Buku Keadilan Agraria hadir sebagai intervensi serius terhadap diskursus hukum agraria di Indonesia yang selama ini kerap terjebak dalam pendekatan normatif-legal dan teknokratis. Alih-alih berhenti pada pembacaan hukum positif semata, buku ini mengajukan sebuah pertanyaan yang lebih mendasar dan sekaligus politis: untuk siapa hak menguasai negara atas tanah bekerja, dan di mana posisi keadilan dalam relasi antara negara, hukum, dan masyarakat agraris? Pertanyaan ini tidak dijawab secara simplistis, melainkan ditelusuri melalui lapisan historis, konstitusional, dan praktik konkret yang memperlihatkan konflik struktural dalam pengelolaan tanah di Indonesia.

Sejak awal, keadilan agraria ditempatkan bukan sebagai konsep abstrak atau slogan kebijakan, melainkan sebagai persoalan relasi kuasa. Tanah dipahami bukan sekadar objek hukum atau komoditas ekonomi, tetapi sebagai ruang hidup—ruang sosial, kultural, dan historis—yang melekat pada eksistensi masyarakat. Dalam perspektif ini, relasi antara manusia dan tanah tidak mungkin direduksi hanya menjadi hubungan kepemilikan formal. Ia melibatkan ingatan kolektif, ikatan produksi, sistem nilai lokal, serta keberlanjutan hidup generasi mendatang. Dengan cara pandang tersebut, buku ini mengkritik keras kecenderungan hukum agraria modern yang sering kali mengabaikan dimensi sosial dan ekologis demi kepastian hukum yang sempit.

Salah satu kontribusi penting buku ini adalah pembacaan kritis terhadap konsep “hak menguasai negara” yang selama ini dianggap sebagai fondasi konstitusional kebijakan agraria. Alih-alih menerima konsep tersebut sebagai doktrin netral, penulis menelusuri bagaimana hak menguasai negara dibentuk melalui lintasan sejarah politik, mulai dari warisan kolonial, konfigurasi kekuasaan pascakemerdekaan, hingga konsolidasi negara pembangunan. Dalam lintasan ini, tampak jelas bahwa hak menguasai negara tidak pernah steril dari kepentingan politik dan ekonomi. Ia menjadi medan hegemoni, tempat negara menegaskan kewenangannya atas tanah sambil—sering kali—meminggirkan subjek-subjek agraria yang lebih lemah.

Di titik ini, buku tersebut menunjukkan ketegangan mendasar antara semangat konstitusional keadilan sosial dan praktik penguasaan tanah di tingkat kebijakan. Hak menguasai negara, yang secara normatif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, justru kerap menjadi instrumen legalisasi perampasan tanah. Negara tampil sebagai pengatur, pemberi izin, sekaligus pelindung kepentingan modal, sementara masyarakat lokal berada pada posisi yang rentan secara hukum maupun politik. Kritik ini menjadi semakin tajam ketika penulis membedah bagaimana legalitas sering kali dipakai sebagai selubung untuk ketidakadilan struktural.

- Poster Iklan -

Pembahasan mengenai praktik land grabbing melalui mekanisme Hak Guna Usaha (HGU) menjadi salah satu bagian paling konkret dan menggugah dari buku ini. Di sini terlihat bagaimana produk hukum dan kebijakan administratif dapat beroperasi sebagai alat akumulasi kapital dalam skala besar. HGU, yang secara formal dirancang untuk mendukung pembangunan sektor agraria, dalam pelaksanaannya acap kali menciptakan konflik berkepanjangan: penggusuran, kriminalisasi petani, dan kerusakan ekologis. Buku ini tidak sekadar menyajikan kasus, tetapi juga membedah pola: bagaimana negara hadir dengan seluruh perangkat hukumnya untuk memastikan “kepastian investasi”, sementara keadilan substantif bagi masyarakat dipinggirkan.

