Tuhan tidak lagi tinggal di langit ketujuh atau di dalam sunyi bilik pengakuan dosa. Malam ini, aku yakin Dia sedang bersemayam di antara fluktuasi grafik Time Frame 15 menit, bersembunyi di balik delapan angka di belakang koma.

0.00004321.

Angka itu berkedip. Merah. Lalu hijau. Lalu merah lagi. Seperti detak jantung pasien kritis yang sedang dipacu adrenalin. Di dalam kamar kost berukuran 3×4 meter yang pengap di pinggiran Jakarta Selatan ini, layar laptopku adalah satu-satunya altar. Kipas angin yang berderit di sudut ruangan berputar malas, seolah sedang mendaraskan zikir putus asa yang mengiringi ritual malamku: menatap candlestick Bitcoin yang sedang menari liar.

Orang-orang bilang ini judi. Ibu di kampung bilang ini uang setan. Tapi bagi kami—para trader ritel dengan modal pas-pasan dan mimpi ketinggian—ini adalah teologi baru. Sebuah keyakinan bahwa nasib bisa diubah hanya dengan satu momentum breakout.

- Poster Iklan -

Namaku Awan, tapi kakiku tak pernah menapak tanah dan kepalaku tak pernah benar-benar menyentuh langit. Aku melayang di antaranya, terombang-ambing oleh gelombang volatilitas pasar.

Pukul dua pagi. Waktu New York baru saja dibuka beberapa jam lalu, dan para “Paus”—pemilik ribuan Bitcoin entah di belahan bumi mana—sedang memainkan ombak. Aku memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Mataku perih, kering karena lupa berkedip. Di layar, portofolioku sedang berdarah. Minus tiga puluh persen dalam semalam.

Ada ironi yang melingkupi hidupku. Di dunia nyata, aku adalah sarjana sastra yang bekerja sebagai copywriter bergaji UMR, yang untuk membeli telur dadar di warteg saja harus berpikir dua kali di akhir bulan. Tapi di layar ini, aku bertransaksi dengan nilai ratusan juta rupiah—bukan uangku tentu saja, melainkan leverage. Utang. Uang semu yang dipinjamkan oleh aplikasi exchange agar aku bisa bertaruh lebih besar, menang lebih banyak, atau hancur lebih cepat.

“Ayolah,” bisikku pada layar. “Naiklah sedikit. Retracement. Sedikit saja.”

Doa itu terdengar ganjil. Dulu, Ibu mengajariku berdoa minta kesehatan, minta jodoh yang baik, atau rezeki yang barokah. Kini, doaku menyusut menjadi permintaan spesifik yang matematis: Tuhan, tolong biarkan RSI (Relative Strength Index) menyentuh angka 30 dan memantul kembali.

Apakah Tuhan mengerti analisis teknikal? Apakah malaikat mencatat amal baik burukku dalam buku besar blockchain yang terdesentralisasi?

Ponselku bergetar. Notifikasi dari grup Telegram “Pejuang Cuan Kripto”. Sebuah pesan masuk dari pengguna bernama Satoshi_Wannabe:

“Tenang, Gan. Ini cuma koreksi wajar. HODL (Hold On for Dear Life). Jangan jual murah ke cukong. Ingat, fundamental kita kuat.”

Aku mendengus. Fundamental apa yang kuat dari koin bergambar kodok yang sedang kupegang ini? Kami semua di grup itu hanyalah sekumpulan orang putus asa yang saling membohongi agar tidak merasa sendirian saat kapal tenggelam. Kami menyebutnya “Komunitas”, padahal itu hanyalah kerumunan orang buta yang saling menuntun ke jurang.

Namun, di sanalah letak magisnya. Di balik angka-angka desimal yang rumit itu, ada harapan yang dijual eceran.

0.00004315.

Harga turun lagi. Jantungku mencelos. Level likuidasi—titik di mana sistem akan otomatis menjual seluruh asetku dan membuat uangku menjadi nol—sudah semakin dekat. Jaraknya tinggal beberapa desimal lagi. Jika harga menyentuh 0.00004300, maka tamatlah riwayatku. Tabungan tiga tahun, uang yang seharusnya untuk merenovasi atap rumah Ibu yang bocor, akan lenyap dimakan algoritma.

Aku mulai berkeringat dingin. AC alamiah dari ventilasi jendela tak mampu mendinginkan kepanikan yang membakar ulu hati.

Dalam keputusasaan itu, ingatanku melayang ke masa lalu. Ke masa sebelum aku mengenal grafik lilin hijau-merah. Dulu, Tuhan terasa begitu sederhana. Tuhan ada di aroma tanah basah setelah hujan, di suara azan Magrib yang bersahutan, di senyum Ibu saat menyendokkan nasi hangat. Tuhan adalah kepastian. Bahwa jika kau berbuat baik, kau akan selamat.

