Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024
Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024

Kebaruan dari Synchronize Fest 2024 adalah memasukkan artis di luar Indonesia ke dalam kantong sang kurator. Lalu pertanyaannya, apakah Synchronize sudah kehabisan artis, sehingga mulai mengikuti jejak We The Fest, Soundrenaline, Joyland Festival, dan Pestapora?

Synchronize Fest terkenal sebagai festival berskala nasional dengan konsep ruangan terbuka, dilaksanakan selama tiga hari, dan merayakan beragam genre dari berbagai generasi. Lalu di tahun 2024, Synchronize membawa upaya untuk merayakan lingkungan terdekatnya, yaitu Jakarta Utara sebagai rumah mereka selama 9 tahun, yang direpresentasikan melalui visual, dan dengan taglinenya #TogetherBersama.

Nampaknya, upaya tersebut coba disampaikan melalui visual yang dilakukan dengan pendekatan berbasis riset ke sudut-sudut kota yang dekat dengan kita, seperti pasar, misalnya. Riset ini ditujukan untuk melihat bagaimana masyarakat merayakan visual, dan dekat dengan sekeliling kita. Kemudian, melalui pendekatan tersebut lahirlah kata kunci, yaitu Found Object, dan Typography.

Ini terbukti ketika saya mendatangi perhelatannya di hari kedua. Saya melihat dan merasakan bagaimana tipografi warteg, mulai dari font sampai colouring-nya, dipakai untuk menamai Panggung Getar. Tipografi yang dimiliki bus kota macam Kopaja dan atau MetroMini pun ikut serta meramaikan artistik Synchronize Fest 2024. 

- Poster Iklan -

Kemudian, Found Objek yang saya lihat direpresentasikan melalui merchandise baju Synchronize Fest 2024 yang memunculkan gambar kursi bakso dan bajaj (dibaca: bajay). Pendekatan Tipografi dan atau Found Object tersebut mungkin tidak seutuhnya mengalami salin-tempel. Namun, nyawa dari warna, font, dan size itu masih melekat, dan bisa dinikmati secara sadar.

Kemudian, representasi dari #TogetherBersama menurun juga ke sisi kuratorial artisnya. Ada nama-nama asing dari deretan artis tersebut yang membuat Synchronize menjadi tidak seperti kebiasaannya. Seperti ada kesengajaan dalam menghadirkan kolaborasi antara dalam dan luar negeri. Parafrase saya ketika melihat tayangan konferensi pers Synchronize 2024, di YouTube demajorsTV, bahwa kolaborasi ini adalah bukti respon penyelenggara dengan cara menangkap narasi-narasi tentang Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang luar negeri–melalui musik sebagai wadahnya–untuk diselebrasikan di kampung halamannya, yaitu Indonesia.

Misalnya, musisi-musisi luar yang mencoba menggambarkan Indonesia melalui tema lagu-lagu mereka, melalui lirik-lirik berbahasa daerah Indonesia, bahkan yang bangunan musiknya juga menggunakan instrumen tradisional Indonesia, serta susunan nada atau tangga nada yang menyerap dari nada-nada tradisi daerah Indonesia. Itulah yang menjadi alasan serta indikator mendatangkan musisi luar negeri ke dalam Synchronize Fest 2024.

Ketika lineup artis dirilis, saya melihat beberapa jejeran artis luar negeri seperti Koes Barat yang berasal dari Amerika. Band ini pernah merilis album tribute untuk Koes Plus, bersama label Sub Pop yang menjadi tempat Nirvana bernaung. Sama seperti G-Pluck yang meniru The Beatles, maka Koes Barat pun meniru Koes Plus. Artis berikutnya datang dari Belanda. Orang-orang dari kincir angin ini membentuk sebuah band bernama Nusantara Beat yang memainkan musik Indonesia dengan sound 70’an, beraliran Pop Sunda.

Eastern Margins, kolektif kebudayaan Asia yang berbasis di London, dengan para anggotanya yang berisi diaspora dari Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka mengekspresikan identitas Asianya masing-masing–salah satunya tentang Indonesia–di benua Eropa. Kemudian seorang multi instrumentalis dari label K Record–label indie yg dihormati di Amerika–bernama Arrington De Dionyso. Ia adalah musisi eksperimental yang bikin album Malaikat dan Singa yang mengedepankan narasi Indonesia. Pergerakan Synchronize juga semakin menarik karena turut membersamai disjoki transpuan, Asa Kusumah.

Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024
Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024


PERUBAHAN PANGGUNG

Diketahui bahwa tahun lalu, Synchronize Fest: Bhineka Tunggal Musik, punya panggung sebanyak delapan; Dynamic Stage, District Stage, Lake Stage, Forest Stage, XYZ Stage, Gigs Stage, Record Market, dan Panggung Getar. Tahun ini juga masih sama, namun Record Market dan Lake Stage dihilangkan, dan muncul Salon & Barkaraoke.

Salon & Barkaraoke ini punya multifungsi, yaitu ketika siang hari, orang-orang bisa berkunjung dan menikmati fasilitas kecantikan seperti pada umumnya salon. Kemudian barkaraoke ini mulai aktif pada malam harinya dengan sesi karaoke bersama beberapa kolektif. Jadi bukan sambil nyalon, sambil karaokean, ya.

Kemudian, kemana Lake Stage? Posisi Lake Stage digantikan oleh kantin. Ini jadi semacam penambahan tempat makan, mengingat tahun lalu nampaknya begitu sulit orang-orang mengakses makanan karena antrian yang panjang, juga tak ada ruang untuk menikmati makanannya.

Semua jajanan berat dan ringan, minuman manis yang segar, dari yang harga menengah atas sampai yang menengah aja, banyak dihadirkan. Lanskap yang diambil pun semacam festival jajanan yang menawarkan berbagai pilihan makanan dan minuman. Tampilan kantin ini berisi deretan tenda putih yang berbaris membentuk huruf U tegak, di tengahnya ada banyak meja dan kursi panjang yang dihiasi banyak lampu gantung yang estetik, juga ada tempat cuci tangan dan tempat sampah.

Pada halaman depannya–sebelum memasuki deretan tenant makanan tersebut–pengunjung akan mendapati amphitheater yang terbagi menjadi dua sisi, yang di tengahnya ada semacam gapura selamat datang. Walaupun terbatas, amphitheater ini menjadi alternatif bagi yang ingin nongkrong, atau mengistirahatkan kaki, atau memandangi orang-orang lewat, atau kalau tak dapat tempat duduk untuk makan, juga bisa.

Saya rasa perihal makan dan minum pihak penyelenggara sudah menyiapkan semuanya semantap mungkin. Karena lokasi untuk mengisi kalori dan energi ini tidak hanya di dekat danau saja (dulunya Lake Stage), tapi ada lagi kantin di sebelah tongkrongannya Bank Saqu, dekat tempat para disjoki bermain (Oleng Upuk Stage). Beragam makanan berat ada di sana, dan lokasi ini sangat dekat dengan green room. Jadi sambil makan bisa menyapa artis-artis yang sedang berjalan menuju titik kumpul mereka. Lalu bagi yang kesukaannya makan dan minum tidak perlu khawatir karena bangku dan meja panjangnya juga cukup untuk menampung ratusan orang, asal gantian.

PERTUNJUKAN BARU

Kalau biasanya kejutan yang diberikan festival musik adalah menyatukan band-band yang sudah bubar, atau membuat kolaborasi sesama musisi untuk membawakan lagu-lagu dari grup musik lejen, atau perayaan dekade musisi/band, atau semacam lainnya. Tahun ini Synchronize mencoba anti-mainstream dengan menampilkan sebuah pertunjukan opera di panggung District. Opera yang dibawakan adalah Rock Opera Ken Arok yang dibuat oleh almarhum Harry Roesli. 

Inilah pertunjukan yang menggabungkan drama dan musik, dengan elemen teater seperti pakaian, visual, dan akting. Opera lejen ini dibawakan oleh penyanyi dan komedian seperti Arie Kriting, Soleh Solihun, Candil, Dira Sugandi, Fauzan Lubis, Hari Pochang, Indra Lesmana, Isyana Saravati, Oslo Ibrahim, Sal Priadi, Sri Hanuraga, dan Gerald Situmorang selaku Music Director-nya.

Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024
Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024

Ketika selesai break maghrib dan waktu menunjukkan pukul 18.30, maka pertunjukan pun dimulai. Di bawah lampu sorot berwarna putih, dan merah yang mendominasi, nampak di atas panggung ada enam pemusik yang membentuk formasi horizontal, diikuti kemunculan Ken Arok yang mulai memainkan perannya. Di sisi kiri panggung bagian atas, muncul pula dua penampakan pria berjas yang memakai celana pendek, lengkap dengan kaos kaki dan sepatunya. Mereka adalah Arie Kriting dan Soleh Solihun yang sedang ngemsi sekalian orasi. 

