Setiap kali saya melewati beberapa perempatan di salah satu daerah di Kabupaten Kediri, saya seringkali merasa dilema. Pasalnya, selalu ada pengemis yang lewat dan meminta-minta di setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah. Peperangan hati saya menjadi begitu hebat di setiap momen ini. Setiap kali melihat tampilan mereka dengan pakaian dan ‘aksesorisnya’, membuat hati saya langsung merasa iba. Tapi, diri saya di sisi lain selalu mulai menarik saya pada pandangan bahwa para pengemis itu ‘tak berhak’ diberi karena secara hukum tindakan ini dilarang oleh peraturan. 

Terjadi pertengkaran antara nalar sipil saya sebagai warga negara yang baik yang tentunya perlu menaati hukum atau perda dengan nalar spiritual saya yang didorong oleh rasa iba, konsep sedekah dan perasaan takut dosa.

Nah, setelah saya pikir-pikir, dilema tentang hal ini sebenarnya bukanlah masalah tentang kedermawanan individu, tapi arena pertarungan paling sengit antara ketaatan hukum negara dengan ketaatan pada ‘hukum’ hati. Kalau katanya Leon Festinger, ini disebut Disonansi Kognitif.

DISONANSI KOGNITIF

Pada tahun 1957, Leon Festinger memperkenalkan sebuah teori yang disebut sebagai Disonansi Kognitif. Pada intinya, otak manusia akan kesulitan menanggung dua keyakinan yang bertentangan secara bersamaan. Ketika saya menemui momen seperti ini di setiap lampu merah, keyakinan saya untuk membantu pengemis itu selalu bertabrakan dengan sisi moral saya.

- Poster Iklan -

Sebenarnya, saya pun juga kesal dengan keadaan ini. Maksudnya, bukankah di pasal 34 UUD 1945 disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak dipelihara oleh negara.”? Nah ini? Dipelihara bagaimana? Mereka dengan leluasa ‘lepas’ begitu saja tanpa perhatian pemerintah dan justru mengganggu ketertiban umum. 

Selain itu, saya tak bisa membayangkan bagaimana terjadi kecelakaan antara para pengemis dan pengguna jalan. Walaupun saya sejauh ini tak pernah menemuinya, tapi yang pasti, itu akan jadi sangat merepotkan. 

PERDA YANG CUMA JADI TEMPELAN PLANG

Peraturan Daerah Kabupaten Kediri Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat dan perda lain di Indonesia secara umum menganut prinsip ganda. Maksudnya, pelarangan tak hanya ditujukan pada para peminta (pengemis), tapi juga pada yang memberi. 

Kenapa perda ini dibuat? Pada dasarnya karena dua alasan utama. Pertama, aspek rasional, maksudnya adalah untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan keindahan kota serta menghilangkan potensi bahaya bagi pengguna jalan. 

Kedua, aspek sosial. Intinya untuk memutus rantai eksploitasi sindikat atau oknum tertentu yang menjadikan aktivitas mengemis sebagai profesi, sehingga upaya penertiban dan pembinaan oleh Dinas Sosial menjadi lebih efektif. 

Jadi, sebenarnya tindakan seseorang ketika memberikan uang pada para pengemis secara teknis adalah pelanggaran hukum. Kalau dalam kasus saya, ini yang membuat konflik antara ketaatan pada hukum dengan rasa iba saya menjadi begitu kuat sebagai seorang warga.

Maka, tanpa saya sadari saya sering melakukan tindakan rasionalisasi sebagai mekanisme pertahanan diri saya untuk meredakan kegagalan negara. Plang-plang larangan dengan tulisan merah menyala sebenarnya juga sudah dipasang di dekat setiap lampu merah. Tapi dengan kenyataan seperti ini, seolah-olah negara memberi isyarat pada kita melarang untuk berbuat baik (memberi), tapi tak efektif dalam menjalankan konstitusi negara, dimana para pengemis itu seharusnya dipelihara. Dengan kata lain, negara melempar tanggung jawab moral pada pundak rakyat sipil.

Tapi kadangkala saya juga “kalah”. Beberapa kali saya akhirnya mengeluarkan uang saya dan memberinya pada para pengemis. Dan kalau sisi diri saya yang rasional ‘memprotes’, saya akan melakukan pembelaan bahwa kenyataannya, ketika negara ini sudah gagal menyediakan sistem sosial yang adil, maka “dosa” melanggar perda terasa lebih ringan daripada dosa melanggar janji Tuhan (sedekah).

Dan bukankah hal seperti ini termasuk sebuah ironi? Jika patuh perda, kita ‘dihargai’ sebagai seorang warga negara, tapi dihukum oleh nurani. Sehingga, secara tidak langsung, negara seolah-olah membuat empati adalah sebuah hal ilegal.

MONUMEN KEGAGALAN NEGARA

Monumen kegagalan negara. Itulah yang bisa saya simpulkan dari fenomena ini. Dan jika saya memutuskan tak memberi, bukan karena saya pelit, tapi karena berusaha untuk semaksimal mungkin menahan tangan saya memberikan uang pada para pengemis demi menenangkan hati saya yang tahu bahwa negara telah lalai pada rakyatnya.

Jika sistem sosial-ekonomi bekerja dengan baik, fenomena seperti ini tentu akan hilang dan dilema kongnitif seprti yang saya alami ini akan selesai.

Dan saya rasa, setiap warga negara perlu merasakan kondisi dimana mereka tak perlu lagi ‘memilih’ dalam hal memberi. Kondisi dimana mereka bebas memberi di “kotak amal” manapun tanpa takut mendukung sindikat pengemis sebagai profesi. Ya karena orang miskinnya sudah diurus oleh negara.

Kalau pemerintahan itu diibaratkan berbentuk orang secara fisik, mungkin saya akan langsung mengumpat di depan mukanya dan mengatakan, “Sudah bayar pajak mahal-mahal, eh malah kami yang disuruh menanggung beban moral kemiskinan. Tolong dong, kembalikan rasa damai kami di lampu merah!”

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here