aman untuk tetap dilestarikan tanpa menimbulkan risiko bagi para santri?

Bagi mereka yang pernah mondok, istilah roan atau kerja bakti berjamaah tentu sudah sangat akrab. Roan merupakan tradisi turun-temurun di banyak pesantren. Ia bahkan menjadi salah satu momen yang paling ditunggu oleh para santri. Biasanya, ketika ada proyek pembangunan pondok, para santri akan sangat antusias dan bersemangat untuk ikut serta. salah satu alasan yang membuat mereka sangat bersemangat adalah karena  di momen itulah mereka bisa menunjukkan kekompakan angkatan masing-masing. Jadi, roan atau ngecor berjamaah bagi para santri bukan sekadar memasukkan pasir, kerikil, dan semen ke dalam molen, tetapi juga menjadi ajang pembentukan karakter dan peningkatan keterampilan.

- Poster Iklan -

Lebih jauh, roan dipandang sebagai bentuk pengabdian diri sekaligus wujud rasa terima kasih kepada sumber ilmu yang selama ini mereka peroleh. Banyak santri menganggap keterlibatan mereka dalam pembangunan fisik pesantren sebagai amal ibadah sekaligus investasi spiritual. Dalam konteks ini, roan bukan hanya tentang konstruksi bangunan, tetapi juga konstruksi nilai.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas roan masih jauh dari standar teknis konstruksi. Banyak kegiatan roan dilakukan tanpa pengawasan profesional dan minim perlengkapan keselamatan. Karena itu, peristiwa di Pondok Pesantren Al Khaziny Buduran harus menjadi bahan evaluasi serius bagi banyak pesantren di Indonesia—khususnya bagi para pengasuh, pengurus, maupun santri.

Pesantren harus membuka mata bahwa dalam setiap hal, termasuk dalam memanifestasikan nilai gotong royong, standar keselamatan harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, semangat kebersamaan bisa justru berujung pada duka mendalam.

Tradisi roan di satu sisi memang efektif menanamkan nilai kebersamaan, tanggung jawab, dan solidaritas. Banyak alumni pesantren yang mengaku mendapatkan manfaat berharga dari tradisi ini ketika mereka sudah terjun ke masyarakat. Mereka terbiasa bekerja kolektif, menghargai jerih payah orang lain, serta memahami makna kebersamaan. Namun, di sisi lain, roan bisa menjadi kontra-produktif, bahkan membahayakan, bila tidak ada pengawasan yang ketat serta sosialisasi mengenai standar operasional. Jangan sampai keselamatan diposisikan setelah solidaritas.

Dalam konteks ini, sudah seharusnya ada terobosan baru yang menggabungkan nilai tradisi dengan prinsip profesionalisme. Misalnya, pesantren dapat tetap melibatkan santri dalam tradisi roan, tetapi di bawah arahan tukang berpengalaman atau tenaga ahli konstruksi. Selain itu, perlu ada penyediaan alat pelindung diri (APD) sederhana, seperti helm dan sarung tangan, serta pembekalan singkat mengenai cara kerja yang aman. Dengan cara itu, tradisi roan tetap hidup, tetapi dalam format yang lebih bertanggung jawab.

Ke depan, sebagaimana disampaikan Menteri Agama KH Nasaruddin Umar, harus ada pembenahan di sektor pembangunan pesantren agar sesuai dengan standar dan prosedur. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan lembaga terkait dapat menjadikan tragedi Al Khaziny sebagai momentum untuk memperketat regulasi pembangunan di lingkungan pesantren, sekaligus memberikan pendampingan teknis.

Tenang saja, roan akan tetap menjadi bagian integral dari kehidupan pesantren. Pasti. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu disadari dan dibenahi. Pesantren tidak perlu menghapus tradisi tersebut, tetapi wajib memastikan bahwa nilai kebersamaan tidak lagi dipertentangkan dengan nilai keselamatan.

Akhirnya, tulisan ini tidak bermaksud mengkritik apalagi menghapus tradisi roan di pesantren, melainkan mengajak semua pihak untuk memperbaiki pelaksanaannya. Harapannya, tragedi yang menimpa Pondok Pesantren Al Khaziny tidak terulang lagi di pesantren-pesantren lain.

Kepada seluruh korban, semoga Allah memberi pahala besar atas niat ikhlas mereka mengabdi di jalan ilmu, menerima amal-amalnya, dan menempatkan mereka di tempat terbaik di sisi-Nya. Untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga Allah melimpahkan kesabaran dan ketabahan. Kepada seluruh korban—lahuma al-Fatihah.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here