Kebudayaan

Sebagai sastrawan muda, saya begitu khawatir dengan nasib Taman Krida Budaya Jawa Timur. Bangunan dengan dominasi pendopo joglo itu kini kian sepi aktivitas kebudayaan. Mengartikan bahwa budaya dan kesenian di Malang sedang berada di dua jurang. Pertama, “Tenggelam” yang mengartikan budaya dan kesenian menghilang dari rumahnya sendiri. Kedua, “Pembaruan” yang mengartikan akan terjadi penghapusan budaya lama dengan budaya baru. Sama halnya dengan menghapus budaya dan seni yang sudah ada, dan digantikan dengan yang ”baru” entah apapun mereknya.

Kebudayaan di Malang saat ini seperti ditelantarkan – Taman Krida sebagai hawanya sudah tidak memancarkan wangian seni dan budayanya. Pendopo itu menjadi bangunan mati. Sangat berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana taman krida sangat aktif dalam giat pertunjukan sosial budaya, seperti pertunjukan kesenian, wayang, lomba sejarah, drama, musik, ludruk dan talkshow kebudayaan. Namun, seni itu sudah berlalu, sekarang kita hanya bisa mendengarnya melalui cerita ada di warung kopi ihwal kejayaan masa lalu.

Beberapa budayawan dan seniman di Malang kewalahan mencari tempat dan lokasi yang saja pas dengan seni itu sendiri. Tadi siang saya melihat ada segerombolan orang sedang membawa alat-alat bantengannya menuju ke Tumpang, sedang rumah mereka ada di MT. Haryiono yang tak jauh dari Taman Krida itu. Sungguh miris!

Seni yang dipentaskan di kafe-kafe atau gedung mewah yang berlukis, tentunya jauh dari estetika dan artistik. Jika kita membaca tulisan Halim HD “Quo Vadis Tata Ruang Kebudayaan Malang?”, kita akan mendapati suatu fakta bahwa kesenjangan antara kebudayaan dan kesenian di Kota Malang sendiri. Pak Halim mencontohkan Taman Krida Budaya pada era 70 hingga 90-an, dimana kesenian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tubuh Kota Malang. Taman itu menjadi ruang publik langganan masyarakat luas, baik itu petani-pedagang, dan mahasiswa.

- Poster Iklan -

Mungkin kala itu masih sedikit kampus yang muncul, disusul kafe dan resto yang masih berjumlah sedikit. Tapi, hal itu tidak menjadi titik terangnya. Seharusnya, masa sekarang lebih banyak pengunjungnya karena sudah banyak kampus yang bermunculan. Apalagi Kota Malang sudah terhias dengan kuliner dan wisatanya.

Tentu Taman Krida menjadi objek yang dicari karena semua kesenian akan dipajangkan di taman itu. Selain para budayawan-seniman-sastrawan ada juga mahasiswa dari berbagai daerah yang ikut hadir untuk berpentas.

Sebuah pertanyaan akhirnya muncul, kok bisa taman budaya itu tak terurus? Pertunjukan kesenian di Malang mati karena tak ada ruang yang pas untuk berekspresi. Nyatanya, masih banyak para seniman teater dan seniman puisi yang melestarikannya di luar. Seperti di kafe, kampus, dan lapangan. Syukurnya, di kampus UM ada sebuah komunitas “Sendratasik” yang masih menggiat kesenian, meskipun agendanya setahun sekali. Meskipun ruangan itu cukup aman, tapi ada kesenjangan antara nyawa budaya dan tubuh senimannya. Semestinya harus ada rumah yang tepat untuk kesenian itu, seperti Taman Krida Budaya (TKB).

Jika kita memutar kembali pada 2016 lalu, Kota Malang menjadi tuan rumah dalam ajang budaya berskala nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menggelar event dengan tema “Dari Pinggiran Merajut Budaya Nasional”. Tentu, Taman Krida yang merupakan aset Pemda Jatim itu menjadi tatapan semua seniman dan budayawan di Indonesia.

Semua orang datang berseliweran menuju pendopo yang berlokasi di jalan Soekarno itu. Bondongan orang membuat masyarakat sekitar merasa diuntungkan, sebab mereka yang berjualan bisa mendapatkan sedikit rejeki di sekitar Taman Krida. Namun, sekali lagi, kehidupan seni dan budaya di pendopo itu hidup hanya sebentar saja, saat ini tidak ada kehidupan di taman itu. Saya hanya berandai-andai, jika aset itu diserahkan kepada kelompok yang ingin dan mampu mengurusnya tentu akan jauh lebih baik secara esensial hidup dan bermanfaat. Daripada membiarkan taman itu hanya sebagai saksi bisu para penjual jajanan di malam harinya – terlantar. Misal, kepemilikannya ada pada pemerintah Kota Malang, dan pengelolanya oleh dinas terkait Kota Malang beserta para penggiat budaya. Saya dengan penuh yakin, pasti akan ada kehidupan seni dan budaya yang besar. Komunitas sastra dan budaya yang ada di Malang akan bergotong menghidupkan ruang kesusastraannya.

Namun, itu gagasan semacam itu sulit rasanya terbersit di pikiran para pembuat kebijakan karena tidak menguntungkannya secara materi sama sekali. Terlebih, akhir-akhir ini, ada wacana hendak masuk dan mengambilalih Taman Budaya lalu dijadikan hotel berbintang. Berita yang ditayang di timesindonesia.com membuat saya menepuk jidat. Bukannya menghidupkan kembali situs budaya, pemprov malah mengizinkan para investor menyulapnya menjadi hotel. Tentu itu adalah sebuah taktik untuk menguburkan etalase seni dan budaya di Malang. Sama seperti yang saya katakan di awal, bahwa taman itu masuk pada jurang kedua. Kebudayaan dijadikan aroma politik untuk sebuah kepentingan.

Dahulu, Malang sangat lihai mengekspos budayanya seperti Ludruk khas Malang dan Bantengan. Saat ini, budaya itu akan dihilangkan dan memilih budaya dengan gaya kebarat-baratan. Hemat saya, keputusan yang dilakukan pemprov jatim atas perizinan penyulapan ini adalah sebuah langkah yang gegabah. Pihak pemprov melakukan passive income yang merusak rumah ibadah seni itu sendiri. Pertanyaan saya, jika pendopo itu dilelang menjadi hotel, apakah akan disediakan pendopo penggantinya?

Kembali pada tulisan pak Halim HD yang menginginkan taman krida semestinya menjadi pusat kesenian atau Art Center. Pada masa transisi yang menguat ini, saya kira taman krida hanya bisa kita dengar melalui obrolan di angkringan kopi, kalaupun di media tentunya akan tenggelam, sebab kelak akan berubah namanya. Keberadaannya yang tepat di depan rumah sakit Universitas Brawijaya itu justru menimbulkan obrolan warung kopi dengan frasa “Pernah Ada”.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here