Analisis terhadap proyek-proyek strategis nasional semakin menegaskan paradoks pembangunan. Atas nama kepentingan nasional dan percepatan ekonomi, tanah rakyat direklasifikasi, direlokasi, atau dicabut haknya dengan dalih legal. Di sinilah pembaca diajak melihat bahwa konflik agraria bukan anomali, melainkan konsekuensi logis dari model pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keadilan sosial. Hukum, dalam konteks ini, tidak netral; ia menjadi bagian dari arsitektur kekuasaan yang memproduksi ketimpangan.

Namun buku ini tidak berhenti pada kritik. Salah satu kekuatannya terletak pada upaya membayangkan ulang masa depan keadilan agraria melalui pendekatan konstitusional yang lebih progresif. Penulis menunjukkan bahwa konstitusi tidak harus dibaca secara kaku dan formalistik. Sebaliknya, konstitusi dapat menjadi ruang normatif untuk memperjuangkan keadilan substantif, jika ditafsirkan dengan keberpihakan pada kelompok rentan dan pada prinsip keadilan sosial. Dalam kerangka ini, hukum tidak semata berfungsi menjaga ketertiban, tetapi juga sebagai sarana transformasi sosial.

Perbandingan dengan pengalaman negara-negara lain, seperti Bolivia, Afrika Selatan, dan Filipina, memberi dimensi reflektif yang penting. Studi perbandingan tersebut menunjukkan bahwa konflik agraria adalah persoalan global, tetapi juga memperlihatkan beragam kemungkinan jalan keluar. Dari reformasi konstitusi yang mengakui hak masyarakat adat, hingga kebijakan redistribusi tanah yang lebih berpihak pada petani dan komunitas lokal, contoh-contoh tersebut membuka imajinasi hukum yang lebih adil. Indonesia, dalam konteks ini, tidak kekurangan landasan normatif; yang sering kali absen adalah keberanian politik dan konsistensi penafsiran.

Secara keseluruhan, Keadilan Agraria merupakan karya yang berhasil menjembatani kajian hukum, politik, dan realitas sosial. Buku ini menantang pembacanya—terutama akademisi hukum dan pembuat kebijakan—untuk keluar dari kenyamanan positivisme hukum dan mulai menghadapi kenyataan ketimpangan agraria secara jujur. Ia juga relevan bagi aktivis, mahasiswa, dan siapa pun yang ingin memahami mengapa konflik agraria terus berulang, meskipun regulasi terus diperbarui.

Lebih dari sekadar buku hukum, karya ini dapat dibaca sebagai kritik ideologis terhadap cara negara memandang tanah dan pembangunan. Dengan bahasa yang relatif akademis tetapi tetap tajam, penulis berhasil menunjukkan bahwa keadilan agraria bukan soal teknis pembagian lahan semata, melainkan soal arah politik hukum dan keberpihakan. Dalam konteks krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan penguatan oligarki tanah, buku ini menjadi bacaan yang bukan hanya relevan, tetapi mendesak.

Jika harus dirangkum dalam satu kalimat, buku ini memperlihatkan bahwa selama hak menguasai negara tidak ditundukkan pada etika keadilan sosial dan pembacaan konstitusi yang progresif, maka konflik agraria akan terus menjadi luka struktural yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan justru di situlah nilai utama buku ini: ia tidak menawarkan ilusi penyelesaian cepat, tetapi membuka ruang refleksi kritis tentang masa depan keadilan agraria di Indonesia.

Identitas Buku

Judul : Keadilan Agraria: Relasi Konstitusi, Hak Menguasai Negara, dan Konflik Sturktural
Penulis : Prof. Dr. Fifik Wiryani, S.H., M.Si., M.Hum. & Dr. Febriansyah Ramadhan, S.H., M.H.
Jumlah halaman: x+142 hlm.
Ukuran : 15,5 x 23 cm.
Penerbit : Setara press
ISBN : 978-634-7099-12-9

Beli Bukunya Sekarang Juga

 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here