Melampaui Sastra Anak karya Ari Ambarwati dapat dibaca sebagai sebuah ikhtiar intelektual untuk membongkar batas-batas yang selama ini melekat pada apa yang disebut sebagai “sastra anak”. Buku ini—yang jejaknya tersebar dalam rubrik Sastra Anak di Semilir.co—tidak berangkat dari ambisi merumuskan teori baru secara sistematis, melainkan dari praktik membaca yang reflektif, personal, dan kritis. Ari menempatkan sastra anak bukan sebagai genre pinggiran atau tahap awal sebelum pembaca “naik kelas” ke sastra dewasa, tetapi sebagai wilayah estetik dan politis yang berdiri dengan kompleksitasnya sendiri. Dari sini, judul Melampaui Sastra Anak menemukan maknanya: melampaui bukan berarti meninggalkan, melainkan menembus cara pandang yang menyederhanakan.
Prolog yang berbicara tentang cerita-cerita dari rumah menjadi pintu masuk yang intim. Ari memulai pembacaan sastra anak dari pengalaman domestik, dari ruang rumah yang menjadi tempat pertama anak berjumpa dengan cerita—baik melalui dongeng lisan, buku bergambar, maupun ingatan kolektif keluarga. Rumah di sini tidak sekadar latar, tetapi medan awal pembentukan imajinasi dan relasi emosional dengan bahasa. Dengan cara ini, sastra anak sejak awal ditarik keluar dari ranah institusional semata—sekolah, kurikulum, atau pasar buku—dan dikembalikan ke pengalaman keseharian yang hidup.
Pembahasan mengenai cerita terjemahan kemudian memperluas cakrawala tersebut. Melalui cerita terjemahan, anak diperkenalkan pada “liyan”: tokoh, budaya, nilai, dan dunia yang tidak selalu hadir dalam pengalaman lokalnya. Ari membaca sastra terjemahan sebagai praktik etis dan kultural, di mana halaman buku menjadi ruang perjumpaan lintas budaya. Cerita anak terjemahan bukan sekadar produk globalisasi, melainkan medium untuk melatih empati, memperkenalkan perbedaan, dan menggeser pandangan yang sempit tentang dunia. Dalam konteks ini, sastra anak berfungsi sebagai jendela, bukan tembok.
Tema sejarah, seperti yang hadir dalam pembahasan tentang rempah, menunjukkan keberanian Ari untuk menempatkan isu-isu yang kerap dianggap “terlalu berat” ke dalam wilayah bacaan anak. Sejarah tidak dilihat sebagai kumpulan fakta kering, melainkan sebagai cerita yang dapat diolah secara naratif dan imajinatif. Dengan demikian, anak tidak dijauhkan dari kompleksitas dunia, tetapi justru diajak mengenalnya melalui bahasa yang sesuai, tanpa meremehkan kecerdasannya. Di sini, sastra anak tampil sebagai medium pengenalan sejarah dan kesadaran kritis sejak dini.
Ketika Ari membahas dunia fantasi—lemari Narnia, tongkat Harry Potter, atau biola Henki—ia tidak berhenti pada kekaguman terhadap daya sihir cerita-cerita tersebut. Fantasi justru dibaca sebagai ruang penyelamatan, bukan hanya bagi anak, tetapi juga bagi pembaca dewasa. Cerita anak, dalam bentuk fantasi, menyediakan kemungkinan pelarian yang produktif: pelarian yang memungkinkan refleksi, pemulihan, dan perenungan ulang atas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, sastra anak tidak kehilangan relevansinya seiring bertambahnya usia pembaca; justru maknanya terus berubah dan bertambah.
Gagasan tentang bacaan anak yang melintasi batas usia ditegaskan kembali ketika Ari menulis tentang membaca cerita naga dan raksasa di usia lima puluh tahun. Pembacaan ulang ini menunjukkan bahwa sastra anak bukan teks sekali baca, melainkan teks yang hidup. Cerita yang sama dapat dibaca dengan lapisan makna yang berbeda, tergantung pengalaman dan usia pembacanya. Dengan demikian, batas antara sastra anak dan sastra dewasa menjadi kabur, bahkan problematis.
Di sisi lain, Ari juga memberi ruang pada cerita-cerita yang berakar pada keseharian dan lokalitas, seperti yang tampak dalam kisah “Pak Kebun, gorengkan sukun”. Cerita semacam ini menegaskan bahwa sastra anak tidak harus selalu spektakuler atau fantastis. Kehidupan sehari-hari, dengan segala kesederhanaannya, menyimpan potensi naratif yang kuat. Melalui cerita-cerita ini, anak diperkenalkan pada dunia yang dekat, akrab, dan membumi, sekaligus pada nilai-nilai sosial dan kultural yang melekat di dalamnya.
Humor dan kenakalan anak-anak juga mendapat perhatian khusus. Anak-anak jenaka bukan hanya tokoh penghibur, tetapi representasi kebebasan, kreativitas, dan resistensi kecil terhadap tatanan yang kaku. Tawa dalam sastra anak, sebagaimana dibaca Ari, memiliki fungsi yang lebih dalam daripada sekadar hiburan; ia menjadi ruang ekspresi dan pembelajaran emosional.
Pembahasan mengenai puisi anak membuka dimensi lain dari sastra anak, yakni relasinya dengan bahasa sebagai bunyi, irama, dan permainan. Puisi memperkenalkan anak pada pengalaman estetis bahasa yang tidak selalu harus logis atau naratif. Bahkan, ketika Ari berbicara tentang puisi anak sebagai suara minor, ia menegaskan bahwa sastra anak juga dapat memuat nada-nada sunyi, sedih, atau reflektif. Anak tidak selalu hidup dalam dunia cerah tanpa luka, dan sastra anak tidak perlu berpura-pura demikian.
Salah satu bagian paling kuat dalam buku ini adalah pembahasan tentang ingatan yang disterilkan, trauma perang, dan politik pelupaan. Di sini, sastra anak tampil sebagai medan ingatan. Cerita anak dapat menjadi alat untuk menyampaikan sejarah traumatik dengan cara yang tidak brutal, tetapi tetap jujur. Ari menunjukkan bahwa keputusan tentang apa yang diceritakan kepada anak—dan apa yang disembunyikan—selalu bersifat politis.
Kesadaran politis ini mencapai puncaknya ketika Ari menegaskan bahwa membaca cerita anak itu politis. Dari pilihan buku, cara membaca, hingga nilai yang disampaikan, semuanya berkontribusi pada pembentukan subjek. Sastra anak, dengan demikian, tidak netral. Ia terlibat dalam produksi makna, identitas, dan relasi kuasa.
Epilog buku ini merangkum seluruh gagasan tersebut dalam pertanyaan mendasar: mengapa kita butuh sastra anak? Jawabannya tidak tunggal, tetapi jelas bahwa sastra anak dibutuhkan bukan hanya untuk anak, melainkan untuk menjaga kepekaan, imajinasi, dan kemanusiaan kita bersama. Melampaui Sastra Anak mengajak pembaca untuk membaca ulang, berpikir ulang, dan menempatkan sastra anak sebagai wilayah yang serius, kaya, dan layak direnungkan secara mendalam. Jika Anda ingin, saya bisa menyesuaikan esai ini agar lebih bernada resensi media, akademik ringan, atau reflektif personal.
Identitas Buku

Judul : Melampaui Sastra Anak
Penulis : Ari Ambarwati
Jumlah halaman: 154 hlm
Ukuran : 12 x 19 cm
Penerbit : Madani
Cetakan Pertama, September 2025
ISBN : 978-623-8042-56-2





















