Saat matahari pagi menyusup di sela pepohonan hutan Sihaporas, suara sulim dan gondang perlahan mengalun lembut. Semuanya menyatu dengan desir angin dan aroma tanah basah. Anak-anak berjalan ke ladang bersama orang tua mereka, langkah kaki mereka menyentuh tanah dengan hormat. Di tepi hutan, seorang tetua adat menadahkan tangan ke langit, melantunkan tonggo-tonggo (doa) dalam bahasa leluhur, doa yang telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur mereka. Bagi mereka, hutan bukan sekadar sumber penghidupan, dan tanah bukan sekadar lahan garapan. Alam adalah tubuh kehidupan itu sendiri: roh, sejarah, dan rumah.

Jauh sebelum dunia modern menciptakan jargon “pembangunan berkelanjutan” dan melahirkan berbagai perencanaan makro, masyarakat adat telah lebih dahulu hidup dalam harmoni dengan alam. Sihaporas, sebuah komunitas adat Batak di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, adalah salah satu cermin dari cara pandang itu. Dalam pandangan mereka, hutan, tanah, dan air bukanlah sekadar sumber daya, melainkan entitas hidup yang menyatu dengan identitas leluhur.

Dalam perspektif ekologi sosial, hubungan antara manusia dan lingkungan bukan semata-mata hubungan pemanfaatan, melainkan sistem timbal balik yang saling menghidupi (Berkes, 2017). Masyarakat adat Sihaporas melihat tanah adat seluas lebih dari dua ribu hektare sebagai “roh kehidupan”. Sejak masa Ompu Mamontang Laut Ambarita, tanah tersebut menjadi tempat berlangsungnya ritus kehidupan: dari kelahiran, panen, hingga kematian. Di sinilah konsep ekologi sosial bekerja: bukan sekadar interaksi ekologis, tetapi relasi sosial, spiritual, dan historis yang membentuk cara pandang terhadap alam (Tsing, 2024).

- Poster Iklan -
- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here