A.S. Rosyid menulis Al-Qur’an Bilang, Kepentingan Bumi Harus Didahulukan sebagai sebuah upaya mengembalikan pusat perhatian etika Islam ke tempat yang lebih luas daripada sekadar antroposentrisme. Buku ini bekerja seperti jembatan: di satu sisi ia memotret krisis ekologis secara filosofis, dan di sisi lain ia menggali kembali ayat-ayat Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa kepedulian terhadap bumi bukanlah gagasan modern yang ditempelkan ke agama, melainkan salah satu inti terdalam dari ajaran Islam. Dengan struktur yang rapi dan argumentasi yang konsisten, Rosyid mengajak pembaca meninjau ulang posisi manusia di alam, lalu melihat Al-Qur’an dengan cara yang menempatkan bumi sebagai subjek moral yang pantas dihormati.

Bagian awal buku ini berfungsi sebagai pembongkar akar persoalan. Rosyid membuka dengan lanskap kerusakan ekologis skala planet: hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya suhu global, polusi industri, dan berbagai jejak luka yang ditinggalkan mode produksi modern. Semua ini tidak ia paparkan sebagai statistik belaka, tetapi ia letakkan dalam kerangka krisis peradaban. Menurutnya, masalah lingkungan hari ini bukan sekadar teknis—ia lahir dari cara manusia memandang dunia. Mode produksi dan mode konsumsi industrial, yang berakar pada logika akumulasi tanpa batas, tidak hanya mengubah alam secara fisik; ia membentuk pola pikir manusia bahwa alam hanyalah sumber daya. Dalam konteks inilah, antroposentrisme menjadi biang pemisah: sebuah paradigma yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai sekaligus penguasa tunggal atas bumi.

Setelah menunjukkan betapa mendalam krisis itu, Rosyid kemudian mengajak pembaca memahami alternatif etis yang dapat membongkar antroposentrisme tersebut. Ia menelusuri terlebih dahulu berbagai pendekatan etika—etika-absolut, etika-relatif, dan atribut-objektif moral—sebagai fondasi untuk membangun argumen bahwa moralitas tidak harus berhenti pada makhluk bernama manusia. Alam, bagi Rosyid, tidak boleh dipahami hanya sebagai objek yang netral. Ia memiliki nilai intrinsik, sebuah martabat ekologis yang tidak menunggu pengakuan manusia untuk menjadi penting. Inilah pintu menuju ekosentrisme.

Ekosentrisme, sebagaimana dirumuskan dalam buku ini, bukan hanya gagasan filosofis yang berkembang di Barat. Rosyid menempatkannya sebagai etika yang menimbang kepentingan seluruh jaringan kehidupan. Ia mengulas sejumlah pemikir yang membentuk fondasi konseptual ekosentrisme—dari Arne Naess dengan deep ecologynya, hingga para filsuf yang menolak dikotomi manusia. Namun, ia tidak berhenti pada deskripsi teoritis. Ia menunjukkan arah baru peradaban dunia yang, lambat laun, didorong oleh keharusan ekologis, mulai bergeser menuju cara pandang yang lebih menyeluruh dan tidak lagi memusatkan manusia sebagai pengendali tunggal. Dengan kata lain, ekosentrisme sedang menjadi horizon baru etika global.

- Poster Iklan -

Pada titik inilah Rosyid melakukan apa yang menjadi inti buku: menggali ekosentrisme langsung dari Al-Qur’an. Ia menantang asumsi bahwa Al-Qur’an bersifat antroposentris. Banyak ayat yang selama ini dipahami sebagai legitimasi kekuasaan manusia terhadap alam, jika dibaca lebih teliti, justru mengandung kritik internal terhadap dominasi manusia. Rosyid mematahkan antroposentrisme dalam Al-Qur’an dengan membongkar tafsir-tafsir yang keliru akibat pengaruh peradaban patriarkal dan modernitas industri. Melalui metode istiqra’i—sebuah pendekatan induktif yang merangkum banyak ayat untuk menemukan ruh keseluruhan—ia mengemukakan bahwa Islam memuat ajaran moral yang menempatkan manusia sebagai wali, bukan penguasa; sebagai penjaga yang tunduk, bukan pengendali yang semena-mena.

