
Keramaian merupakan ciri khas sebuah festival. Begitu jua kala kami menyambangi Festival Budaya Kampung Cempluk ramai dipenuhi pengunjung dan penjual. Kampung Cempluk rutin mengadakan festival budaya setiap tahunnya. Kampung ini berlokasi di jl. Dieng Atas, Sumberjo, Kalisongo, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Hiruk pikuk malam festival hari ketiga itu memecah suasana. Lengkingan suara penjual, penjaga parkir, dan percakapan puluhan orang menembus gendang telinga. Sosok gapura bambu seolah berperan sebagai penyambut.
Masuk lebih dalam, stan-stan penjual menemani sepanjang jalan menuju panggung utama. Makanan ringan, minuman berbagai rasa, dan permainan berhadiah mengisi stan dengan rapi. Sebuah rumah hantu bahkan ikut memeriahkan festival. Tawa khas makhluk halus yang sudah dikenal luas samar-samar terdengar dari dalam. Atmosfer mencekam nan remang semakin mendukung kesan horor.
Tak jauh darinya, sebuah petunjuk arah memberitahu letak panggung utama. Pengunjung berbondong-bondong menargetkan panggung utama. Ingin menyaksikan sajian kreativitas kebudayaan yang ditawarkan.
Tegaknya panggung utama seakan menyambut antusias penonton. Sang pembawa acara dengan cekatan memandu jalannya penampilan yang telah diagendakan. Berbagai jenis penampilan disuguhkan kepada netra penonton. Panitia berseragam hitam sigap menemani pengisi acara.
Kemeriahan panggung salah satunya diisi dengan Tari Nusantara. Empat orang anak perempuan menaiki panggung dengan percaya diri. Memberikan tarian tradisional yang mencakup daerah Sabang sampai Merauke.
Tak hanya itu, kembali penonton menyaksikan pertunjukan mode pakaian, atau yang lebih dikenal dengan fashion show. Inisiatif penampilan dari SMK 3 Malang itu menghadirkan berbagai pakaian hasil karya sendiri siswa-siswinya. Tiap desainnya mengandung coraketnik budaya khas Indonesia. Sebuah kreativitas yang sangat pantas diapresiasi.
Dipandu oleh Niken dan Rio, kedua pembawa acara tersebut beralih ke agenda selanjutnya. Kali ini ialah tari tradisional dari luar negeri nan jauh. Tari Tradisional Sudanese menyuguhkan delapan orang asal Sudan bergerak mengikuti irama.
Gerakannya yang unik tetapi sederhana sukses membuat penonton penasaran. Pembacaan puisi disajikan pula pada panggung malam itu oleh Coqi Basil.
Penampilan budaya penutup, ialah penampilan Bantengan. Area panggung yang tak begitu ramai, dalam sekejap menjadi penuh sesak. Bantengan seakan agenda puncak malam itu. Bahkan area untuk jalan sudah penuh hingga tak bisa dilewati. Apresiasi warga terhadap Bantengan memang tak pernah mengecewakan.
Sepanjang jalan dan di area panggung, lentera-lentera menerangi gelapnya alam terbuka. Absensi rembulan pada malam itu pun seakan tidak disadari. Lokasi festival tetap mendapat penerangan dari lampu dan ramainya lentera.
Menilik dari segi makna, tentu lentera tersebut tidak dipasang tanpa maksud. Cahayanya yang indah dan memesona seakan merepresentasikan keseluruhan festival. Kehadiran festival di tengah Kampung Cempluk begitu mendapat antusiasme tinggi dari masyarakat, khususnya di Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang). Kini, Kampung Campluk tanpa festival seperti makan tanpa minum. Tidak akan lengkap dan harus dilaksanakan.

Penampilan kreativitas budaya pun menjadi salah satunya. Sebuah budaya memang harus diturunkan pada setiap generasi. Festival apresiasi budaya Indonesia pun dihadirkan untuk mendapat perhatian dan antusias yang sepatutnya.
Inisiatif dan praktik yang dilakukan warga Kampung Cempluk sudah seharusnya menjadi contoh bagi wilayah. Festival apresiasi budaya itu tidak boleh dianggap remeh. Dengan memupuk semangat apresiasi, budaya Indonesia akan terus abadi.