“We encounter a radical conflict between the machine and the living truth, the fundamental problem for human civilisation.” (Giuseppe Limone)

Saat ini kita hidup di tengah gelombang disrupsi yang tak terbendung; sebuah zaman di mana akselerasi inovasi teknologi melesat jauh melampaui kemampuan kita sebagai manusia untuk beradaptasi. Teknologi, kini telah bermutasi menjadi kekuatan otonom yang dapat mendikte kecepatan dan arah peradaban. Dari sinilah, lahir sebuah entitas mahadahsyat yang justru kita ciptakan sendiri: Artificial Intelligence (AI). Ironisnya, mahakarya kecerdasan buatan ini, alih-alih hanya meringankan beban, kini mulai memunculkan sebuah fenomena absurditas baru.

Kita ambil contoh yang baru-baru ini terjadi. Albania mencatat sejarah sebagai negara pertama di dunia yang secara resmi mengangkat “menteri” kabinet yang merupakan kecerdasan buatan. Menteri virtual ini diberi nama Diella dan divisualisasikan sebagai sosok perempuan dalam portal e-Albania, lengkap mengenakan busana tradisional Albania. Pemerintah Albania memandang langkah ini sebagai “transformasi besar”, menggaungkan harapan untuk membawa perubahan positif dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik melalui efisiensi berbasis data dan netralitas algoritma. Pengangkatan Diella ini menandai sebuah momen yang bukan hanya bersejarah, tetapi juga krusial, karena AI kini telah menjejakkan kaki di ranah politik dan pemerintahan.

Namun, di balik narasi efisiensi dan transparansi, muncul pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai akuntabilitas, legitimasi, dan esensi kebijaksanaan. Jika sebuah kebijakan yang direkomendasikan oleh AI, katakanlah Diella, terbukti merugikan publik atau mengabaikan kebutuhan minoritas, kepada siapa publik harus meminta pertanggungjawaban? Apakah kepada programmer yang menulis kodenya, politisi yang menunjuknya, atau kepada entitas non-manusia itu sendiri yang tidak dapat merasakan dampak keputusannya? 

- Poster Iklan -

Keputusan politik dan tata kelola negara seringkali membutuhkan phronesis—kebijaksanaan praktis yang lahir dari pengalaman hidup, kompromi moral, dan yang terpenting, empati terhadap kompleksitas penderitaan dan aspirasi manusia. Dalam aspek inilah, absurditas tersebut berada: kita secara sukarela mengizinkan mesin yang secara inheren tidak memiliki kesadaran, emosi, dan pengalaman hidup untuk membuat keputusan yang sangat manusiawi.

Fenomena penunjukan menteri AI seperti Diella, meskipun berlatar belakang niat baik, seolah menjadi penanda absurditas baru di mana peran pencipta dan yang diciptakan seolah-olah mulai bertukar posisi. Gejala dari apa yang dapat kita sebut sebagai “perbudakan” digital sudah terlihat nyata dan merasuk ke sekeliling kita. Istilah ‘memperbudak’ di sini mungkin tidak melibatkan rantai fisik yang kasat mata, melainkan jeratan halus yang tak terlihat: ketergantungan total pada algoritma yang perlahan namun pasti menguasai wilayah kognitif dan sosial kita. 

Ketergantungan ini termanifestasi dalam apa yang disebut cognitive offloading, di mana kita kian mengalihdayakan proses berpikir kritis dan memori kepada teknologi. Meskipun ini membebaskan kapasitas otak untuk hal lain, risiko yang muncul adalah ‘atrofi kognitif’ Artinya, kemampuan kita untuk menalar, memecahkan masalah tanpa bantuan, dan menggunakan intuisi perlahan-lahan terkikis, membuat kita menjadi budak dari kenyamanan yang difasilitasi oleh AI.