Dari metode itu, ia menunjukkan bahwa manusia memiliki kewajiban moral terhadap bumi. Kewajiban ini tidak bersifat simbolik atau spiritual belaka, tetapi menyangkut tindakan konkret dalam menjaga kesatuan sistemik alam. Istilah “kesatuan sistemik” yang digunakan Rosyid menggambarkan bahwa alam adalah jaringan yang terhubung satu sama lain, bukan kumpulan objek terpisah yang menunggu untuk dieksploitasi. Dalam jaringan itu, manusia hanyalah satu simpul. Ia bukan pusat. Rosyid menelusuri ayat-ayat yang memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang gunung, laut, tumbuhan, udara, dan hewan sebagai makhluk yang tunduk kepada Allah dengan caranya sendiri—bukan sebagai “bendahara manusia”, tetapi sebagai entitas yang memiliki kediriannya. Dengan menunjukkan “kedirian alam” ini, ia menegaskan bahwa penghormatan Islam terhadap alam tidak bersifat fungsional. Alam tidak dihargai karena manfaatnya bagi manusia, tetapi karena ia bagian dari ciptaan yang memiliki nilai.

Dari sini, argumen Rosyid sampai pada puncaknya: bahwa kehendak Islam sesungguhnya ekosentris. Ekosentrisme bukan pandangan yang ditempelkan ke Islam dari luar, tetapi sudah menjadi struktur batiniah ajaran itu. Untuk memperjelas posisi ini, Rosyid mengurai konsep kerja daruriyyat-eko­sentris—sebuah perluasan dari maqashid al-shariah yang biasanya berfokus pada perlindungan lima hal mendasar manusia. Rosyid mengkritik kerangka klasik itu karena hanya memusat pada manusia, padahal bumi lebih dulu hadir dan menjadi syarat bagi kelangsungan semua kehidupan. Dengan daruriyyat-ekosentris, ia menata ulang hierarki kepentingan: bumi didahulukan bukan karena manusia tidak penting, tetapi karena kerusakan bumi berarti kerusakan seluruh tatanan kehidupan, termasuk manusia sendiri. Melalui gagasan ini, Rosyid seakan menegaskan bahwa etika Islam tidak harus terbatas pada manusia, dan bahwa kepentingan ekologis dapat menjadi dasar syariat, bukan sekadar tambahan.

Apa yang membuat buku ini kuat adalah kemampuan Rosyid menggabungkan tiga wilayah berpikir: filsafat etika, kritik peradaban modern, dan tafsir Al-Qur’an. Ia menunjukkan bahwa ketiganya tidak saling bersaing, tetapi saling menerangi. Krisis ekologis global dijelaskan dengan jernih; landasan filosofis untuk keluar dari krisis itu diuraikan secara runtut; dan akar-akar teologis untuk membela bumi dijelaskan dengan dalil yang kaya dan argumentatif. Pembaca tidak hanya dibawa memahami konsep ekosentrisme secara abstrak, tetapi juga diajak melihat betapa konsep itu selaras dengan teks keagamaan.

Tentu, buku ini juga mengandung tantangan tersendiri. Rosyid memerlukan kesabaran pembaca yang siap mengikuti penjelasan filosofis, metodologis, dan teologis secara bersamaan. Namun, kekuatan utamanya justru berada di sini: ia menolak jalan pintas. Ia ingin perubahan cara pandang, bukan slogan. Ia ingin ekosentrisme dipahami bukan sebagai gaya hidup hijau yang dangkal, tetapi sebagai etika spiritual yang membentuk struktur moral manusia.

Pada akhirnya, Al-Qur’an Bilang, Kepentingan Bumi Harus Didahulukan adalah buku yang ingin menanamkan sebuah pesan sederhana, namun sering terlupakan: bahwa bumi bukan milik kita, dan bukan pula pelayan kita. Bumi adalah rumah bersama seluruh ciptaan, dan karena itu kepentingannya harus hadir di pusat etika. Rosyid menyampaikan pesan itu bukan dengan nada emosional, melainkan dengan argumen yang kokoh. Ia menunjukkan bahwa ketika manusia mengambil jarak dari antroposentrisme, kita tidak sedang menurunkan martabat manusia, tetapi justru menemukan kembali posisi manusia yang proporsional dalam kosmos: bukan raja, tetapi penjaga. Bukan pemilik, tetapi bagian dari jaringan kehidupan yang suci.

Buku ini, pada akhirnya, adalah sebuah ajakan untuk membaca ulang Al-Qur’an dengan lihatan yang lebih ramah kepada alam—dan untuk melihat bahwa bumi selalu berada di sana, menunggu manusia memahami kehendak yang lebih besar: kehendak untuk menjaga kehidupan.

Identitas Buku

Judul : Al-Qur’an Bilang, Kepentingan Bumi Harus Didahulukan
Penulis : AS Rosyid
Jumlah halaman: 162 Halaman
Ukuran : 14 x 21 cm
Penerbit : Intrans Publishing
ISBN : 979-623-6529-25-6

Beli Bukunya Sekarang Juga

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here