Dalam lanskap wacana lingkungan hidup di Indonesia, tidak banyak buku yang menawarkan suatu sintesis konseptual yang utuh tentang bagaimana demokrasi bekerja—atau seharusnya bekerja—dalam konteks ekologis. Buku Demokrasi Lingkungan Hidup karya Sapto Hermawan hadir tepat di wilayah kekosongan itu. Ia bukan sekadar menyuguhkan teori politik yang dipindahkan begitu saja ke ranah lingkungan hidup, tetapi mencoba mengembalikan demokrasi pada akar filosofisnya sebelum menautkannya ke persoalan-persoalan ekologis kontemporer. Dengan begitu, buku ini menempatkan pembaca pada posisi penting: kita diajak melihat bahwa krisis lingkungan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berkait erat dengan krisis demokrasi.

Hermawan memulai dengan memeriksa makna demokrasi itu sendiri, bukan sebagai jargon, melainkan sebagai gagasan yang terus berubah dan diperebutkan. Demokrasi, baginya, adalah konsep yang kaya historis sekaligus lentur. Ia bergerak dari pergumulan ide tentang kedaulatan rakyat, representasi politik, hingga eksperimen model-model demokrasi yang berkembang di berbagai belahan dunia. Setiap model, dari liberal hingga partisipatoris, membawa implikasi tertentu bagi cara masyarakat melihat alam: apakah sebagai objek yang bisa dieksploitasi, atau sebagai ruang hidup bersama yang wajib dikelola secara bertanggung jawab.

Di titik ini, pembahasan tentang etika lingkungan menjadi relevan. Buku ini menunjukkan bahwa sikap manusia terhadap alam selalu berakar pada cara pandang etis tertentu. Antroposentrisme—yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai—menjadi fondasi tak terlihat dari banyak kebijakan pembangunan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara berkembang. Namun, Hermawan tidak berhenti pada kritik. Ia memperlihatkan bagaimana pendekatan non-antroposentrisme, dari ekosentrisme hingga biosentrisme, dapat memberikan horizon baru untuk menata ulang relasi antara manusia dan ekosistem. Buku ini, dalam cara yang cukup sistematis, menempatkan etika sebagai jembatan penting antara teori demokrasi dan problem lingkungan hari ini.

Pembahasan kemudian mengalir menuju diskursus pembangunan berkelanjutan. Dalam tradisi kebijakan publik Indonesia, pembangunan sering kali dibingkai sebagai proses linear menuju kemajuan ekonomi. Namun Hermawan berhasil menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak sekadar menambahkan kata “berkelanjutan” sebagai ornamen kebijakan. Ia menguraikan bagaimana konsep ini justru membuka ruang untuk meninjau kembali paradigma pembangunan nasional: siapa yang diuntungkan? siapa yang dirugikan? dan apa yang dikorbankan? Buku ini menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya dapat diraih ketika dimaknai secara holistik—meliputi keberlanjutan ekologis, sosial, ekonomi, dan politik. Prinsip-prinsip seperti keadilan antargenerasi, keterbukaan informasi, dan batas-batas ekologis menjadi rambu penting yang sering kali diabaikan dalam praktik pembangunan di Indonesia.

- Poster Iklan -

Salah satu kekuatan buku ini terletak pada kemampuannya menghubungkan teori dengan realitas konkret. Ketika masuk ke pembahasan tentang isu-isu lingkungan hidup di Indonesia, Hermawan tidak terjebak pada uraian normatif. Ia menempatkan pembaca pada kenyataan keras pengelolaan tambang, konflik agraria, dan pergeseran model pembangunan yang semakin didorong oleh orientasi ekstraktif. Persoalan tambang ditampilkan bukan semata-mata sebagai masalah teknis, tetapi sebagai fenomena multidimensi yang bersinggungan dengan konflik sosial, kebijakan negara, dan kerentanan ekologis. Dari sini tampak bahwa relasi antara sistem politik dan kondisi lingkungan hidup tidak pernah sederhana: negara, pasar, dan masyarakat berada dalam tegangan yang terus-menerus, dan kebijakan lingkungan sering kali dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan di antara ketiganya.

