Bagi Rian, alam semesta adalah sebuah mahakarya komputasi. Ia memandang dunia bukan sebagai rangkaian peristiwa acak, melainkan sebagai kumpulan data raksasa yang menunggu untuk diurai. Sebagai seorang data scientist yang brilian, hidupnya adalah sebuah ode untuk keteraturan. Apartemennya adalah kuil minimalisme; buku-buku di raknya diurutkan berdasarkan spektrum warna, jadwal hariannya dioptimalkan hingga ke menit, dan bahkan asupan nutrisinya dikalkulasi dalam sebuah spreadsheet yang rumit. Ia percaya bahwa setiap kekacauan—mulai dari turbulensi pasar modal hingga pola percakapan manusia—memiliki algoritma tersembunyi. Termasuk, tentu saja, anomali paling volatil yang pernah ada: cinta.
Keyakinan ini tidak lahir dari arogansi intelektual, melainkan dari luka. Setahun yang lalu, hubungannya dengan Maya kandas di tengah badai emosi yang tidak mampu ia petakan. Rian masih ingat malam itu dengan presisi yang menyakitkan. Mereka duduk di mobil, di bawah guyuran hujan yang menderas. Rian baru saja menyodorkan sebuah diagram alir yang ia buat untuk “menyelesaikan” masalah mereka, lengkap dengan cabang-cabang probabilitas dan solusi yang disarankan. Maya menatap kertas itu, lalu menatap Rian, matanya dipenuhi kekecewaan yang tak terukur.
“Aku bukan salah satu simulasimu, Rian,” bisiknya, suaranya nyaris hilang ditelan deru hujan. “Aku tidak butuh solusi. Aku butuh kamu merasakannya.”
Kalimat itu menjadi variabel asing yang merusak seluruh sistemnya. “Merasakannya.” Sebuah konsep yang abstrak dan tidak efisien. Sakit hati dari perpisahan itu ia konversi menjadi satu-satunya bahasa yang ia kuasai: baris-baris kode. Selama berbulan-bulan, Rian mengurung diri, membangun proyek paling ambisiusnya. Ia menamakannya AURA (Algorithmic Union & Relational Analyst), sebuah program kecerdasan buatan yang ia program untuk satu tujuan tunggal: menghilangkan ketidakpastian dalam menemukan pasangan hidup.
AURA adalah magnum opusnya. Program itu tidak bekerja seperti aplikasi kencan murahan yang hanya mencocokkan hobi. AURA melakukan deep learning terhadap jejak digital seseorang, menganalisis sentimen dari ribuan cuitan di Twitter, mengurai kompleksitas selera dari playlist Spotify, bahkan memprediksi tingkat introversi dari pola check-in di Foursquare. AURA adalah upaya Rian untuk membuktikan bahwa cinta, pada intinya, adalah masalah kompatibilitas data yang bisa dipecahkan.
Setelah berbulan-bulan melakukan penyempurnaan, AURA akhirnya memberikan hasilnya. Hanya satu nama, berkilau di antara jutaan data sampah, dengan skor kecocokan yang membuat jantung Rian berdebar: Elara Sastrawidjaja, 98.7%.
Profil data Elara adalah sebuah soneta digital yang sempurna. Mereka menyukai film-film karya Christopher Nolan dan Wes Anderson, membaca Haruki Murakami dan Ursula K. Le Guin, dan memiliki pandangan politik liberal-tengah yang nyaris identik. AURA bahkan memprediksi bahwa percakapan mereka akan mengalir mulus dengan rasio keberhasilan 92%.
Kencan pertama mereka di sebuah restoran Jepang terasa seperti sebuah simulasi yang berjalan tanpa cela. Percakapan bergulir dari topik filsafat sinema hingga etika kecerdasan buatan, persis seperti yang telah diprediksi AURA. Semuanya sempurna. Terlalu sempurna. Tidak ada jeda canggung, tidak ada perbedaan pendapat yang memicu perdebatan seru. Hanya ada persetujuan yang mulus dan efisien.
Di kencan ketiga, di sebuah kafe minimalis yang interiornya—menurut AURA—memiliki daya tarik estetika bagi keduanya, Rian mulai merasakan sebuah glitch dalam sistemnya. Elara adalah wanita yang cerdas, anggun, dan secara objektif menarik. Ia tertawa pada lelucon Rian tepat pada waktunya, mengangguk pada opininya dengan antusiasme yang terukur. Namun, interaksi mereka terasa seperti dua prosesor canggih yang saling bertukar paket data terenkripsi. Cepat, akurat, tetapi tanpa kehangatan.
