Selain peta genealogi kekerasan yang dihadirkan oleh David Correia dan Tyler Wall dalam Police: A Field Guide, buku ini juga menyuguhkan sebuah peta epistemologis yang membongkar bagaimana pandangan dunia (worldview) polisi secara fundamental membentuk dan melanggengkan rezim kekerasan negara. Bukan sekadar tentang tindakan individual personil, melainkan tentang bagaimana cara berpikir tertentu memungkinkan kekerasan menjadi cara normal untuk memahami hubungan sosial.
Berbeda dari narasi umum yang melihat polisi sebagai problem individual atau institusional, Correia dan Wall mengajukan proposisi radikal: polisi adalah teknologi kekuasaan yang kompleks, di mana kekerasan bukan penyimpangan, melainkan cara fundamental untuk memproduksi tatanan sosial. Mereka mengajak pembaca untuk memahami bahwa setiap tindak kekerasan polisi adalah ekspresi dari pandangan dunia yang telah diinstitusionalisasi melalui serangkaian praktik pendidikan, budaya organisasi, dan logika keamanan.
Buku ini tidak sekadar mengkritik, tetapi membongkar arsitektur psikologis dan epistemologis yang menjadi prakondisi kekerasan polisi menjadi mungkin untuk hadir. Dengan merujuk pada pemikir kritis dari Marx hingga Foucault, Correia dan Wall memperlihatkan bagaimana polisi tidak sekadar melakukan kekerasan, melainkan memproduksi cara berpikir di mana kekerasan dipahami sebagai solusi alamiah terhadap setiap konflik sosial.
Pembentukan Subjektivitas Polisi
Proses pembentukan subjektivitas polisi jauh lebih kompleks daripada sekadar pelatihan fisik atau teknis. Correia dan Wall memperlihatkan bagaimana institusi kepolisian menciptakan semacam “mesin psikologis” yang mengubah individu menjadi agen kekerasan negara. Melalui serangkaian praktik institusional—mulai dari kurikulum akademi hingga budaya organisasi—calon polisi tidak sekadar dilatih untuk menggunakan senjata, melainkan diprogram ulang cara berpikirnya.
Konsep petty sovereigns yang mereka ajukan memiliki kedalaman teoritis yang memukau. Polisi tidak sekadar menjalankan perintah, melainkan menjadi agen eksekutif dengan kekuasaan hampir absolut untuk menentukan siapa aman dan siapa yang dianggap ancaman. Dalam kerangka ini, setiap interaksi sosial berpotensi menjadi medan pertarungan kekuasaan di mana polisi memiliki hak istimewa untuk mendefinisikan realitas. Teorema Walter Benjamin menjadi referensi kunci untuk memahami bagaimana polisi pada dasarnya menciptakan hukumnya sendiri, melampaui batas-batas formal institusi hukum.
Proses indoktrinasi ini berlangsung melalui mekanisme yang jauh lebih halus daripada sekadar pelatihan militer. Melalui analisis mendalam, buku ini memperlihatkan bagaimana kurikulum, narasi institusional, dan praktik harian secara sistematis membentuk common sense polisi. Dunia dibagi secara tegas: ada mereka yang “patut dilindungi” dan mereka yang “perlu dikendalikan”. Setiap kategori sosial dimaknai melalui potensi ancamannya, menciptakan epistemologi kekerasan yang mengubah setiap interaksi menjadi potensi konflik.
Lebih dari sekadar kritik institusional, Correia dan Wall mengajukan pertanyaan filosofis fundamental: bagaimana subjektivitas diproduksi melalui praktik kekerasan? Mereka memperlihatkan bahwa pembentukan identitas polisi adalah proses kompleks di mana kekerasan tidak sekadar alat, melainkan cara fundamental untuk memahami dunia. Setiap polisi tidak hanya menjalankan tugas, tetapi menjadi agen aktif dalam produksi tatanan sosial melalui kapasitas untuk mendefinisikan ancaman dan menerapkan kekerasan.