Tapi Jakarta mengajariku hal lain: kepastian adalah barang mewah. Di kota ini, kau bisa bekerja keras banting tulang 12 jam sehari dan tetap miskin. Kau bisa menjadi orang paling jujur dan tetap digusur. Maka, ketika seorang teman mengenalkanku pada dunia crypto, aku seperti menemukan jalan pintas. Sebuah lubang cacing untuk menembus ketidakadilan sosial.

“Di sini tidak ada orang dalam, Wan,” kata temanku dulu. “Pasar tidak peduli bapakmu siapa. Pasar hanya peduli logikamu.”

Ternyata dia salah. Pasar tidak punya logika. Pasar punya emosi. Pasar adalah kumpulan ketamakan dan ketakutan jutaan manusia yang dipadatkan menjadi grafik garis. Dan malam ini, ketakutan sedang menang.

0.00004310.

Sedikit lagi. Aku memejamkan mata. Tanganku gemetar di atas mouse, ragu apakah harus melakukan Cut Loss—menerima kekalahan dan menyelamatkan sisa uang yang tinggal remah-remah—atau bertahan dengan iman buta.

Tiba-tiba, lampu padam.

Pet.

Gelap gulita. Senyap. Kipas angin berhenti berputar, menyisakan baling-baling yang melambat lalu mati. Layar laptopku masih menyala berkat baterai, menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu, menciptakan bayangan hantu yang panjang di dinding.

Tapi ada yang lebih menakutkan: sinyal internet putus. Indikator Wi-Fi di pojok kanan bawah laptop berubah menjadi bola dunia dengan tanda silang.

“Bangsat!” teriakku.

Aku menyambar ponsel. Mencoba menyalakan data seluler. Tapi sial, di kamar kost yang terhimpit gedung-gedung tinggi ini, sinyal seluler seringkali hilang timbul, apalagi saat mati lampu serentak. Indikator sinyal hanya menunjukkan satu bar, lalu hilang menjadi ‘E’. Edge. Sinyal purba yang tak mungkin mampu memuat data real-time bursa global.

Aku terputus.

Di saat-saat paling kritis dalam hidupku, aku buta. Aku tidak tahu apakah harga sedang naik menyelamatkanku, atau sedang terjun bebas membunuhku. Aku tidak tahu apakah aku masih punya uang atau sudah menjadi gelandangan.

Aku berlari keluar kamar, menuruni tangga kost yang sempit, menuju jalanan gang. Gelap. Seluruh kampung mati lampu. Orang-orang keluar dari rumah mereka, membawa lilin atau lampu senter hp.

Di depan gerbang kost, aku terduduk lemas di bangku panjang pos ronda. Napasku memburu. Tetanggaku, Pak RT yang biasanya galak, duduk di sana sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan koran bekas.

“Mati lampu se-Gardu, Mas Awan. Trafo meledak katanya,” ujar Pak RT santai.

Aku tidak menjawab. Pikiranku masih tertinggal di angka 0.00004310. Apa yang terjadi setelah itu? Apakah sudah 0.00004299? Apakah notifikasi email likuidasi sudah masuk tapi tak sampai ke ponselku?

“Kenapa, Mas? Kok pucat begitu? Kayak dikejar setan,” tanya Pak RT.

“Lebih parah dari setan, Pak,” gumamku.

“Utang?” tebaknya. Orang tua memang tajam instingnya.

Aku mengangguk samar. Bukan utang pinjol, tapi rasanya sama mencekiknya.

Pak RT tertawa kecil, lalu menawarkanku sebatang rokok kretek. Aku menggeleng. Dia menyalakannya sendiri. Asap beraroma cengkeh mengepul, menari di udara malam yang gerah.

“Dulu,” Pak RT memulai cerita tanpa diminta, “saya pernah punya tanah di Bekasi. Luas. Kalau dijual sekarang mungkin miliaran. Tapi tahun 98, pas krismon, saya jual murah buat makan, buat sekolah anak. Nyesel? Iya. Tapi kalau nggak dijual, anak saya nggak jadi sarjana. Rezeki itu aneh, Mas. Kadang dia hilang biar bisa jadi bentuk lain.”

Aku menatap wajah tua Pak RT yang diterangi cahaya bulan samar. Garis-garis di wajahnya lebih rumit daripada pola Fibonacci manapun. Dia kehilangan miliaran (dalam potensi), tapi dia duduk di sini, tertawa, menikmati rokok, dan menyapa tetangga. Dia tenang.

