“Pada suatu malam, beberapa orang tukang becak menemukan bungkusan plastik berisi daging merah. Karena gembira mendapat rezeki nomplok, mereka bersama-sama menggoreng daging itu; setelah menaburkan garam dan sedikit bumbu. Goreng daging tercium gurih. Mungkin karena terlalu banyak lemak, goreng daging itu mengecil. Mereka heran melihat ada secuil kapas menempel. Tetapi setelah kapas dibuang, mereka bersama-sama menikmati daging itu. Dengan lahap.

Mereka tertidur lelap di emperen warung, sampai pagi hari – ketika seorang tak dikenal membangunkan mereka. Ia bertanya apakah ada di antara abang-abang becak itu yang menemukan bungkusan plastik. “Semalam, “kata orang itu, “Saya pulang dari rumah sakit. Saya singgah di warung ini sebentar. Saya membawa potongan daging. Sebenarnya bukan daging, tetapi kepingan tumor daging tumbuh. Saudara saya baru dioperasi tadi malam.

Abang-abang becak itu terpana, “jadi, daging itu…!” Daging yang menciut, kapas yang menempel, letupan-letupan gelembung yang keluar. “Jadi daging itu…” Tiba-tiba, rasa mual menekan perut mereka. Tidak tahan. Mereka semua muntah”.

Setelah membaca, apa yang Anda rasakan? Apa yang dipikirkan? Bagaimana perasaan Anda?  Perut aman? Suasana hatinya? Seolah Anda mengalaminya langsung, bukan? Tulisan di atas saya kutip dari buku sebuah buku karya Jalaluddin Rakhmat.

- Poster Iklan -

Pernah memperhatikan proses seorang pelukis saat menggambar? Ia memperhatikan objek dengan sangat detail. Mulai dari bentuk, warna, sampai ekspresi kecil yang mungkin luput dari mata orang lain. Semua hasil pengamatan itu ditampung dulu di kepala, lalu pelan-pelan dituangkan ke atas kanvas melalui goresan warna.

Nah, menulis deskripsi itu sebenarnya persis seperti itu. Bedanya, media kita bukan kuas dan cat. Kita menggunakan kata, diksi, struktur kalimat, dan imajinasi untuk menggambar sesuatu di pikiran pembaca. Saat membaca tulisan deskriptif yang bagus, pembaca seperti ikut melihat sendiri objek yang sedang diceritakan. Bahkan bisa merasakan suasana dan emosinya.

Dalam menulis deskripsi, penulis harus melibatkan seluruh indranya. Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, dan tentu saja perasaan untuk meresapi suasana yang muncul. Itulah yang bikin tulisan deskripsi terasa hidup. Bukan sekadar fakta, tapi juga rasa.

Menariknya, deskripsi tidak hanya untuk menggambar objek nyata seperti tempat, benda, atau orang. Kita juga bisa mendeskripsikan hal abstrak seperti sedih, takut, senang, rindu, atau kesepian. Kamu bisa membuat pembaca merasakan emosi tertentu melalui cara kamu memilih kata. Semakin detail pengamatanmu, semakin kuat tulisanmu.

Meski begitu, menulis deskripsi tetap harus berpijak pada kenyataan. Tujuan utamanya adalah membantu pembaca memahami objek dengan sejelas mungkin. Jadi fantasi tetap boleh, selama masih terikat pada fakta yang benar tentang objek itu. Kalau objeknya sepatu warna hitam, ya jangan kamu tulis jadi sepatu merah berkilaunya superhero.

Namun tidak berarti tulisan deskriptif bebas dari subjektivitas penulis. Sering kali yang membedakan seorang penulis dengan penulis lain adalah sudut pandangnya. Semua orang bisa melihat objek yang sama, tapi hasil penggambarannya tetap akan berbeda-beda.

Saat mengajar, saya melepas sepatu di depan kelas dan menyuruh mahasiswa menulis deskripsi singkat tentang sepatu tersebut. Ada yang menulis “Sepatu tanpa pasangan.” Ada yang menulis “Sepatu hitam milik Pak Nurudin.” Ada juga yang menulis “Sepatu butut yang teronggok di depan kelas.” Sepatunya sama, tapi cara mereka melihat dan merangkaikan kata berbeda. Itu yang disebut subjektivitas objektif. Masih berdasarkan objek yang sama, tapi sudut pandang tiap penulis menciptakan makna yang berbeda.

Dengan deskripsi, penulis membantu pembaca membangun imajinasi dalam pikirannya. Pembaca bisa membayangkan suasana tempat, merasakan pengalaman tokoh, bahkan mencium aroma makanan yang digambarkan dalam tulisan. Makanya banyak media memakai gaya deskriptif untuk menghidupkan tulisan. Mulai dari artikel feature di koran, cerpen, hingga laporan penelitian yang menampilkan kondisi objek secara detail.

Deskripsi memberi kesempatan pada penulis untuk mengajak pembaca “masuk” ke dalam cerita. Jika kamu menggambarkan pedagang sate yang sedang memanggang daging, pembaca bisa ikut mencium aroma bakarannya. Kalau kamu mendeskripsikan suasana hujan tengah malam, pembaca bisa merasakan dingin dan sunyinya. Itulah seni menulis deskriptif. Bukan sekadar menyampaikan informasi, tapi juga menghadirkan pengalaman.

Menulis deskripsi adalah teknik menulis yang membantu pembaca seolah-olah melihat, mendengar, bahkan merasakan apa yang penulis ceritakan. Anda harus peka dalam mengamati, cermat memilih kata, dan pandai mengatur sudut pandang. Sama seperti pelukis, Anda melukis objek dengan alat bernama bahasa. Semakin sering Anda berlatih, semakin hidup dan kuat gambaran yang dihasilkan. Jadi, teruslah belajar menangkap detail kecil di sekitar, lalu tuangkan dalam tulisan. Karena dari situlah imajinasi pembaca mulai bekerja.

Coba deskripsikan kafe favorit Anda . Caranya, gunakan detail pancaindra. Apa yang Anda lihat, dengar, cium, rasakan dan sentuh. Gunakan kalimat 3 paragraf pendek-pendek.  Deskripsikan aroma kopinya, suara mesin espresso. Lalu warna lampu, tata letak kursi. Juga karakter pengunjung. Selanjutnya nuansa musik yang mengalun. Amati, bayangkan dan tuangkan.

Inilah kunci menulis deskripsi secara padat dan mendalam, (1) pakai pancaindra sebanyak mungkin, (2) perhatikan detail unik yang sering terlewat, (3) buat pembaca seperti hadir di lokasi, (4) pilih kata yang menciptakan suasana, (5) hindari “terlalu benyak menjelaskan”, (6) lebih banyak menunjukkan daripada mengatakan. Nah.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here