Buku Politik Hukum Pangan: Rekonstruksi dari Ketahanan ke Kedaulatan Pangan karya Prof. Dr. Rachmad Safa’at hadir sebagai salah satu ikhtiar akademik paling penting dalam memperkaya wacana hukum agraria, kebijakan pangan, dan relasi antara negara—masyarakat dalam konteks pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Di tengah krisis pangan global, ekspansi kapitalisme agraria, dan kian terdesaknya kearifan lokal masyarakat adat, buku ini menyuguhkan perspektif rekonstruktif yang menempatkan pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan hak asasi manusia yang memerlukan kerja politik-hukum yang memadai. Melalui struktur argumentasi yang sistematis dan analitis, Prof. Rachmad menunjukkan bahwa pergeseran dari “ketahanan pangan” ke “kedaulatan pangan” bukan hanya wacana konseptual, tetapi agenda politik-hukum yang mendesak.
Buku ini membuka pembahasan dengan dasar paling fundamental: tanggung jawab negara hukum dalam konteks negara kesejahteraan terhadap pemenuhan hak asasi manusia atas pangan. Di sini, penulis menegaskan bahwa pangan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi dan instrumen internasional. Namun, ia juga menunjukkan bagaimana tanggung jawab ini tidak cukup dipenuhi hanya lewat pendekatan ketahanan pangan yang selama ini dominan, karena pendekatan tersebut cenderung menekankan ketersediaan pangan melalui mekanisme pasar dan importasi ketimbang pemberdayaan produksi lokal. Prof. Rachmad mengambil posisi bahwa negara kesejahteraan harus menempatkan pangan sebagai kewajiban konstitusional, bukan kebijakan situasional.
Selanjutnya, di bab kedua, penulis menghubungkan persoalan pangan ini dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945, terutama dalam kaitannya dengan arah politik hukum dan ekonomi nasional berbasis pertanian. Bagian ini menjadi pondasi ideologis buku, karena Prof. Rachmad berargumen bahwa pembangunan hukum pangan harus berpijak pada prinsip kemandirian, keadilan sosial, dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting. Ia menunjukkan bahwa Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 mengandung mandat yang sangat jelas: sumber daya alam tidak boleh sepenuhnya tunduk pada liberalisasi ekonomi global. Dengan demikian, hukum pangan harus merefleksikan orientasi ini, bukan sekadar menyesuaikan diri pada standar-standar global yang sering kali menempatkan negara-negara agraris seperti Indonesia pada posisi subordinat.
Memasuki bab-bab berikutnya, buku ini memasuki wilayah yang menjadi kekuatan utama Prof. Rachmad: pluralisme hukum, multikulturalisme, dan kedudukan masyarakat adat. Bab ketiga menunjukkan bagaimana hukum negara selama ini gagal memberi pengakuan substantif terhadap komunitas adat yang justru telah ribuan tahun mengelola sumber daya alam dan pangan melalui kearifan lokal yang berkelanjutan. Prof. Rachmad menekankan bahwa pluralisme hukum bukan ancaman bagi negara, melainkan aset. Pengakuan terhadap sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan pola konsumsi berbasis ekologis seharusnya menjadi pilar penting dalam merumuskan politik hukum pangan. Dengan demikian, transformasi politik-hukum harus bergerak ke arah yang lebih menghargai keberagaman epistemik dan cara hidup masyarakat adat.
Bab empat dan lima menempatkan diskusi ini dalam konteks global, dengan memaparkan dinamika konsep ketahanan pangan internasional serta implikasi transformasi global terhadap kebijakan hukum di Indonesia. Prof. Rachmad menyoroti bagaimana dominasi institusi global seperti FAO, WTO, dan korporasi agribisnis transnasional telah membentuk standar ketahanan pangan yang cenderung menguntungkan pasar global. Ketahanan pangan, dalam perspektif internasional arus utama, sering hanya dipandang sebagai kuantitas—apakah pangan tersedia atau tidak—tanpa mempertimbangkan relasi kekuasaan, distribusi lahan, dan kedaulatan petani. Penulis mengkritik bahwa Indonesia terlalu sering meniru standar ini tanpa filter ideologis dan konstitusional, sehingga kebijakan pangan nasional lebih responsif terhadap pasar global ketimbang kemandirian lokal. Analisis ini sangat relevan, terutama dalam konteks liberalisasi perdagangan pangan dan ketergantungan pada impor beras, kedelai, serta gandum.
