Ada satu hal menarik ketika kita memperhatikan negara-negara maju. Mereka punya teknologi canggih. Infrastruktur megah. Pendidikan kelas dunia. Tetapi di balik semua itu, ada fondasi yang tampak sederhana namun sangat kuat. Apa itu? Masyarakatnya suka membaca. Bukan sekadar untuk sekolah atau tugas. Melainkan karena membaca sudah menjadi kebiasaan, bagian dari gaya hidup, bahkan kebanggaan nasional.
Ambil contoh Finlandia. Negara dengan populasi kecil ini terus berada di urutan teratas negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia. Survei internasional menyebutkan bahwa lebih dari 90% penduduk Finlandia membaca buku secara rutin. Pemerintah menginvestasikan dana besar untuk budaya membaca. Perpustakaan gratis dan modern. Ada paket buku untuk setiap keluarga yang baru memiliki anak. Juga program membaca keluarga untuk anak usia dini. Anak-anak Finlandia tidak dibebani banyak Pekerjaan Rumah (PR) atau ujian. Tetapi dibentuk melalui kebiasaan membaca sejak kecil. Hasilnya? Mutu pendidikan mereka termasuk yang paling unggul di dunia.
Lalu lihat Jepang. Negeri maju dengan teknologi canggih itu justru tetap mempertahankan budaya membaca sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Lebih dari 85% warganya membaca buku dan media lain. Tidak aneh jika melihat penumpang kereta di Tokyo membaca novel, komik, atau buku bisnis di sela perjalanan. Pemerintah Jepang mendukung hal ini melalui festival buku nasional atau diskon buku besar-besaran. Juga ada kolaborasi dengan industri kreatif. Sampai usaha kehadiran perpustakaan estetik yang menarik bagi generasi muda. Seolah ada rasa bangga menjadi pembaca di Jepang.
Korea Selatan (Korsel) juga punya cerita yang luar biasa. Negara ini dulunya termasuk yang tertinggal secara ekonomi dan pendidikan. Namun pemerintahnya memilih menanam investasi besar di bidang literasi. Perpustakaan digital dibangun di seluruh kota. Akses membaca gratis disediakan untuk semua siswa. Budaya membaca terus ditanamkan sejak sekolah dasar. Kini lebih dari 80% penduduk Korea membaca minimal satu buku per bulan. Negara ginseng tersebut berubah menjadi salah satu pusat inovasi dan teknologi terbesar di Asia.
Singapura pun tak kalah visioner. Dengan luas wilayah kecil, Singapura sangat sadar kekayaannya bukan terletak pada sumber daya alam, melainkan pada kecerdasan manusia. Karena itu, mereka menanamkan investasi besar untuk budaya membaca. Lebih dari 75% penduduk Singapura aktif mengunjungi perpustakaan setidaknya sekali dalam sebulan. Pemerintah gencar membangun perpustakaan modern di setiap kota, lengkap dengan desain yang “instagramable”, zona santai, ruang komunitas, hingga program membaca keluarga. Membaca bukan hanya aktivitas, tetapi identitas nasional.
Dari semua contoh ini, ada satu benang merah yang jelas. Kemajuan bangsa dimulai dari budaya membaca. Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang memiliki gedung tinggi, jalan tol panjang, atau teknologi terbaru, tetapi bangsa yang warganya punya kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Nah, semua itu bisa dibentuk melalui kebiasaan membaca.
Saat kita kagum dengan kemajuan negara lain, mungkin kita jarang melihat pondasi yang mereka bangun. Kita sering melihat hasilnya, tetapi jarang memperhatikan prosesnya. Negara yang sukses hari ini berhasil karena puluhan tahun lalu mereka menanam budaya literasi. Mereka sadar sumber daya alam bisa habis, teknologi bisa ditiru, tetapi pengetahuan dan kemampuan berpikir hanya bisa dibentuk melalui budaya membaca yang kuat.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita punya potensi besar. Kita punya penduduk muda terbanyak di Asia Tenggara. Kita aslinya punya kreativitas, bahkan sumber daya yang mencukupi.Tetapi kita belum memiliki budaya membaca yang kuat. Berbagai survei menyebutkan bahwa tingkat minat baca di Indonesia masih rendah dibandingkan negara maju. Bukan karena kita tidak mampu. Tetapi karena budaya membaca belum menjadi bagian hidup, belum dianggap keren, belum menjadi kebiasaan sehari-hari.
Sudah ada program literasi dari pemerintah. Namun jika kita jujur, hasilnya belum optimal. Budaya membaca tidak cukup dibangun dengan seremoni tahunan atau slogan semata. Indonesia membutuhkan kebijakan berani dan investasi jangka panjang. Sama seperti Finlandia, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Pertama, perpustakaan harus dibangun sebagai ruang publik modern. Menyenangkan dan relevan bagi generasi muda. Tempat yang bukan hanya untuk membaca, tetapi untuk berdiskusi, berkarya, dan berkomunitas.
Kedua, buku harus mudah dijangkau. Baik fisik maupun digital. Negara harus berani memberi subsidi buku sehingga tidak hanya orang kaya yang bisa membaca.
Ketiga, teknologi harus digandeng, bukan dijadikan musuh. Aplikasi membaca, e-book, audiobook, dan platform literasi digital harus didorong menjadi bagian dari ekosistem pendidikan.
Keempat, guru harus dilengkapi untuk mengajarkan membaca sebagai kesenangan, bukan hukuman. Tidak ada anak yang membenci membaca. Yang ada adalah anak yang belum menemukan buku yang tepat.
Kelima, melibatkan figur publik dan kreator konten dalam kampanye membaca akan jauh lebih efektif. Anak muda akan lebih tertarik membaca jika melihat idola mereka melakukannya.
Dan yang paling mendasar adalah membangun budaya membaca harus dimulai dari keluarga. Anak yang tumbuh dikelilingi buku akan tumbuh menjadi pembaca. Sebaliknya, anak yang tidak pernah melihat orang tuanya membaca akan menganggap membaca tidak penting.
Negara yang ingin maju tidak maju dulu baru warganya suka membaca. Tetapi maju karena warganya suka membaca. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan, berdiri sejajar dengan bangsa besar dunia, maka pembangunan tidak boleh hanya fokus pada infrastruktur dan teknologi. Yang paling penting adalah membangun budaya membaca secara konsisten, serius, dan berkelanjutan. Saat membaca menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, maka kecerdasan kolektif akan tumbuh. Masa depan bangsa akan melesat tanpa batas. Semoga.





