“Menurutmu, apa yang membuat secangkir kopi itu nikmat?” tanya Rian, sebuah upaya putus asa untuk menyuntikkan variabel acak ke dalam percakapan mereka.
Elara tersenyum manis, senyum yang seolah sudah terkalibrasi untuk sudut kamera terbaik. “Tentu saja rasio antara massa biji kopi, suhu air, dan waktu ekstraksi. Semuanya soal presisi dan konsistensi.”
Jawaban yang logis. Jawaban yang Rian sendiri akan berikan enam bulan yang lalu. Namun, mendengarnya sekarang, jawaban itu terasa hampa, seperti gaung di dalam ruangan kosong.
Saat itulah kekacauan kecil menyela kesempurnaan mereka. Seorang barista muda yang tergesa-gesa tidak sengaja menyenggol meja mereka saat melintas. Gelas berisi cold brew oleng, menumpahkan cairan hitam pekat itu ke atas buku sketsa milik seorang gadis di meja sebelah.
“Astaga! Ya Tuhan! Maaf, Mbak, saya benar-benar minta maaf!” seru barista itu, wajahnya pucat pasi.
Gadis pemilik buku itu, yang rambutnya diikat asal-asalan dengan sebatang pensil, mendongak. Alih-alih menampilkan wajah marah, ia justru tertawa kecil, suara tawanya renyah seperti daun kering yang diinjak. “Santai saja, Mas. Anggap saja ini kolaborasi seni tak terduga antara kafein dan selulosa.”
Ia mengangkat buku sketsanya yang ternoda. Noda cokelat itu kini membentuk pola abstrak yang aneh di atas gambar wajah seorang lelaki tua yang sedang tersenyum. Tanpa ragu, gadis itu mengambil pensilnya dan mulai mengarsir di sekeliling noda itu, menjadikannya bagian dari bayangan pipi keriput sang kakek. Ia mengubah kecelakaan menjadi sebuah karya.
Rian tertegun. Ia menyaksikan sebuah keindahan yang liar dan spontan, sebuah respons terhadap kekacauan yang tidak akan pernah bisa diprediksi oleh algoritmanya.
Sejak hari itu, kafe tersebut menjadi laboratorium observasi Rian. Ia datang hampir setiap hari, berpura-pura bekerja di laptopnya, padahal matanya sering kali mencuri pandang ke arah gadis itu. Namanya Dira. Dunianya adalah antitesis dari semesta Rian yang teratur. Mejanya adalah medan perang kreatif yang dipenuhi serpihan penghapus, noda cat air, dan cangkir-cangkir kopi kosong. Cara bicaranya melompat-lompat, dari membahas konspirasi alien hingga filosofi di balik warna biru, tanpa transisi yang logis.
Didorong oleh rasa penasaran seorang ilmuwan, Rian mengumpulkan data-data Dira yang bisa ia tangkap secara diam-diam—akun media sosialnya yang aneh, musik yang ia senandungkan, buku-buku yang ia baca. Ia memasukkan semua variabel itu ke dalam AURA. Hasilnya adalah sebuah penolakan sistemik: skor kecocokan 17.4%. AURA menandainya dengan warna merah menyala, sebuah peringatan bahaya. Menurut algoritma, mereka adalah definisi dari ketidakcocokan.
Namun, data mentah itu bertentangan dengan pengalaman empiris Rian. Ia menikmati setiap interaksi tak terduga dengan Dira. Suatu hari, Dira menangkap basah Rian sedang menatapnya. Tanpa malu, ia justru menyobek kertas dari buku sketsanya dan memberikannya pada Rian. Itu adalah sketsa Rian yang ia gambar diam-diam.
“Kamu punya ekspresi yang aneh saat sedang berpikir,” katanya sambil tersenyum miring. “Kerutan di antara alismu itu seperti sedang mencoba menyelesaikan soal matematika paling rumit di alam semesta.”
Rian menatap gambar itu, lalu tertawa. Bukan tawa sopan yang ia berikan pada Elara. Ini adalah tawa yang lahir dari perutnya, sebuah respons tulus yang tak terkalibrasi.
Puncak dari disonansi kognitifnya terjadi seminggu kemudian. Rian mengajak Elara ke pembukaan pameran seni kontemporer, sebuah acara yang menurut AURA memiliki skor potensi romantis 89%. Mereka berjalan di antara lukisan-lukisan surealis dan instalasi yang megah. Rian mencoba memulai percakapan mendalam tentang makna di balik sebuah karya.