Namun, keunggulan paling menonjol dari buku ini tampak dalam bab enam hingga sembilan, ketika penulis membawa pembahasan dari ranah makro ke ranah etnografis. Bab enam membahas nilai kearifan lokal masyarakat adat sebagai basis rekonstruksi kebijakan pangan. Di sini, Prof. Rachmad dengan cermat memperlihatkan bagaimana model pertanian masyarakat adat—yang berbasis siklus ekologis, keberlanjutan, dan spiritualitas—sesungguhnya menghadirkan paradigma alternatif terhadap industrialisasi pertanian yang kini dominan. Argumennya jelas: kearifan lokal bukan romantisme, melainkan pengetahuan ekologis yang terbukti menyelamatkan komunitas-komunitas adat dari krisis pangan selama ratusan tahun.
Analisis tersebut mencapai puncaknya dalam bab tujuh, ketika penulis memaparkan kasus masyarakat adat Tengger sebagai potret politik hukum pangan dan dinamika sosial yang menyertainya. Studi kasus ini bukan hanya ilustrasi, tetapi bukti empiris bagaimana kedaulatan pangan dapat diwujudkan di tingkat lokal. Masyarakat Tengger memiliki sistem pertanian yang berbasis ritus, batas-batas kosmologis, pembagian peran yang adil, serta mekanisme internal untuk menjamin keberlanjutan tanah dan produksi. Namun, mereka sekaligus terancam oleh regulasi yang inkonsisten, proyek-proyek pembangunan, dan dominasi paradigma pertanian modern. Melalui contoh ini, penulis memperlihatkan jurang antara politik hukum negara dan realitas kebutuhan masyarakat adat.
Bab delapan memperdalam kritik tersebut dengan membahas inkonsistensi politik hukum ketahanan pangan nasional. Prof. Rachmad berpendapat bahwa kebijakan pangan selama ini selalu berada dalam tarik ulur antara retorika kedaulatan dan praktik ketergantungan. Di satu sisi, negara berbicara tentang swasembada dan kedaulatan. Di sisi lain, praktik kebijakan menunjukkan prioritas pada investasi korporasi, proyek pangan skala besar, konsesi lahan, dan minimnya perlindungan terhadap wilayah adat. Karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat adat bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan politik: apakah negara benar-benar berkomitmen pada kedaulatan pangan atau hanya mempertahankan status quo ketahanan pangan yang pro-pasar.
Akhirnya, bab sembilan menawarkan rumusan politik hukum ketahanan pangan berbasis kearifan lokal, sebagai sintesis seluruh argumentasi dalam buku. Menurut penulis, kedaulatan pangan hanya mungkin terwujud jika negara menempatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek. Politik hukum harus diorientasikan pada pemulihan hak-hak kolektif, pengakuan wilayah adat, pemberdayaan pertanian rakyat, dan kritik terhadap paradigma agroindustri. Dengan demikian, buku ini tidak berhenti pada kritik, tetapi menawarkan jalan keluar normatif sekaligus operasional.
Secara keseluruhan, Politik Hukum Pangan adalah karya penting yang mempertautkan kajian hukum, agraria, ideologi Pancasila, dan antropologi dalam satu kesatuan pemikiran. Kontribusi terbesarnya adalah keberaniannya untuk menggeser kerangka berpikir: dari ketahanan pangan yang teknokratis ke kedaulatan pangan yang politis, dari pendekatan negara-sentris ke masyarakat-sentris, dan dari paradigma pasar ke paradigma kearifan lokal. Buku ini layak dibaca oleh akademisi hukum, pembuat kebijakan, aktivis pertanian, dan siapa saja yang percaya bahwa masa depan Indonesia terletak pada kemampuan kita menjaga relasi adil antara manusia, tanah, dan pangan.
Identitas Buku

Judul : Buku Politik Hukum Pangan: Rekonstruksi dari Ketahanan ke Kedaulatan Pangan
Penulis : Prof. Dr. Rachmad Safa’at, S.H., M.Si
Jumlah halaman: xxi + 612 hlm
Ukuran : 15,5 x 23 cm
Penerbit : Setara press
ISBN : 978-634-7099-06-8





