Dua orang itu mengambil kesempatan ngemsi sambil menyelipkan isu-isu yang terjadi di Ibu Pertiwi dengan cara yang sarkas, lalu menggorengnya, dan tidak lupa dibalut dengan komedi andalan mereka. Kehadiran komedian ini juga menciptakan senyum dan tawa yang terpampang jelas di wajah para penonton. Sehingga, upaya mencampurkan unsur komedi, musik, akting, tata busana, visual, membuat pertunjukan opera malam itu sangat seru untuk disaksikan. Namun, itu tidak bertahan lama.

Diketahui pertunjukan opera tersebut punya durasi satu jam untuk diwejangkan kepada penonton. Tapi sayangnya tingkah lucu yang diberikan para penampil tidak lagi mendapat respon yang serupa seperti di menit-menit awal. Kenikmatan menyaksikan opera itu hanya berlangsung sebentar saja, karena saya merasakan dan melihat apa yang orang-orang di sekitar saya perlihatkan.

Ada yang tampil cemas memperhatikan kiri dan kanannya, diikuti kaki yang tak bisa berdiri tegak. Kemudian ada yang–di tengah banyak orang–terpaksa memilih untuk jongkok dan duduk menikmati pertunjukannya tanpa visual. Bahkan ada juga yang pergi meninggalkan kerumunan demi mencari tempat, agar kalau duduk, wajahnya tidak dikentutin orang.

Kalau kalian pernah menonton serial Upin & Ipin, kalian pasti tahu episode yang menampilkan opera saat menyambut Perayaan Hantu. Di sana, Upin, Ipin, dan Kak Ros diajak untuk nonton opera Cina. Tapi bukan itu yang mau saya bicarakan. Saya hanya mau memberitahu kalau menonton opera itu biasanya duduk. Namun di Synchronize, nonton opera harus berdiri, karena kalau duduk sudah pasti akan ketutupan dengan penonton baris depan yang sedang mempertahankan teritori kebanggaannya.

Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024
Festival Musik dalam Kacamata Synchronize Fest 2024

Menjadi sialan karena penonton harus berdiri selama satu jam untuk memirsa opera tersebut. Sayang sekali, mereka yang berdiri di hadapan District Stage dari detik awal harus bergelut dengan nyeri kaki dan nyeri tumit yang membuat rasa tak nyaman ketika memirsanya. Tapi saya yakin kalau saja pertunjukan ini tipenya seperti ben-benan yang enak untuk joget dan sing along, mungkin lelah itu masih bisa teratasi, dan orang-orang akan bertahan selama satu jam penuh.

Di panggung yang sama, waktu dan tempat dipersilahkan kepada Sidney Mohede. Ia merupakan seorang yang banyak dikenal di skena musik gereja. Ia juga dikenal sebagai seorang Pastor, singer-songwriter, dan worship leader. Sidney membawakan banyak lagu hit-nya dengan membersamai musisi kenamaan seperti Ronald Steven, Daniel Sigarlaki, Pongky Prasetyo, dan Agung Exo.

Penampilan ini menjadi sejarah baru di dunia festival musik Indonesia–mungkin juga dunia–karena untuk pertama kalinya panggung festival musik kehadiran musik rohani. 

“Akhirnya, sebuah musik festival mengijinkan kami, musik rohani Kristen Indonesia”, ucap Sidney di bawah lampu sorot putih, sembari diiringi suara piano instrumental underscoring Pastor.

Banyak orang berdatangan tidak ingin melewatkan momen ini. Penonton yang hadir saat itu menjadi saksi hidup dalam fenomena hadirnya musik rohani di skena festival musik.

“Saya mau kalian memberikan tepuk tangan untuk teman-teman Synchronize Festival yang sudah memberikan platform bagi kami untuk membuat sejarah di belantika musik Indonesia”, tambahnya, di hadapan para penonton.

Hal ini menjadi sejalan dengan tagline yang dibawakan Synchronize Fest 2024. Totalitasnya untuk menjangkau banyak ekosistem musik ditunaikan dalam #TogetherBersama. Dan ini mengingatkan saya pada lagu Project Pop yang liriknya, “Apakah yang dapat menyatukan kita // salah satunya dengan musik”

Sungguh inklusivitas festival ini sangat terjaga. Dari tahun sebelumnya, penyelenggara berupaya merangkul beragam musik dan musisi tanpa memandang latar, sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung dan aksesibel bagi semua. Eskalasi pemusik daerah juga terjadi, dan membuat sisi inklusivitas tersebut menjadi menyeluruh. 

Akhir kata, diberkatilah Synchronize Festival.

 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here