“Komposisi warnanya menarik,” komentar Elara, suaranya terdengar seperti narator film dokumenter. “Senimannya jelas memiliki pemahaman mendalam tentang teori warna komplementer untuk menciptakan ketegangan visual.”
Analisis yang cerdas, akurat, dan dingin seperti es. Tiba-tiba, mata Rian menangkap sesosok yang familier. Di sudut ruangan, Dira berdiri terpaku di depan sebuah instalasi seni yang terbuat dari rongsokan papan sirkuit dan monitor tabung tua yang menampilkan static noise. Dira tidak menganalisisnya. Ia hanya berdiri di sana, matanya sedikit berkaca-kaca, tangannya terangkat seolah ingin merasakan energi dari kabel-kabel yang menjuntai. Ia merasakan karya itu, bukan membedahnya.
Saat itulah Rian sadar. Inilah patahan fatal dalam algoritmanya. AURA telah berhasil menemukan seseorang yang cocok dengan otaknya, tetapi gagal total menemukan seseorang yang beresonansi dengan jiwanya. Algoritmanya bisa memproses jutaan terabyte data tentang kesamaan, tetapi tidak bisa mengukur satu kilobyte pun keajaiban dari perbedaan. AURA bisa memprediksi harmoni, tetapi ia tak akan pernah bisa menciptakan sihir dari sebuah disonansi yang justru terdengar indah. Cinta bukanlah tentang menemukan cerminan diri, melainkan menemukan bagian lain yang melengkapi, bahkan jika bagian itu berbentuk aneh dan tidak terduga.
Dengan sebuah ketenangan yang mengejutkan, Rian menoleh pada Elara. “Elara, aku rasa… ini tidak berhasil.”
Tidak ada drama. Elara, dengan segala logikanya, hanya mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya. Data kita cocok, tapi koneksinya tidak terinisiasi. Sebuah anomali yang menarik.”
Malam itu, Rian duduk di depan komputernya. Antarmuka AURA yang biru dan tenang menyambutnya, menampilkan profil Elara dengan label “Optimal”. Untuk terakhir kalinya, ia berinteraksi dengan ciptaannya.
“AURA,” ketiknya. “Jalankan diagnosis pada kegagalan proyek Elara.”
Teks muncul di layar: ANALISIS: SEMUA VARIABEL KOMPATIBILITAS TERPENUHI. TIDAK ADA KEGAGALAN SISTEM YANG TERDETEKSI.
“Kau salah,” Rian mengetik lagi, lebih untuk dirinya sendiri. “Kau tidak memperhitungkan variabel yang tak bisa diukur. Kau tidak memperhitungkan tawa yang lepas, atau cara seseorang mengubah noda kopi menjadi seni. Kau tidak bisa mengukur jiwa.”
Dengan tangan yang kini mantap, Rian membuka direktori sistem dan menemukan file inti yang menjadi jantung dari seluruh proyek ini. Ia mengetikkan sebuah perintah sederhana namun terasa begitu berat: DELETE a_love_algorithm.py.
Layar berkedip. Untuk sesaat, segalanya menjadi gelap. Lalu kursor kembali muncul, menunggu perintah baru. Rian merasa seperti baru saja menghapus sebagian dari dirinya, bagian yang lama dan rapuh, untuk memberi ruang bagi sesuatu yang baru.
Esok sorenya, ia kembali ke kafe. Kali ini, ia datang tanpa laptop, tanpa agenda, tanpa prediksi. Hanya dengan debar jantung yang tempo dan ritmenya tidak teratur. Ia menghampiri meja Dira.
“Hai,” sapanya, suaranya sedikit lebih canggung dari yang ia harapkan.
Dira mendongak, matanya yang penuh percik kehidupan menatapnya.
“Aku tidak tahu apa rasio kopi yang pas,” lanjut Rian. “Aku juga tidak peduli. Tapi, maukah kau minum kopi denganku dan mengajariku cara melihat noda kopi sebagai sebuah karya seni?”
Dira menatapnya selama beberapa detik, seolah sedang memindai sesuatu yang lebih dalam dari sekadar data. Lalu, sebuah senyum merekah di wajahnya, sebuah senyum yang tak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun di dunia.
“Aku kira kamu tidak akan pernah bertanya.”
Di tengah aroma kopi yang pekat dan kekacauan kreatif di meja mereka, Rian akhirnya memahami. Cinta bukanlah algoritma yang butuh dipecahkan. Cinta adalah algoritma yang harus berani ia patahkan, untuk memberi ruang bagi sesuatu yang jauh lebih menakjubkan: sebuah anomali yang indah.




