Sementara aku? Aku memiliki (atau merasa memiliki) aset digital yang bahkan tidak bisa kupegang, dan itu membuatku gila. Aku merasa menjadi Tuhan atas nasibku sendiri saat harga naik, dan merasa menjadi hamba yang terbuang saat harga turun.

“Pak,” tanyaku lirih. “Bapak percaya takdir?”

“Takdir itu kayak listrik ini, Mas,” jawabnya sambil menunjuk tiang listrik yang gelap. “Kita bayar, kita pasang kabel, kita rawat sekringnya. Itu usaha kita. Tapi kalau gardu pusat meledak? Ya kita cuma bisa nunggu nyala lagi sambil ngobrol begini. Kalau nggak mati lampu, kita nggak ngobrol kan?”

Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada grafik merah.

Aku sadar, selama berbulan-bulan ini aku hidup dalam angka. Aku makan sambil memantau angka kalori. Aku tidur menghitung jam. Aku bekerja menghitung gaji. Dan aku bermimpi menghitung profit. Aku mereduksi kehidupan yang luas dan misterius ini menjadi deretan desimal. Aku mencari Tuhan di balik koma, berharap menemukan keselamatan dalam presisi matematika.

Padahal, mungkin Tuhan ada di sini. Di kegelapan gang sempit Jakarta. Di ketidakpastian yang membuat manusia saling menyapa. Di rokok kretek Pak RT. Di ketidakberdayaan yang memaksa kita berhenti sejenak.

Satu jam berlalu. Kami mengobrol tentang banyak hal. Tentang selokan yang mampet, tentang kucing Pak RT yang baru melahirkan, tentang anakku (kalau nanti aku punya) yang sebaiknya tidak usah jadi sastrawan.

Tiba-tiba, lampu jalan menyala terang. Sorak sorai anak-anak kecil terdengar dari ujung gang. Listrik hidup kembali.

Jantungku kembali berpacu. Realitas digital memanggilku pulang.

Aku pamit pada Pak RT, berlari menaiki tangga. Kakiku terasa berat. Ada rasa takut yang berbeda kali ini. Bukan takut rugi, tapi takut mengetahui jawabannya.

Aku masuk kamar. Laptop sudah masuk mode sleep. Aku menggoyangkan mouse. Layar menyala menyilaukan mata.

Sinyal Wi-Fi terhubung. Grafik real-time memuat ulang datanya.

Aku menahan napas.

Grafik itu membentuk ekor panjang ke bawah. Sebuah jarum merah tajam yang menusuk dalam, lalu memantul naik tinggi sekali.

Harga terendah yang tercatat selama mati lampu tadi adalah: 0.00004301.

Satu poin. Hanya selisih satu digit terakhir di belakang koma dari batas likuidasiku di 0.00004300.

Aku tidak hancur. Asetku selamat. Bahkan sekarang harganya memantul naik, portofolioku kembali hijau. Aku untung. Dalam satu jam kegelapan tadi, pasar telah membantai ribuan orang yang memasang posisi di bawahku, lalu berbalik arah memberiku kemenangan.

Aku menatap angka itu lama sekali. 0.00004301.

Seharusnya aku bersorak. Seharusnya aku sujud syukur. Tapi aku justru merasa kosong.

Hanya karena satu digit desimal—seperseribu sen—aku selamat. Bukan karena aku pintar. Bukan karena analisisku hebat. Bukan karena aku orang baik. Hanya karena… kebetulan? Atau karena belas kasihan algoritma?

Di layar, angka-angka itu terus bergerak. Naik, turun, berkedip. Tapi sihirnya telah hilang. Aku tidak lagi melihat wajah Tuhan di sana. Aku hanya melihat kasino raksasa di mana nyawa manusia ditaruh di atas meja putar.

Aku menutup tab browser bursa kripto itu.

Kubuka aplikasi mobile banking. Ku-klik menu “Tarik Dana”. Aku mencairkan semuanya. Modal, keuntungan, sisa remah-remah. Semuanya.

Besok uang itu akan masuk rekening. Aku akan pulang ke kampung. Aku akan memperbaiki atap rumah Ibu. Sisanya, mungkin akan kubelikan gerobak atau modal usaha kecil-kecilan. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak punya desimal di belakangnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam setahun, aku mematikan laptop sepenuhnya. Ruangan kembali gelap, tapi tidak menakutkan. Aku berbaring, mendengarkan suara derit kipas angin yang terasa lebih merdu.

Aku tidak lagi menunggu angka. Aku menunggu pagi. Dan bagiku, itu adalah bentuk iman yang paling murni.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here