Dua generasi ini acapkali menjadi topik seksi. Ya, GenZ dan generasi baby boomers. Gen Z lahir pada kisaran tahun 1995-2009 dan generasi baby boomers lahir akibat ledakan kelahiran yang terjadi setelah Perang Dunia II yaitu pada 1946-1964. Seksinya topik Gen Z dan boomers apalagi jika bukan permasalahan komunikasi. Gen Z tak suka dinasehati, boomers suka menyampaikan petuah panjang sebagai bentuk kasih sayang. Alhasil kedua generasi ini seperti berada dalam muara yang berbeda. Boomers menganggap GenZ susah diatur, GenZ menilai boomers jadul dan berpikir mundur. Padahal keduanya sama-sama ingin dimengerti, hanya saja caranya berbeda. GenZ tumbuh di era serba cepat, komunikasi melalui perantara emoji, story dan pesan singkat. Sedangkan boomers tumbuh dalam budaya komunikasi yang sopan santun, mendengarkan dengan seksama baru berbicara, dan menghargai senioritas. Jadi bukan niatnya yang salah, namun frekuensinya yang tidak nyambung.
Beda Zaman, Beda Bahasa
Setiap generasi tumbuh dalam budaya bahasa yang berbeda. Baby boomers dan generasi setelahnya yakni gen X besar dalam budaya sopan santun, berbicara dalam tata bahasa formal dan tertata. Menunduk, mendengar, baru berbicara adalah etika yang dijunjung tinggi sebagai bentuk kepatutan dalam berkomunikasi. Sementara GenZ dan satu generasi sebelumnya, yaknik milenial, besar dalam transisi budaya yang lebih terbuka.
Transformasi digital membuat gaya komunikasi GenZ serba cepat dan singkat, bahkan pada figur yang lebih tua, GenZ dan satu generasi sebelumnya tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan berani berbicara adalah bentuk kejujuran dan keberanian, bukan pembangkangan. Dua buah perspektif yang tentu saja berbeda. Seperti yang dikatakan tokoh komunikasi Gudykunst dan Kim dalam Intercultural Communication Theory yang mengatakan perbedaan budaya antar generasi menyebabkan perbedaan gaya komunikasi. Boomers cenderung high-context dan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan, Gen Z lebih low-context dan lugas dalam berekspresi di media digital.
Sehingga ketika dua gaya komunikasi yang tumbuh dari atmosfer berbeda ini bertemu, maka gesekan tak terelakkan. Orang tua merasa anak tidak sopan, anak menganggap boomers kolot dan arogan. Kalimat sepele seperti, “Aku ingin sendiri dulu” dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan oleh boomers, padahal itu hanyalah ekspresi kelelahan dimana anak ingin dipahami. Sebaliknya ketika orang tua memberikan nasihat panjang lebar terdengar seperti petuah, padahal niatnya murni, untuk melindungi GenZ.
Salah Paham yang (Sebenarnya) Tak Perlu Terjadi
Perbedaan gaya komunikasi ini pun membentangkan jarak emosional. Tak hanya terjadi dalam konteks komunikasi di dalam rumah, masalah pun bisa terjadi pada komunikasi di sekolah, misal antara guru atau dosen boomers dan siswanya. GenZ memilih diam, tak berani berbicara, karena takut disalahartikan, sementara boomers merasa sedih karena anak, siswa atau GenZ ini tidak mau terbuka. Akibatnya, rumah terasa “sunyi”, ruang-ruang pemikiran di sekolah sepi tanpa diskusi. Terkesan hening, namun bukan karena damai, namun karena semuanya berhenti berbicara. Padahal sebenarnya yang terjadi jauh di dalamnya, kedua generasi ini mencoba untuk saling mencintai dengan caranya sendiri.
Salah paham antar generasi ini sebenarnya bisa berhenti ketika kedua belah pihak berusaha untuk saling memahami dan berhenti menuntut untuk “mengubah”. GenZ tak perlu memaksakan menjadi orang tua seperti boomers, di sisi lain boomers juga tak perlu beralih baju menjadi anak muda. Yang dibutuhkan adalah ruang di tengah, dimana kedua generasi ini bisa berbicara tanpa dihakimi. Howard Giles melalui teori akomodasi komunikasi juga menawarkan solusi terkait perbedaan ini. Sesekali dalam proses upaya memahami ini, Gen Z bisa menyesuaikan gaya bahasa lebih formal saat berbicara dengan Boomers, sedangkan Boomers mungkin mencoba menggunakan emoji atau istilah populer agar terasa “nyambung” dengan GenZ.
Menjembatani dengan Empati
Sebenarnya menjembatani perbedaan gaya komunikasi kedua generasi ini tidaklah sulit. Dimulai dengan rumus sederhana, yakni belajar mendengar tidak hanya menjawab. Boomers atau generasi setelahnya yang memiliki kemiripan gaya komunikasi, bisa bertanya dengan lembut, “Menurutmu bagaimana?” sebelum membombardir dengan teguran, rentetan petuah atau nasihat panjang. Kalimat sederhana itu akan membuat GenZ merasa suaranya dihargai. Sebaliknya, GenZ juga harus belajar memahami bahwa bahasa cinta boomers adalah dengan banyak bertanya, banyak mengingatkan, banyak khawatir dan banyak kalimat baik lainnya. Sebab itulah cara mereka mencinta. Terkesan kuno dan jadul, namun itulah cara mereka berbagi rasa.
Empati menjadi kunci. Saat boomers menurunkan nada bicara dan GenZ menurunkan nada bertahan (defensif) maka ruang komunikasi akan terjadi. Relasi antar generasi akan hangat ketika dua belah pihak saling membuka diri, memahami dan tidak berebut siapa yang paling benar. Saling menyesuaikan gaya, tanpa bersaing untuk menjadi siapa yang paling penting.
Pada akhirnya, GenZ dan boomers harus saling mengerti, bahwa kedua generasi ini tumbuh di konteks zaman yang berbeda. Perbedaan gaya bicara sejatinya bukan penghalang, namun peluang untuk belajar saling memahami satu sama lain. Boomers bisa belajar tentang kecepatan era, GenZ mempelajari kedalaman makna. Dalam konteks keluarga, baik itu keluarga di rumah maupun “keluarga” di sekolah, ada satu bahasa yang terhubung: cinta dan kasih sayang akan senantiasa mencari jalannya meski lewat kata yang berbeda. Menjembatani antar generasi ini bukan soal mencari siapa yang benar, namun siapa yang mau mendengar terlebih dahulu.
 
		 
				



