Bagi saya hubungan antara warung kopi (warkop) dan buku itu sangat erat. Ibaratnya, seerat jabat tangan seseorang yang sudah lama tidak ketemu. Kata anak muda setelah masa Long Distance Relationship (LDR) lalu bertemu. Atau pelukan mesra seorang suami yang lama pergi karena tugas lalu ketemu istrinya. Pokoknya erat.
Mau bukti? Saya punya pengalaman menarik. Saya biasa menulis buku di warkop. Ini tentu bukan tanpa alasan. Juga bukan sok-sokan peduli dengan kalangan bawah. Anggap saja mahasiswa pengunjung warkop itu kelas bawah, meskipun secara status mereka kelas menengah. Dari segi “pendapatan” tidak apalah kita masukkan kelas bawah dahulu. Ya kalau kelas atas tentu kan di cafe-cafe?
Yang jelas saya menikmati saat di warkop. Saya bolehlah dimasukkan ke kelas bawah. Kenapa tidak? Tidak apa-apa. Yang penting menikmati. Karena kenikmatan tentu tak semua orang bisa menghabiskan waktunya di warkop dengan baik. Masalahnya, banyak yang menghabiskan waktu di warkop dengan nge-net, main game, YouTube-an, atau sedang stres. Tidak percaya? Ada baiknya Anda melihat dan merasakan bagaimana suasana di warkop.
Kembali ke soal pengalaman saya dalam menulis buku. Saya punya dua buku yang banyak saya tulis di warkop. Dua buku itu berjudul Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer (2016) dan Perkembangan Teknologi Komunikasi (2017).
Dua buku itu tentu punya sejarah yang berbeda. Buku saya Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer sangat mengesankan. Sebenarnya, buku itu pernah saya tulis. Namun file-nya raib bersama laptop saya di rumah. Waktu itu saya dan keluarga Pulang Kampung (Pulkam) ke Bantul, Yogyakarta. Saat kembali ke Malang rumah saya disatroni maling lewat lantai 2. Maklum belakang rumah saya masih sawah.
Saat mengetahui laptop hilang saya tentu deg-degan. Seperti ketemu pacar. Hanya deg-degannya waktu kehilangan laptop termasuk jengkel, marah, sedih, dan suasana yang campur aduk. Bagaimana tidak? Naskah yang sudah saya susun susah-susah kemudian raib? Bisa dibayangkan, kan?
Setelah sekian bulan saya mengumpulkan niat menuliskannya lagi. Lumayan masih punya bayangan akan dibawa kemana alur narasi buku saya itu. Lalu saya punya tekad, “Buku ini harus saya tulis”. Warkop menjadi tempat yang menyenangkan.
Mengapa warkop? Pertama, saya tidak mau terbebani dengan pikiran rumah dimana laptop saya pernah hilang. Saat mengetik di rumah, pikirannya terganggu dengan laptop yang hilang itu. Yah, kalau tidak dengan cara itu bukunya gak kelar-kelar, dong?
Kedua, cari suasana baru. Di sana saya bisa agak rileks mengetik. Sambil melupakan laptop hilang itu. Bisa nyeruput kopi. Saat capek mengetik saya kirim pesar lewat WA atau nge-line mahasiswa untuk datang. Saya tawarkan siapa tahu ada yang mau bimbingan skripsi. Ngobrol sana-sini saat jeda mengetik. Mahasiwa tentu senang diajak dosennya ngopi. Jarang lho, dosen mau ngajak mahasiswa ngopi? Mungkin terlalu “Jaim”.
Ketiga, saat mengetik naskah yang saya hadapi kebanyakan mahasiswa. Bolak balik yang saya lihat mahasiswa. Dari situ seolah saya diingatkan, “Itu lho pasar bukumu”. Kata-kata itu terus tergiang dalam pikiran. Untungnya, saya diingatkan untuk membuat buku sesuai pasar pembaca. Jadi, tidak usah memakai bahasa yang muluk-muluk atau istilah yang mentereng. Pakai bahasa yang dipahami mahasiswa. Itu saja keuntungannya waktu itu.
Asyik bukan? Jadi kalau tiba-tiba saya menulis buku banyak menggunakan kata ilmiah banyak atau kalimat njelimet saya diingatkan dengan melihat para pengunjung warkop yang kebanyakan mahasiswa itu. Jadilah buku saya berjudul Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer. Bukan ilmiah semata, tetapi saya tulis dengan agak nge-pop disertai contoh. Buku ini belum genap 1 tahun sudah cetak ulang. Ternyata pasar pembaca menerima.
Itu juga menjadi prinsip komunikasi bukan? Pesan komunikasi hanya akan bisa sampai pada tujuan jika komunikator (pengirim pesan) memahami siapa komunikannya (penerima pesan). Jangan mentang-mentang bergelar doktor atau profesor saat mengajar mahasiswa S-1 pakai bahasa “ndakik-ndakik” yang susah dipahami mahasiswa. Mereka akan mabuk.
Kemudian buku Perkembangan Teknologi Komunikasi yang saya tulis juga di warkop. Meskipun tidak sesering Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer. Buku ini relatif agak lama saya tulis karena waktu itu saya menjabat sebagai Wakil Dekan 1 di Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada tahun 2017. Otomatis waktu saya banyak di kampus. Tetapi saya punya tekad dan membuktikan bahwa menjabat juga bisa punya buku. Meski sering saya tulis malam hari di warkop. Kadang sore. Sesekali pagi di rumah.
Nah, siapa bilang ngopi itu hanya membuang-buang waktu? Tentu saja tidak semua orang bisa melakukannya di warkop. Semua punya dan tergantung kelonggaran masing-masing. Masing-masing orang juga punya tingkat kenyamanan sendiri-sendiri. Di manapun menulis yang penting nyaman. Saya hanya cerita bagaimana proses kreatif saya dalam menulis di warkop.
Warkop telah tumbuh tak lagi tempat nongkrong tanpa hasil. Warkop menjadi ruang publik (public sphere) dimana banyak ide bertebaran dan bertemu. Di sana bisa diskusi, berdebat sambil nyeruput kopi. Bagi saya, yang penting bisa menyelesaikan naskah buku atau artikel. Di warkop kita bertemu. Di warkop pula kita juga bisa berpikir untuk masyarakat dan bangsa ini.





















