Latatu Nandemar

Ayah selalu bersikeras gerbang masuk ke rumah jangan dipasangi pagar. Semua boleh mengkritik Ayah tentang hal lain, tapi jangan pernah coba-coba berdebat dan mengkritik tentang keputusannya masalah pagar rumah, walaupun pada dasarnya ayah tetaplah orang yang tidak suka dengan kritikan. Kami memang baru saja mendirikan tembok pagar di depan rumah, tapi ayah meminta untuk tidak dipasangi pagar besi.

Alhasil, pagar rumah yang semula akan dipasang sebagai pengamanan tetap melompong seperti mulut kudanil yang sedang terbuka. Ibu selalu misuh-misuh dengan keputusan ayah ini. “Maling bisa masuk kapan saja, Pak!” seloroh ibu suatu ketika. “Lah, yang namanya maling, dipagar tidak dipagar tetap saja bisa masuk, Bu!” ayah membalas tidak mau kalah.

Ibu yang memiliki tingkat keras kepala yang hampir sama dengan ayah berniat kembali membalas. Tapi untunglah, seorang petugas pos yang rutin sebulan sekali ke rumah, datang mengantarkan surat dari perusahaan asuransi ternama. Jika tidak, maka perang kata-kata yang semula level biasa, akan naik tingkat menjadi sedikit luar biasa.

Seperti biasa, petugas pos yang biasa kami panggil Pak Hasan, akan masuk ke halaman sekaligus dengan motor dinas yang sudah agak pudar warnanya. Kami sudah sangat akrab dengan beliau. Tidak, bukan kami, tetapi Ayahlah yang akrab dengan Pak Hasan ini. Dan tidak hanya dengan Pak Hasan, Ayah memang selalu akrab dengan siapa saja. Dan siapa saja akan selalu senang jika sudah ngobrol dengan Ayah. Baik itu yang hanya ngalor ngidul atau pun yang tingkat serius. Seperti pak Hasan ini, beliau akan selalu menyempatkan ngobrol dengan Ayah barang 15 atau 20 menit. Baru kemudian kembali melanjutkan tugasnya.

- Poster Iklan -

Ibu sendiri bukannya tidak beralasan ingin agar gerbang dipasang pagar besi. Sudah sering ibu  kehilangan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak terpakai. Ya, barang yang sudah pensiun dari tugasnya memang selalu ditaruh di sudut depan halaman rumah. Karena kami memang tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membuat gudang barang.  Alhasil, setiap ada benda yang sudah tidak lagi terpakai, maka akan ditumpuk di depan rumah yang seharusnya bersih dari barang sisa-sisa. 

Untuk yang satu ini pun selalu terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil. Ayah ingin semua yang tidak terpakai diberikan saja kepada pemulung yang lewat, atau kepada siapa saja yang mau. Tetapi Ibu akan menentang dan membela habis-habisan semua koleksinya itu. Kami sudah terbiasa dengan diskusi-diskusi antara Ayah dan Ibu. Sehingga tidak begitu terganggu. Mungkin sudah terlalu sering sehingga kuping kami kebal. 

“Lihat tuh, Pak!” kembali ibu memecah pagi dengan suaranya yang seramai cerecet tiga burung parkit. “Gulungan selang kita hilang. Ini pasti ulah para pemulung itu,” lanjut ibu. “Lha, kenapa tidak dikasihkan saja ke pemulung itu dengan ikhlas. Aku yakin ibu tidak akan sakit hati kalau diberikan dengan ikhlas ke mereka,” kata ayah menimpali. “Lagian kan sudah tidak kita pakai.” Ibu  kembali membalas dengan ucapan-ucapan yang dilontarkan hanya dengan satu tarikan napas, disertai penambahan volume beberapa desibel yang tak lagi bisa kutangkap dengan jelas.

 Kalau sudah seperti itu, biasanya mereka akan berdamai ketika waktu dhuhur mulai masuk dan makan siang sudah harus dihidangkan. Aku sendiri yakin jika ini adalah ulah pemulung karena mereka sering kepergok, tetapi aku juga setuju dengan Ayah, jika barang itu tidak terpakai lagi, berikan saja pada mereka.

Ayah dan Ibu memang sudah kami minta untuk beristirahat di rumah. Mereka sudah memasuki masa tua yang seharusnya tenang. Kami tujuh anaknya sudah harus menyenangkan mereka. Dan itulah yang sekarang sedang kami lakukan. Kedua orangtua kami sudah terlalu lama merasakan getir untuk menghidupi kami.

Tujuh anak dan semuanya bisa mereka hidupi dengan berjualan kaki lima. Kami menganggap Ayah dan Ibu adalah orang yang memiliki visi dan misi dalam hidup. Mereka berjualan tidak hanya sekadar untuk menyambung hari ini ke hari esok. Tetapi mereka punya cita-cita yang jelas untuk masa depan anak-anaknya. Dan pendidikan adalah hal yang mutlak bagi kami. 

Jerih payah mereka terbayar. Secara perlahan, satu persatu kami mulai mendapat pekerjaan. Aku sendiri anak bungsu, kesayangan Ibu, sudah bekerja dan bisa memberikan sedikit uang untuk mereka. Walaupun tidak seperti kakakku, yang berhasil menjadi pejabat sebuah kantor pemerintahan, yang  didapatnya secara murni dari pendidikan sekolah pemerintah.

Hari berlanjut. Perdebatan-perdebatan untuk hal kecil masih belum juga redup. Termasuk tentang masalah pagar. Kami, anak-anak yang belum menikah dan masih tinggal bersama mereka mulai bosan karena urusan pagar ini. Rasanya tidak seperti perdebatan yang lain, selesai kemudian berganti dengan perdebatan yang lain. Kali ini agak sedikit alot, lebih menyita, dan tak ada titik temu. 

