Di ruang kuliah, mahasiswa mungkin sering bertemu dosen yang pintar. Menguasai materi. Lancar menjelaskan teori. Rapi menyusun slide. Namun ada satu hal kecil yang sering terlupa, padahal dampaknya besar. Hobi membaca.

Dosen bukan hanya pengajar. Ia juga bisa jadi role model intelektual bagi mahasiswanya. Cara berpikirnya termasuk diamati. Cara bicaranya ditiru juga. Bahkan kebiasaannya ikut diperhatikan. Termasuk kebiasaan membacanya.

Mahasiswa bisa merasakan perbedaannya. Dosen yang gemar membaca biasanya punya cerita. Kuliahnya tidak kering. Materi terasa hidup. Teori tidak berdiri sendiri, tetapi terhubung dengan buku, gagasan, dan pengalaman membaca.

Membaca bagi dosen bukan soal gengsi akademik. Bukan pula sekadar tuntutan publikasi. Atau biar dianggap keren. Membaca adalah napas intelektual. Tanpa membaca, pengetahuan mudah usang. Perspektif menyempit. Diskusi menjadi dangkal. Materi yang disampaikan juga basi. Tak ada sudut pandang baru.

- Poster Iklan -

Mahasiswa hari ini kritis. Mereka cepat bosan pada kuliah satu arah. Apalagi generasi teknologi seperti saat ini. Mereka bisa mencari definisi di internet. Mereka bisa menonton video penjelasan. Yang mereka cari di kelas adalah nilai tambah. Sudut pandang. Cerita di balik teori. Itulah yang sering lahir dari kebiasaan membaca. Mengajar pun tentu tak hanya menambah wawasan baru tetapi memahamkan. Jika perlu menantang dan mendorong mereka untuk lebih maju.

Dosen yang punya hobi membaca biasanya tidak sadar sedang “pamer”. Ia hanya bercerita. Tentang buku yang baru selesai dibaca. Tentang penulis yang menarik. Tentang gagasan yang mengusik pikiran. Cerita-cerita kecil ini justru meninggalkan kesan besar.

Bayangkan seorang dosen sosiologi. Ia menjelaskan teori perubahan sosial. Lalu menyelipkan cerita tentang buku yang dibacanya minggu lalu. Buku nonfiksi populer. Atau novel yang memotret realitas masyarakat. Mahasiswa langsung merasa dekat. Teori yang abstrak menjadi nyata.

Atau dosen teknik. Ia bercerita bahwa ia sedang membaca buku biografi tokoh teknologi. Bukan buku teks. Tapi kisah kegagalan, eksperimen, dan proses berpikir. Mahasiswa belajar satu hal penting. Ilmu tidak lahir dari rumus saja. Tapi juga dari rasa ingin tahu dan kebiasaan membaca.

Hobi membaca dosen akan mengalir alami ke ruang kuliah. Tidak menggurui. Tidak memaksa. Hanya berbagi. “Saya pernah membaca buku ini.” Kalimat sederhana. Tapi efeknya bisa panjang.

Mahasiswa sering penasaran. Buku apa itu, Pak? Tentang apa, Bu? Apakah menarik? Dari rasa penasaran itulah membaca dimulai. Bukan dari kewajiban. Tapi dari ketertarikan.

Dosen yang membaca juga lebih kaya referensi. Ia tidak terpaku pada satu buku ajar. Ia berani membandingkan. Mengkritisi. Menawarkan perspektif lain. Mahasiswa diajak berpikir, bukan sekadar mencatat.

Ini penting di dunia perguruan tinggi. Kampus seharusnya menjadi ruang dialog gagasan. Bukan sekadar tempat transfer materi. Dan dialog gagasan sulit tumbuh tanpa budaya membaca. Hobi membaca dosen juga memberi pesan tersirat. Bahwa belajar tidak berhenti setelah gelar diraih. Bahwa menjadi dosen bukan titik akhir. Tapi proses panjang menjadi pembelajar seumur hidup.

Mahasiswa menangkap pesan itu. Mereka melihat dosen sebagai manusia yang terus bertumbuh. Bukan sosok yang merasa sudah paling tahu. Sikap ini menular. Pelan-pelan. Tapi kuat. Tidak harus selalu buku berat. Tidak harus jurnal ilmiah. Dosen bisa membaca apa saja. Esai populer. Buku biografi. Novel. Buku sejarah. Bahkan tulisan reflektif. Semua bacaan bisa menjadi bahan kuliah jika diolah dengan tepat.

Justru dari bacaan lintas genre, kuliah menjadi kaya. Mahasiswa belajar menghubungkan ilmu dengan kehidupan. Mereka melihat bahwa membaca bukan aktivitas akademik semata. Tapi bagian dari hidup.

Ada dosen yang memulai kuliah dengan cerita singkat. “Minggu lalu saya membaca buku ini.” Lalu ia ceritakan satu gagasan menarik. Tidak ada ujian dari cerita itu. Tidak ada tugas. Hanya pemantik diskusi. Hasilnya kadang mengejutkan. Mahasiswa aktif bertanya. Diskusi mengalir. Kuliah terasa hidup. Semua bermula dari satu kebiasaan sederhana. Membaca.

Di tengah budaya serba cepat, membaca memang terasa kalah. Video lebih singkat. Ringkasan lebih praktis. Namun justru di sinilah peran dosen penting. Menunjukkan bahwa membaca tetap relevan. Tetap bermakna.

Dosen tidak perlu berkata, “Kalian harus membaca.” Cukup tunjukkan bahwa ia sendiri menikmati membaca. Bahwa membaca memberinya kegembiraan. Wawasan. Dan cara pandang baru. Mahasiswa lebih percaya contoh daripada nasihat. Mereka lebih tergerak oleh kebiasaan nyata daripada slogan. Dosen yang membaca sedang memberi contoh paling jujur.

Tentu, tidak semua mahasiswa langsung berubah. Tidak semua langsung rajin membaca. Tapi satu dua orang akan terpengaruh. Dan dari satu dua itu, budaya bisa tumbuh. Kampus yang sehat adalah kampus yang dosennya membaca. Bukan karena kewajiban. Tapi karena cinta pada pengetahuan. Karena rasa ingin tahu yang tidak pernah padam.

Dosen yang punya hobi membaca sedang menanam benih penting di ruang kuliah. Tanpa banyak ceramah, ia menunjukkan bahwa membaca adalah bagian dari hidup intelektual. Cerita-cerita kecil tentang buku yang dibaca mampu menghidupkan kuliah dan mendorong mahasiswa ikut membaca. Dari kebiasaan sederhana inilah, budaya berpikir dan belajar yang lebih dalam bisa tumbuh di perguruan tinggi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here