Sunyi
Sumber foto: Kumparan.com

Perayaan yang sunyi.

Manusia menetapkan hari-hari tertentu untuk memperingati hidup. Aneka peringatan itu sepanjang tahun dilakoni dengan bermacam langgam. Ada yang merayakan megah dengan segala pernak-perniknya, pula ada yang sekadar memaknai momen tanpa pesta.

Penghujung tahun satu dari banyak momen yang penting bagi manusia. Umumnya penanggalan yang dipakai adalah kalender Masehi –meski ada beberapa wilayah ada yang mempunyai penanggalan sendiri namun secara universal (global) kalender Masehi lazim diberlakukan. Penomoran Masehi dalam setahun tersusun atas 365 hari yang terbagi menjadi 12 bulan. Tiap-tiap bulan adalah rangkaian dari 28 sampai 31 hari yang terbagi lagi jadi 4 Minggu yang masing-masingnya terjalin dari 7 hari. Alpa tahun Masehi adalah tanggal 1 Januari, sementara omeganya pada tanggal 31 Desember (penghujung tahun).

Melewati setahun artinya telah melalui 12 bulan, 48 Minggu, dan 365 hari. Barang pasti ada beragam perkara yang terjadi; suka-duka, pahit-manis, tawa-tangis, dan adonan lainnya. Tidaklah mudah menjalani semua itu. Hanya sosok manusia tangguh dengan pertolongan Pencipta Semesta yang mampu bertahan tetap bahagia. Katanya Tulus dalam untaian liriknya “Manusia kuat”.

- Poster Iklan -

31 Desember 2022, sekali lagi berada di penghujung tahun. Seperti biasa, mengambil waktu sejenak merenungi hidup. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merenung ialah memandang (menatap). Memandang apa yang sudah berlalu. Konteks ini memandang masa lalu bukan berarti berkutat dengan yang sudah berlalu, akan tetapi menempatkan sejarah sebagai pelajaran menuju masa depan.

Kata lain yang bermakna sama dengan merenung adalah kontemplasi. Makna kontemplasi terbilang lebih dalam, yakni renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran dan perhatian. Dengan demikian renungan atau kontemplasi ditujukan untuk memaknai sesuatu hal dengan fokus agar diperoleh suatu pemikiran yang jernih dan sehat.

Kiat kontemplasi momen 31 Desember sudah lumrah dilakukan masyarakat penjuru dunia, semacam ritual akhir tahun. Tujuannya memaknai perjalanan kehidupan setahun berlalu sebelum melangkah di tahun mendatang. Begitulah yang sedang kulakukan, mencatat buah pikir dan rasa di penghujung tahun.

Angin yang berhembus lumayan kencang (kira-kira mampu menyibak seng tapi tidak sampai mencabut rumah) menemaniku bercengkerama dengan sore.

Tahun ini aku memang tidak berkumpul dengan keluarga sebab baru setengah tahun saja balik kampung untuk menghadiri hari bahagia saudara. Mungkin tahun baru berikutnya akan mudik.

Mengakhiri dan mengawali tahun di tanah rantau bukan hal yang anyar bagiku. Sepuluh tahun terakhir semenjak merantau (saat SMA) sudah berulang kali kulalui. Dan tidak jadi soal, meski jauh dari keluarga di saat momen berharga (natal, tahun baru plus hari ulang tahun tepat 1 Januari). Bagiku semua ada masanya. Masa-masa seperti ini (sunyi) pun mungkin akan berlalu dan dirindukan. Jadi, kunikmati saja berteman dengan sunyi.

Berdamai dan berteman dengan sunyi yang tak berbunyi ternyata membahagiakan hati juga. Ia tidak banyak menuntut, lebih-lebih memberi tenang bagi jiwa yang baru saja menyelesaikan marathon kehidupan sewarsa ini. Baru kupahami, sunyi bisa pula dijadikan kawan.

Sunyi memang acap dipandang menakutkan karena dimaknai diikuti sepi. Tidak ada kawan. Untungnya aku sudah berteman dengan sunyi yang membuatku tidak sendiri. Obrolan dengan sunyi membuatku fokus mengenal lebih dalam diri sendiri. Terkadang kita sibuk sepanjang tahun sampai-sampai lupa berbincang dengan diri sendiri ihwal apa yang mau dituju, bagaimana melakukannya dan apakah benar kita akan bahagia dengan tujuan itu. Tanpa memahami tuju lantas kita akan tersesat dengan aktivitas sehari-hari yang bising-melelahkan.

Pikirku, ke depan, penting mempunyai waktu untuk diri sendiri. Menjumpai sunyi, berteman dan berbicara tentang banyak hal. Lalu memperadukan hati dan pikiran sebelum menuju (apapun itu).

Sunyi itu membahagiakan, kawan!

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here