Sudah saatnya para dosen berhenti menjadikan anjuran membaca buku sebagai sekadar nasihat normatif, apalagi jika hanya berhenti pada perintah verbal. Bukan berarti membaca itu tidak penting, tetapi karena dalam praktiknya, menyuruh mahasiswa membaca tanpa contoh konkret sering kali berakhir sia-sia. Alih-alih membangun kesadaran, yang muncul justru sinisme, bahkan perlawanan halus dari mahasiswa.
Menjadi dosen dengan pola kerja standar memang aman dan minim risiko. Mengajar, memberi tugas, menguji, lalu mengulanginya setiap semester. Tidak perlu bersusah payah tampil idealis dengan menganjurkan membaca buku jika pada akhirnya anjuran itu tidak dihiraukan. Apalagi jika mahasiswa justru balik bertanya, “Apakah dosennya sendiri rajin membaca?” Pertanyaan semacam itu tidak jarang muncul di ruang kelas. Mengingat mahasiswa semakin kritis dan berani menggugat otoritas simbolik dosen.
Anjuran membaca pun sering berakhir sebagai bahan candaan, terutama di media sosial. Membaca dianggap aktivitas yang “terlalu serius” untuk dunia yang diciptakan demi hiburan. Media sosial lebih ramah terhadap kelakar dan sensasi ketimbang refleksi. Maka, baik di ruang kelas maupun di ruang digital, ajakan membaca kerap diperlakukan seperti lelucon. Tidak untuk dipatuhi, hanya untuk ditanggapi ringan.
Masalah mendasarnya bukan pada mahasiswa semata, melainkan pada karakter budaya masyarakat kita. Indonesia bukan masyarakat dengan tradisi baca yang kuat, melainkan masyarakat dengan budaya tonton dan dengar. Data UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan) PBB dan OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) kerap menunjukkan bahwa tingkat literasi membaca masyarakat Indonesia masih tertinggal dibandingkan banyak negara lain. Terutama dalam hal reading habit, bukan sekadar kemampuan mengeja huruf.
Perbandingan sederhana dapat menjelaskannya. Jumlah penonton televisi dan pengguna platform video jauh melampaui pembaca koran atau buku. Membaca membutuhkan keterampilan kognitif yang lebih kompleks. Ia membutuhkan memahami struktur kalimat, menafsirkan makna, dan mengaitkan gagasan. Sebaliknya, menonton dan mendengar relatif lebih mudah, santai, dan tidak menuntut konsentrasi mendalam.
Menonton televisi bisa dilakukan sambil makan, berbaring, atau berbincang. Jika satu adegan terlewat, alur cerita masih bisa diikuti. Membaca tidak demikian. Kehilangan satu paragraf bisa mengaburkan keseluruhan makna. Apalagi membaca buku. Membaca menuntut fokus, kesabaran, dan stamina intelektual lebih tinggi. Maka, wajar jika koran jarang dibaca, dan buku semakin jarang disentuh, termasuk oleh mahasiswa.
Membaca buku juga menuntut kesiapan fisik dan mental. Tidak cukup sekadar bisa membaca, tetapi harus ada minat, kebutuhan, dan kesadaran akan manfaatnya. Banyak buku ditulis dengan bahasa serius dan struktur kompleks. Buku-buku pemikiran besar seperti Das Kapital karya Karl Marx, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme karya Max Weber, atau Muqaddimah karya Ibnu Khaldun memerlukan pembacaan berulang kali untuk sekadar memahami gagasan dasarnya.
Dalam masyarakat yang terbiasa dengan hasil instan, membaca menjadi aktivitas yang terasa “tidak efisien”. Manfaatnya tidak langsung terasa. Berbeda dengan hiburan digital, gim daring, atau tontonan musik yang memberi kepuasan seketika. Maka muncul pertanyaan pragmatis, “Untuk apa menghabiskan energi membaca jika belum tentu langsung paham?”
Padahal, justru di situlah letak nilai membaca. Ia membentuk cara berpikir jangka panjang. Sayangnya, budaya kita lebih menghargai hasil daripada proses. Pertanyaan yang sering muncul adalah “kapan lulus?” atau “kapan ujian skripsi?”, bukan “apa yang dipelajari?” atau “proses apa yang sedang dijalani?”. Membaca, sebagai proses panjang, menjadi korban dari cara pandang semacam ini.
Mengingat realitas tersebut, memang tidak cukup jika dosen hanya menyuruh mahasiswa membaca buku. Tugas dosen bukan sekadar pemberi instruksi, tetapi juga teladan intelektual. Mahasiswa tidak hanya belajar dari apa yang dikatakan dosen, melainkan dari apa yang dilakukan dosen.
Dosen perlu menunjukkan praktik membaca secara nyata; (1) membawa buku ke kelas dan mengutipnya secara langsung, (2) menceritakan proses memahami buku yang sulit, termasuk kebingungan dan pergulatannya, dan (3) menunjukkan bahwa membaca bukan aktivitas elitis, melainkan kerja intelektual yang manusiawi dan penuh proses.
Penelitian pendidikan menunjukkan bahwa role modeling memiliki pengaruh kuat terhadap kebiasaan belajar mahasiswa. Ketika dosen tampak aktif membaca, berdiskusi dengan referensi mutakhir, dan mengaitkan materi kuliah dengan bacaan nyata, mahasiswa lebih terdorong mengikuti. Bukan karena perintah, tetapi karena keteladanan.
Tidak ada kewajiban formal bagi setiap orang untuk membaca buku. Tetapi menuntut ilmu tanpa membaca hampir pasti timpang. Mengandalkan dosen semata jelas tidak cukup. Apalagi jika dosennya sendiri miskin bacaan. Bangsa yang besar dibangun oleh masyarakat pembaca. Ini pelajaran klasik dari sejarah peradaban dunia.
Rendahnya minat baca bukan hanya persoalan individu. Tetapi persoalan struktural. Pemerintah memang memiliki tanggung jawab menyediakan fasilitas, akses buku, dan iklim literasi yang sehat. Namun, di ruang kelas, dosen memegang peran strategis sebagai penghubung langsung antara buku dan mahasiswa.
Membaca bukan sekadar menambah pengetahuan. Tetapi melatih ketekunan, kesabaran, dan kesadaran bahwa hidup menuntut proses panjang. Jika membaca benar-benar ingin ditanamkan sebagai budaya akademik, maka ia harus dihidupkan. Bukan hanya diperintahkan. Di situlah peran dosen menjadi kunci. Membaca, lalu mengajak dengan memberi contoh, bukan sekadar menyuruh. Kalau sekadar menyuruh membaca, ya tidak usah.





