Ekonomi Politik Ketakutan
Konsep deterrence dalam buku ini jauh melampaui strategi keamanan konvensional. Correia dan Wall memperlihatkan bagaimana produksi ketakutan adalah mekanisme fundamental kekuasaan yang membentuk perilaku sosial melalui teror yang tak terlihat namun konstan. Menggunakan kerangka teoritis Foucault, mereka menunjukkan bahwa kekuasaan tidak sekadar represif, melainkan produktif—ia tidak hanya melarang, tetapi aktif membentuk subjek yang patuh melalui mekanisme pengawasan dan ketakutan yang canggih.
Setiap praktik polisi—dari stop and frisk hingga surveillance digital—adalah upaya sistematis untuk memproduksi subjek yang “dapat diatur”. Kekerasan bukan sekadar alat kontrol, melainkan teknologi kompleks untuk membentuk imajinasi kolektif tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin dalam ruang sosial. Dengan merujuk pada berbagai studi kritis, buku ini memperlihatkan bagaimana ketakutan diinstitusionalisasi sebagai mekanisme kontrol sosial yang jauh lebih canggih daripada sekadar penindasan langsung.
Menariknya, Correia dan Wall tidak hanya fokus pada dimensi negatif ketakutan. Mereka memperlihatkan bagaimana produksi ketakutan menciptakan rezim kepatuhan yang membuat individu secara sukarela menyesuaikan diri dengan norma-norma kekuasaan. Setiap individu tidak sekadar dikendalikan dari luar, melainkan diprogram untuk menginternalisasi logika ketakutan sebagai cara alamiah memahami dunia sosial.
Analisis mereka mengungkap mekanisme psikologis yang lebih kompleks: ketakutan tidak sekadar menciptakan kepatuhan, tetapi membentuk subjektivitas tertentu di mana kekerasan dipahami sebagai cara normal menyelesaikan konflik. Setiap praktik polisi adalah upaya untuk memproduksi imajinasi sosial di mana kekerasan dipandang sebagai solusi yang rasional dan perlu.
Melampaui Institusi Polisi: Alternatif yang Mungkin
Bagian paling provokatif dari buku ini adalah visinya tentang dunia tanpa polisi. Tesis radikal Correia dan Wall adalah bahwa reformasi kepolisian tidak akan pernah cukup—yang diperlukan adalah transformasi total dalam cara kita memikirkan keamanan dan ketertiban sosial. Mereka mengajak kita membayangkan alternatif di mana fungsi-fungsi yang kini dimonopoli polisi dikembalikan ke komunitas.
Correia dan Wall merujuk pada berbagai eksperimen komunitas di berbagai belahan dunia untuk memperlihatkan kemungkinan konkret pengorganisasian ulang mekanisme resolusi konflik. Dari praktik restorative justice di Amerika Latin hingga model keamanan berbasis komunitas di Afrika, mereka menunjukkan bahwa abolisi kepolisian bukanlah nihilisme, melainkan upaya rekonstruksi fundamental cara kita memahami keadilan.
Menggunakan kerangka teoretis dari pemikir kritis seperti Ruth Wilson Gilmore, buku ini menegaskan bahwa solusi tidak terletak pada reformasi institusional, melainkan transformasi menyeluruh dalam memahami akar struktural ketidakadilan. Ketimpangan ekonomi, marginalisasi sosial, dan struktur kekuasaan rasial adalah target utama perubahan, bukan sekadar pergantian personel atau prosedur kepolisian.
Tentu saja, transisi menuju model alternatif ini tidak mudah. Diperlukan perubahan fundamental dalam cara kita memahami kejahatan, keamanan, dan ketertiban sosial. Seperti ditegaskan penulis, kebanyakan tindak kriminal berakar pada ketimpangan sosial-ekonomi. Karena itu, solusi jangka panjang bukan pada penambahan personil atau modernisasi peralatan polisi, tapi pada perbaikan kondisi struktural yang melahirkan kejahatan.
Yang jelas, status quo tidak bisa dipertahankan. Semakin banyak bukti bahwa model kepolisian modern telah gagal menciptakan masyarakat yang lebih aman. Sebaliknya, ia justru melanggengkan siklus kekerasan dan ketidakadilan. “All Cops Are Bastards” bukan sekadar slogan provokatif—ia adalah diagnosa akurat tentang institusi yang secara struktural didesain untuk melakukan kekerasan. Saatnya kita berani membayangkan dan memperjuangkan alternatif yang lebih manusiawi.