Indonesia dikenal sebagai negeri yang subur, sebuah negeri yang mudah menanam apa saja, sebagaimana lagunya Koes Plus yang berjudul Kolam Susu: metafora tongkat dilempar dapat dipastikan akan tumbuh menjadi tanaman baik dan sehat yang kemudian dapat dijadikan konsumsi. Namun, belakangan ini negeri yang dikenal dengan jargon gemah ripah loh jinawi seakan hilang begitu saja yang kemudian tergantikan oleh musibah seperti yang dialami saudara kita di beberapa daerah di Indonesia. Musibah ini telah berubah menjadi derita yang berkepanjangan.

Derita adalah kata yang sederhana, namun maknanya luas dan berat. Ia hadir dalam berbagai bentuk kehidupan manusia, dari kesedihan batin hingga penderitaan fisik. Derita sering kali muncul ketika manusia kehilangan rasa aman, harapan, dan kendali atas hidupnya. Dalam konteks bencana, derita bukan hanya tentang kerusakan alam, tetapi juga tentang runtuhnya mimpi, hilangnya mata pencaharian, dan ketidakpastian masa depan. Bagi mereka yang mengalaminya, derita bukan sekadar cerita, melainkan kenyataan yang harus dijalani hari demi hari dengan keterbatasan dan ketakutan.

Derita semacam inilah yang saat ini dirasakan oleh masyarakat yang mendiami pulau Sumatera. Bencana longsor yang disebabkan oleh gundulnya hutan, yang hingga hari ini masih sering terjadi, seolah air datang tanpa permisi, merendam rumah, sawah, sekolah, dan fasilitas umum. Banyak warga terpaksa mengungsi, meninggalkan harta benda yang telah mereka kumpulkan selama bertahun-tahun. Anak-anak kehilangan tempat belajar, orang tua kehilangan sumber penghasilan, dan keluarga harus bertahan dalam kondisi serba terbatas.

Tak sedikit orang mengatakan bahwa bencana hidrologi di pulau Sumatera ini bukanlah peristiwa baru. Hampir setiap tahun, wilayah ini menghadapi ancaman serupa. Namun, tidaklah sedikit orang yang mengatakan bahwa penyebab utama dari bencana ini karena alih fungsi hutan yang dulunya banyak tumbuh pohon-pohon besar dan berusia lama, kini telah berubah menjadi area perkebunan sawit dan telah beralih fungsi yaitu menjadi hamparan ladang tambang yang sengaja dieksploitasi hingga merusak ekosistem hutan. Keadaan inilah yang menyebabkan derita tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah.

- Poster Iklan -

Banyak para cerdik cendekia dan para pejabat negara masih sangat sibuk mendebatkan apakah perlu ditetapkan bencana nasional atau cukup dilakukan oleh pemerintah daerah. Inilah “keunikan” pemerintah dan pejabatnya yang terlalu terbiasa mendiskusikan konsep dan strategi penanganan bencana, namun eksekusinya sangat lamban dan nyaris tidak terstruktur dan terkoordinasi. Dampaknya adalah derita yang terus terjadi hingga saat ini.

Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, air tidak lagi terserap tanah, melainkan langsung mengalir deras ke pemukiman warga. Alam seolah memberi peringatan, tetapi peringatan itu terlalu sering diabaikan. Sehingga derita demi derita yang dialami oleh masyarakat seakan terus berulang tanpa solusi yang benar-benar menyentuh akar masalah. Kerusakan hutan di daerah hulu, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta minimnya pengawasan karena tidak sedikit pula pejabatnya ikut dalam proyek eksploitasi hutan sehingga memperparah kerusakan alam.

Di tengah bencana, derita masyarakat semakin berat karena keterbatasan bantuan. Proses evakuasi sering terlambat, logistik tidak merata, dan informasi tidak selalu jelas. Banyak warga bertahan dengan peralatan seadanya, mengandalkan solidaritas sesama korban. Di pos-pos pengungsian, rasa lelah bercampur cemas menjadi teman sehari-hari. Mereka bukan hanya berjuang melawan bencana, tetapi juga melawan rasa tidak diperhatikan. Derita yang mereka alami bukan hanya akibat air dan lumpur, melainkan juga akibat sistem yang belum berpihak sepenuhnya pada keselamatan rakyat.

Hal yang lebih menyakitkan, derita ini terasa semakin dalam ketika respons pejabat pemerintah terkesan lamban. Alih-alih hadir dengan langkah cepat dan kebijakan tegas, sebagian pejabat justru datang ketika situasi sudah parah. Kunjungan yang dilakukan sering kali lebih menonjolkan dokumentasi daripada solusi. Masyarakat melihat iring-iringan kendaraan dinas, kamera, dan pernyataan singkat yang berulang, tanpa tindak lanjut nyata. Kondisi ini memunculkan kesan bahwa bencana hanya menjadi panggung sesaat.

Tak sedikit pula yang menilai bahwa sebagian pejabat terduga menjadikan bencana semacam “wisata bencana”. Mereka datang, melihat, berfoto, lalu pergi, sementara warga tetap berkutat dengan derita yang sama. Janji bantuan dan perbaikan sering kali menguap seiring waktu. Derita masyarakat akhirnya bukan hanya cerita tentang bencana hidrologi, tetapi juga tentang kepercayaan yang perlahan terkikis. Jika derita ini ingin benar-benar berakhir, maka kepedulian harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar kunjungan dan kata-kata.

Begitulah sosok pejabat publik kita hari ini yang gagal menjadi pemandu kehidupan bagi masyarakat. Pemimpin yang tidak mampu memelihara harapan masyarakat yang sangat berduka. Pemimpin yang ada saat ini gagal memanifestasi para pemimpin masa lalu, para pendiri bangsa. Memimpin itu menderita (Leiden is Lijden), sebagaimana dihikmati dengan baik oleh Agus Salim, menteri luar negeri pertama yang memperjuangkan pengakuan negara Indonesia di luar negeri.

Seperti diketahui bersama, kehidupan Agus Salim dikenal sangat sederhana. Kehidupan yang mencerminkan penghayatan mendalam terhadap makna “memimpin adalah menderita”. Bahkan ia rela hidup dalam kekurangan materi demi bangsanya. Ini menunjukkan bahwa penderitaan seorang pemimpin bukanlah hal yang patut dikeluhkan, melainkan sebuah bentuk pengorbanan dan pelayanan kepada umat manusia sebagai sebuah bangsa.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here