Kakak perempuanku pernah mencoba meminta Ibu untuk menyudahi peperangan masalah pagar ini, tetapi yang didapatnya adalah: Ibu melebarkan matanya, mengejangkan otot rahangnya, dan mulutnya tak lama menyemburkan kalimat-kalimat tentang pencurian, keamanan, barang hilang, dan merembet membahas Ayah yang Ibu anggap keras kepala. Melihat reaksi seperti itu, kakak menyerah. 

Telah kucoba melunakkan hati Ayah agar menuruti kemauan Ibu. Setidaknya Ayah membalas dengan lebih bijak. “Nak, jika rumah ini ditutup, maka setiap orang yang melihatnya akan enggan untuk bersilaturahmi. Mereka akan merasa bahwa kita membatasi. Dengan dipasang pagar, mereka menganggap ini adalah batas yang tidak boleh mereka lalui.” Ayah menjelaskan. 

Setidaknya aku senang jika berdiskusi dengan Ayah. Mungkin itu sebabnya ayah memiliki banyak relasi meski hanya pensiunan kaki lima. Ayah memiliki gaya bicara yang menawan. Pengetahuan luas karena senang membaca, dan banyak lagi sehingga banyak orang bertamu, entah itu obrolan iseng sampai curhat masalah keluarga. 

Banyak rumah tangga yang hampir bercerai dan kembali utuh setelah mengikuti nasehat ayah. Atau tetangga yang anaknya terlibat kenakalan remaja dan berurusan dengan polisi, Ayah akan diminta bantuannya karena ia memiliki beberapa kenalan polisi, bahkan tentara.  Ternyata itulah alasan ayah mengapa pagar tidak boleh ditutup. Ayah tidak mau kehilangan jalinan silaturahmi dengan siapapun di masa tuanya ini.

Hari-hari kembali berlanjut. Pagi kembali pecah oleh suara Ibu. Tetapi tidak seperti biasanya. Ibu memanggilku setengah menjerit dan tangis yang tertahan. Ayah terbujur pingsan di atas  kasur kesayangannya. Sepertinya serangan jantungnya kembali. Ini memang bukan yang pertama, sebelumnya entah berapa kali, Ayah sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit yang dideritanya ini. Aku segera menghubungi nomor ambulan yang aku simpan sejak Ayah masuk rumah sakit pertama kali. 

Tetapi kali ini berbeda. Ayah benar-benar tidak sadarkan diri. Sebelumnya Ayah masih selalu sanggup bertahan. Kali ini aku ragu. Ibu bertahan agar tangisnya tidak pecah selama dalam ambulan. Tetapi ketika sampai di UGD, ibu tak lagi bisa menahannya dan tangisnya benar-benar pecah. Ayah berpulang dengan begitu tenang. Tak ada rintihan, tak ada tanda-tanda, seolah tak ada rasa sakit. Ayah dipanggil oleh pemilik kehidupan. 

Satu bulan setelah kepergian Ayah, tamu-tamu yang ingin menyampaikan rasa belasungkawa terhadap keluarga kami masih tetap berdatangan. Entah itu dari lingkungan sekitar, dalam kota, maupun luar kota. Dan keputusan untuk memasang pagar teralis untuk menutup gerbang yang masih menganga mulai kembali muncul dalam pikiran Ibu. Ibu sama sekali tidak bermaksud tidak menghormati keinginan Ayah untuk tidak memasang pagar, tetapi ibu merasa lebih aman jika pagar dipasang sebagai gerbang. 

Pak Warno pemilik bengkel las yang masih kenalan mendiang Ayah ditunjuk untuk melakukan pengerjaan tersebut. “Jadi semua sudah lunas ya, Pak,” satu pekan setelah pemesanan, pagar pun datang dan selesai dipasang. “Iya, Bu. Terima kasih, kalau ada apa-apa hubungi saja, garansinya satu bulan ya, Bu. Cuma bengkel saya saja yang berani pakai garansi, yang lain mana ada,” balas si pemilik bengkel setengah promosi.

Setelah melakukan beberapa pengecekan, si pemilik bengkel dan para pekerjanya yang berjumlah dua orang menyeruput kopi hitam yang sudah mulai dingin. Pak Warno dan Ibu sempat mengingat-ingat kembali kenangan tentang Ayah. Mereka tertawa mengingat candaan Ayah yang diceritakan kembali oleh pak Warno. Mata ibu sedikit berkaca.  Lalu pak Warno pamit pergi meninggalkan sisa tawa kenangannya tentang Ayah, tetapi ibu terdiam dengan mata yang berkabut. 

***

Hanya perasaanku saja? Atau memang ini benar-benar terjadi? Di keesokan hari, setelah kepergian Pak Warno, rasanya sunyi menyergap. Ah, ini hanya perasaanku saja, tepis hatiku. Tetapi, sejak pagar besi ini terpasang, tak ada tamu yang muncul seperti sebelum-sebelumnya. Seolah Pak Warno dan para karyawannya adalah tamu terakhir yang meninggalkan jejak kaki di halaman rumah kami. 

Petugas pos yang biasa mengantarkan surat dari perusahaan asuransi untuk kakak perempuanku hanya mengantar sampai depan pagar, tak lagi masuk sampai halaman. Menyalakan klakson, menunggu penghuni rumah keluar, lalu pamit pergi. Karena pagar inikah? Mungkin benar apa kata Ayah, mereka akan sungkan untuk bertamu apabila rumah sudah dipasangi pagar besi. Sejak kepergian ayah, kesunyian menyergap rumah kami.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here