Dari gambaran persoalan itu, pembaca dibawa pada gagasan kunci: demokrasi lingkungan hidup. Hermawan memosisikan demokrasi bukan sekadar sebagai sistem politik, tetapi sebagai kerangka etik dan praktik sosial untuk mengelola lingkungan hidup secara adil. Baginya, demokrasi lingkungan hidup setidaknya bertumpu pada empat elemen: keterbukaan informasi, partisipasi publik, akses terhadap keadilan, dan perlindungan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Keempat elemen ini tampak sederhana, tetapi justru merupakan titik rapuh yang sering kali gagal dipenuhi dalam banyak kebijakan lingkungan di Indonesia.

Keterbukaan informasi, misalnya, menjadi persoalan berulang dalam kasus-kasus industri ekstraktif. Informasi mengenai izin, dampak lingkungan, dan aliran keuntungan tidak selalu mudah diakses masyarakat. Ketika informasi menjadi buram, partisipasi publik hanya menjadi formalitas. Buku ini memberikan gambaran bahwa partisipasi yang sejati adalah partisipasi yang berdaya, yang memungkinkan masyarakat tidak hanya didengar tetapi juga mempengaruhi keputusan. Dalam banyak contoh kebijakan lingkungan di Indonesia, ruang partisipasi ini masih sempit dan sering kali bersifat teknokratis.

Akses pada keadilan juga mendapat sorotan penting. Demokrasi lingkungan hidup, menurut Hermawan, menuntut adanya mekanisme hukum yang mampu melindungi masyarakat ketika terjadi pelanggaran ekologis. Namun dalam praktiknya, jalur hukum sering kali memihak kepentingan modal. Perjuangan warga terdampak tambang, pencemaran, atau perampasan lahan menunjukkan bahwa akses keadilan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga soal keberpihakan negara.

Elemen terakhir—penguatan hak-hak masyarakat—menjadi inti dari visi ekologis buku ini. Hermawan meyakini bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup sangat bergantung pada kekuatan komunitas lokal, terutama mereka yang hidup dekat dengan sumber daya alam. Perspektif ini dekat dengan banyak literatur global mengenai lingkungan yang menekankan pentingnya local knowledge dan community-based governance. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini terasa sangat relevan mengingat sejarah panjang konflik antara negara dan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, tambang, dan wilayah pesisir.

Pada bagian akhir, buku ini membahas fondasi yuridis yang diperlukan untuk membangun demokrasi lingkungan hidup di masa mendatang. Hermawan melihat bahwa kerangka hukum lingkungan Indonesia harus diletakkan pada legitimasi yang bersifat filosofis, yuridis, dan sosiologis. Artinya, aturan hukum bukan hanya harus sah secara formal, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai moral dan diterima oleh masyarakat. Pembahasan mengenai landasan yuridis ini menjadi penting karena masa depan demokrasi lingkungan sangat ditentukan oleh keberanian negara untuk membangun regulasi yang berpihak pada keberlanjutan ekologis, bukan hanya keberlanjutan ekonomi.

Secara keseluruhan, Demokrasi Lingkungan Hidup adalah buku yang mampu menggabungkan ketelitian konseptual dengan kepekaan terhadap problem sosial-ekologis Indonesia. Ia menuntut pembaca untuk tidak memandang demokrasi dan lingkungan sebagai dua wilayah yang terpisah, melainkan sebagai arena yang saling membentuk. Buku ini sangat penting bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana tata kelola lingkungan dapat diperbaiki melalui pembaruan demokrasi, dan bagaimana demokrasi hanya dapat bermakna penuh ketika memperhitungkan keberlanjutan alam sebagai syarat utama.

Identitas Buku

Judul : Demokrasi Lingkungan Hidup
Penulis : Sapto Hermawan
Jumlah halaman: xviii + 230 hlm
Ukuran : 15,5 x 23 cm
Penerbit : Setara press
ISBN : 978-623-6716-16-8

Beli Bukunya Sekarang Juga

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here