Bahkan, Chatbot dan asisten virtual kini dirancang untuk menawarkan dukungan emosional, secara halus menggantikan interaksi yang seharusnya terjadi antar manusia. Ketika kita mulai merasa lebih nyaman berbagi rahasia terdalam atau mencari validasi dari program komputer yang logis dan tidak menghakimi, daripada mencari kenyamanan dari teman atau keluarga, bukankah ini bentuk perbudakan sosial yang paling memprihatinkan? Kita membiarkan kecerdasan emosional kita dialihdayakan kepada kode, menciptakan generasi yang kian terisolasi secara sosial namun terhubung secara digital. 

Lebih dari itu, algoritma tidak hanya melayani; mereka secara aktif menyaring dan membatasi pandangan dunia kita. Kita hidup dalam kurungan “filter bubble” yang disiapkan oleh AI. Ini adalah bentuk perbudakan kognitif yang paling halus, di mana pemikiran kritis digantikan oleh pengulangan data yang dioptimalkan.

Inti dari absurditas yang terjadi di era disrupsi ini terletak pada siklus yang kontradiktif, sering disebut sebagai ‘Paradoks Produktivitas’. Secara teori, manusia menciptakan AI untuk meringankan beban kerja dan memberikan waktu luang. Namun, AI justru menciptakan beban mental dan eksistensial baru bagi penciptanya. AI menetapkan standar kecepatan dan efisiensi yang mustahil dicapai oleh manusia secara alami. Kita menciptakan mesin yang super-efisien, yang pada akhirnya memaksa kita untuk bergerak lebih cepat lagi, bukannya memberikan waktu luang yang diharapkan. Budaya kerja yang didorong oleh algoritma (seperti yang terlihat dalam gig economy) menuntut performa puncak yang konstan, sekaligus mendorong tingkat burnout yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Kenyataan bahwa manusia menciptakan AI dan AI ciptaan-nya ‘memperbudak’ pencipta-nya adalah sebuah ironi peradaban. Kita adalah peradaban yang berisiko tinggi kehilangan makna kemanusiaan. Kita terancam kehilangan intuisi yang mendalam, emosi yang kompleks, dan kreativitas yang orisinal—yaitu atribut-atribut yang mampu membuat kita unik—hanya demi efisiensi dan kecepatan yang serba terukur. 

Kita dihadapkan pada krisis eksistensial. Soalnya, kita tidak mengejar efisiensi lagi, namun mempertahankan dan menegaskan kembali wilayah-wilayah kemanusiaan yang tak terjamah oleh algoritma: cinta, penderitaan, harapan, dan pencarian makna yang tidak dapat dikalkulasi.

Untuk memutus rantai ‘perbudakan’ ini, tentu kita tidak hendak mengambil langkah radikal dengan mematikan AI. Justru, yang paling mendesak adalah kita mengubah paradigma. Kita perlu berhenti memandang AI sebagai dewa penyelamat atau kompetitor yang harus dikalahkan, melainkan sebagai alat yang harus di-setting dan diarahkan, bahkan menjadi sebuah refleksi yang menunjukkan potensi dan kelemahan kita. Kita perlu memastikan bahwa setiap langkah perkembangan AI dibingkai oleh batasan etika dan hukum yang didesain secara spesifik untuk melindungi dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bukan cuma memburu keuntungan semata. 

Adapun solusi mendasarnya terletak pada literasi AI yang holistik, yaitu meningkatkan pemahaman publik tentang cara kerja AI, keterbatasannya, dan cara mengendalikan teknologi tersebut, alih-alih membiarkan diri kita dikendalikan. Tugas peradaban saat ini bukanlah menciptakan AI yang lebih cerdas, melainkan menciptakan manusia yang lebih bijak dan berjiwa dalam berinteraksi dengan AI, menegaskan bahwa kecepatan dan efisiensi harus selalu tunduk pada telos kemanusiaan. Jika kita gagal untuk mengenali, menamai, dan melawan absurditas yang mengintai ini, kita mungkin akan terbangun di masa depan yang sepenuhnya efisien, serba teratur, namun tragisnya, sama sekali tanpa jiwa.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here