Selain Balai Pustaka dan Pujangga Baru, sastrawan-sastrawan Angkatan 45 juga merupakan salah satu periodisasi kesusastraan di Indonesia. Periodisasi sastrawan-sastrawan Angkatan 45 ini pertama kali muncul karena adanya reaksi terhadap sastra-sastra yang menghamba pada pemerintahan Jepang, dan beberapa sastrawan yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho.
Corak warna karya-karya yang lahir dari Angkatan 45 didominasi oleh unsur yang lebih realistis ketimbang angkatan sebelumnya, lebih individual, ekspresif, bebas, futuristic, dan beberapa menyoal eksistensial. Nyaris keseluruhan karya-karya sastra Angkatan 45 ini juga disebut sebagai kebaharuan dari kesusastraan, karena terlepas dari keterpangaruhan dunia luar. Angkatan 45 jelas meletakkan pondasi kokoh suatu jati diri ke-indonesiaan.
Salah satu sastrawan yang paling menonjol dari angkatan ini ialah Chairil Anwar. Sajak-sajaknya dan dirinya disebut merupakan pelopor dari lahirnya modernisme sastra di Indonesia. Namun tidak cuma Chairil, ada juga nama-nama besar yang produktif pada masa Angkatan 45. Siapa mereka? Berikut selengkapnya Semilir catat di bawah ini.
Chairil Anwar
Orang ini tentu tak bisa dilewatkan begitu saja dari tindak-tanduk Angkatan 45, bahkan kesusastraan Indonesia secara lebih luas. Chairil Anwar sudah seperti panutan semua manusia di Indonesia bilang berbicara mengenai sastra. Semua mengetahui namanya, semua mengetahui puisi-puisinya. Sebab puisinya, kemunculan Angkatan 45 terjadi. Salah satu penanda modernisme kesusastraan; yang terlepas dari pakem konvensional, yang terlepas dari roman adat dan berbagai semacamnya sebelumnya, ada pada sajak-sajak Chairil yang sangat individualistik.
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922. Umur remaja ia pindah ke Batavia dan di sanalah pertemuannya dengan kesusastraan terjadi. Ia sering membaca karya-karya orang luar yang nantinya mempengaruhi tatanannya menulis sajak. Chairil pertama kali didengar luas ketika pemuatan puisinya yang berjudul Nisan dimuat di majalah pada tahun 1942. Ketika itu, ia masih berusia 20 tahun. Sayang, penyair paling terkemuka ini meninggal dunia pada usianya yang sangat muda, 27 tahun.
Asrul Sani
Selanjutnya adalah Asrul Sani. Sastrawan yang masuk dalam periode Angkatan 45 ini tak hanya pandai menulis karya berupa puisi dan cerpen, ternyata ia juga seorang penulis scenario untuk film. Salah satu karya skenarionya yang paling diingat sampai saat ini adalah Jenderal Nagabonar. Adapun karya-karyanya yang lain di antaranya naskah drama, cerpen, dan kumpulan puisi. Asrul Sani juga aktif menerjemahkan karya-karya dari negeri asing.
Lahir di Pasaman, Sumatera Barat, pada tanggal 10 Juni 1926, Asrul Sani merupakan sastrawan yang menggeluti banyak bidang dan minat, itu terlihat dari pendidikannya yang kerap berpindah-pindah. Ia pernah melanjutkan studi sekolah dokter hewan, kemudian sempat belajar di sastra UI, sebelum akhirnya menyelesaikan semuanya pada bidang dramaturgi dan sinematografi. Asrul Sani menghembuskan napasnya pada tahun 2004, pada usia senja 77 tahun.
Rivai Apin
Rivai Apin termasuk sastrawan Indonesia yang pernah mendekam di pulau buru selama 14 tahun lamanya, dan baru dibebaskan pada tahun 1979, karena keberpihakannya pada Lekra. Ia sempat menjadi pimpinan pusat Lekra pada tahun sekitar 1955-1965. Sebagian besar karyanya adalah kumpulan puisi. Bersama Asrul dan Chairil, ia menulis antologi buku puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir, yang diterbitkan setahun setelah meninggalnya Chairil.
Rivai Apin lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada tanggal 30 Agustus 1927. Mungkin ia merupakan penyair Angkatan 45 yang jarang ditengok karya-karyanya, tetapi keseluruhan puisinya setara dengan kemasyhuran sajak-sajak para penyair lainnya. Ia meninggal dunia pada tahun 1995 di Jakarta.
Idrus
Abdullah Idrus, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Idrus, merupaka salah satu sastrawan terkemuka Angkatan 45. Idrus lahir di Padang, Sumatera Barat, pada tanggal 21 September 1921. Ia menjadi salah satu yang paling produktif ketimbang teman-teman angkatannya lainnya. Mulai dari drama, novel, cerpen, dan terjemahan tercatat sebagai karyanya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah cerpen yang berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, yang diterbitkan pada tahun 1948.
Idrus juga adalah orang yang sangat tekun belajar. Ia meraih gelar Master of Arts di Australia. Ia juga pernah menjadi redaktur di Balai Pustaka, Majalah Indonesia, Majalah Kisah, sampai dosen di Universitas Monash. Karya-karyanya banyak dipuji karena penggunaan bahasa yang ringkas, tanpa kiasan yang kental, namun indah dan terasa mengikat. Idrus meninggal dunia pada tahun 1974.
Utuy Tatang Sotani
Setara dengan Idrus, Utuy Tatang Sotani adalah sastrawan 45 yang sangat produktif menulis karya. Ia menulis lebih 10 karya sastra, mulai dari kumpulan cerpen, drama, sampai terjemahan. Hanya saja, karya-karya Utuy sempat dilarang pada masa-masa ketegangan di Indonesia. Pecahnya G30S pada 1965 juga membawanya terdampar di negeri asing. Ia menghabiskan masa hidupnya di Moskwa.
Utuy Tatang Sotani lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 31 Mei 1920. Selain aktif menulis, ia bekerja di RRI Tasikmalaya, pernah di Balai Pustaka, sampai di Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Indonesia. Ia mulai terkenal ketika banyak menulis cerita-cerita lakonnya pada rentang tahun 1940-1950. Utuy meninggal dunia di Moskwa pada tahun 1979 dalam keasingan yang tak dikenalinya.
Itulah beberapa sastrawan dari Angkatan 45 di Indonesia. Selain itu, masih banyak lagi sastrawan-sastrawan yang tergolong Angkatan 45, sebut saja Achdiat K. Mirja, dan Bakri Siregar, mereka juga merupakan penulis yang terampil dan hebat di antara masing-masing kawan angkatannya.