Teknologi membuat hidup terasa jauh lebih mudah. Semua serba cepat, serba instan. Hari ini kita bisa mengetahui apa pun hanya dengan mengetik kata kunci. Tinggal scroll, tinggal klik, selesai. Informasi datang seperti banjir besar, tanpa henti. Seolah buku tak lagi menjadi sumber utama pengetahuan. Mengapa? Karena semuanya sudah ada di layar.
Namun di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang perlahan hilang tanpa kita sadari. Kita tidak lagi betah duduk lama. Tidak lagi mampu fokus. Otak terbiasa melompat dari satu notifikasi ke notifikasi lain. Dari satu video 30 detik ke video berikutnya. Kita merasa tahu banyak hal. Tetapi seberapa banyak yang benar-benar melekat dan membentuk pemikiran kita?
Ada survei menarik. Generasi muda menghabiskan waktu rata-rata 7-10 jam per hari di depan Ponsel. Sebagian besar waktu itu bukan untuk belajar atau membaca, melainkan untuk hiburan cepat seperti media sosial, video pendek, atau game. Dampaknya juga mulai terlihat nyata. Banyak laporan sekolah dan universitas menunjukkan penurunan kemampuan konsentrasi, meningkatnya kecemasan, dan semakin sulitnya siswa memahami teks panjang tanpa merasa lelah.
Lihat data yang ada. Korea Youth Counselling dan Welfare Institute menunjukkan ada 41,3 persen remaja kecanduan game. 12 persennya mengalami perilaku abnormal saat kehilangan smarthphone. 9,3 berkonflik dengan orang tua. Serta 9 persen menggunakannnya untuk mengunduh materi pornografi.
American Psychiatric Association juga menunjukkan data serupa. 200 remaja Korea punya problem probematik. Keluhan fisik, gangguan atensi juga konsentrasi dan munculnya agresifitas perilaku.
Jujur saja, sebagian dari kita mungkin merasakannya secara personal. Saat belajar, mungkin cepat bosan. Jika dideskripsikan bisa begini. Meja belajar terasa tidak nyaman hanya dalam beberapa menit. Ada keinginan kuat untuk memeriksa notifikasi atau membuka aplikasi favorit. Saat akhirnya belajar, pikiran terasa cepat Lelah. Seolah otak sudah terbiasa menerima hiburan cepat, bukan pengetahuan mendalam.
Mungkin contoh ini ada di sekitar kita. Seorang siswa dulu dikenal sebagai anak berprestasi, gemar membaca dan selalu bersemangat saat belajar. Namun setelah masa derasnya teknologi gadget, kebiasaan digitalnya berubah drastis. Ia mulai tidur larut karena bermain game dan menghabiskan waktu berjam-jam menonton konten hiburan. Aktivitas membaca nyaris hilang dari kesehariannya.
Di akhir semester, nilai pelajarannya bisa jadi merosot tajam. Guru dan orang tuanya mungkin akan terkejut. Bukan karena anak itu malas, tetapi karena ia kehilangan fokus yang dulu pernah ia miliki. Secara kuantitas belajarnya banyak, tetapi konsentrasi mudah buyar dan tidak fokus.
Fenomena seperti contoh di atas hampir terjadi di mana-mana. Teknologi sendiri tidak salah. Ia netral. Kitalah yang menentukan apakah ia membawa manfaat atau kerugian. Gadget bisa menjadi alat belajar paling hebat dalam sejarah manusia. Tetapi ia juga bisa menjadi jebakan waktu dan konsentrasi jika tidak digunakan dengan bijak.
Di sinilah membaca menemukan kembali perannya yang paling penting. Di tengah gemuruh notifikasi yang muncul silih berganti, membaca menjadi latihan mental. Membaca mengajak kita duduk tenang. Membaca memaksa otak bertahan pada satu hal. Membaca mengajarkan kita untuk memahami pelan-pelan, bukan sekadar menyerap sekilas. Saat membaca, kita tidak melompat dari satu ide ke ide lain dalam hitungan detik. Kita belajar menelusuri jalan pikiran secara teratur dan mendalam.
Beberapa psikolog dan pakar pendidikan sering menyebut membaca sebagai “olahraga untuk otak”. Kalau tubuh butuh aktivitas fisik agar kuat, otak butuh membaca agar tetap tajam. Semakin sering dilakukan, semakin kuat kemampuan fokus dan analisis kita. Membaca bukan hanya soal buku pelajaran. Ada novel, komik, artikel reflektif, biografi. Semuanya memberi manfaat selama kita membangun kebiasaan untuk membaca secara konsisten.
Membaca juga mempunyai kekuatan emosional. Saat membaca, seseorang masuk ke dalam dunia lain. Ia merasakan apa yang dirasakan tokoh. Bisa membayangkan tempat dalam cerita. Seseorang belajar berempati, memahami sudut pandang orang lain, dan melihat kehidupan dari berbagai sisi. Kualitas ini penting, terutama di dunia digital yang cenderung menciptakan tekanan untuk selalu terlihat sempurna dan selalu lebih baik daripada orang lain.
Ada penelitian menarik di Jepang mengenai kebiasaan membaca di kalangan siswa. Sekelompok siswa dibiasakan membaca 20 menit setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Tiga bulan kemudian, hasilnya mengejutkan. Kemampuan konsentrasi meningkat, nilai akademik membaik, dan tingkat stres menurun. Semua karena satu kebiasaan sederhana yakni membaca.
Sementara banyak orang berlomba-lomba menjadi pengguna teknologi, pembaca bergerak setahap lebih jauh. Pembaca memiliki ide, perspektif, empati, data, dan kemampuan berpikir kritis. Pada akhirnya, pembaca memiliki peluang lebih besar bukan hanya untuk mengikuti perubahan zaman, tetapi untuk memimpinnya. Teknologi akan terus berkembang. Gadget akan semakin canggih. Konten akan semakin beragam. Tetapi kemampuan berpikir mendalam sangat penting. Kemampuan itu tidak bisa digantikan oleh algoritma. Kemampuan itu lahir dari membaca.
Teknologi memberi kita kecepatan. Tetapi membaca memberi kita kedalaman. Di era banjir informasi, membaca adalah cara kita menjaga kemampuan fokus, empati, dan berpikir kritis. Tanpa membaca, kita hanya menjadi konsumen teknologi. Dengan membaca, kita menjadi pencipta masa depan. Maka jika kita ingin tetap unggul di tengah derasnya distraksi digital, mulailah dari langkah kecil. Baca setiap hari, meski hanya sebentar. Karena dari kebiasaan sederhana itu, masa depan bisa berubah.





















