Historiografi di Indonesia pada umumnya tak pernah lepas dari kisah-kisah yang dipenuhi gejolak romantisme heroisme antara kekuasaan kerajaan besar dan para raja. Hal itu tidak mengherankan, karena pada awalnya Nusantara dengan ribuan pulaunya sempat menjadi wilayah-wilayah otonom yang mampu mengatur kehidupan sosial politik dan ekonominya masing-masing tanpa kekuasaan terpusat. Namun benarkah sejarah Indonesia hanya tentang raja, kerajaan, dan kolonialisme yang membosankan itu?
Anarki di Alifuru yang ditulis oleh Bima Satria Putra menjadi salah satu dari sedikit historiografi di Indonesia yang menarasikan sejarah Nusantara dengan amat bertentangan daripada historiografi Indonesia kontemporer mapan yang ada pada hari ini. Ia menjadi karya historiografi yang menentang keras tatanan kaku dan eksklusif dari historiografi umum di Indonesia. Buku ini merupakan bagian dari Proyek Suku Api yang sedang digarap oleh kawan-kawan Pustaka Catut untuk meneliti sejarah soal eksistensi anarkisme sebagai praktik yang sesuai dengan ideologisnya di Nusantara.
Menyisiri Ruang Tanpa Negara
. Anarki di Alifuru secara umum menggambarkan ruang-ruang tanpa negara di wilayah Maluku yang terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat pinggiran atau pedalaman yang hidup berdasarkan prinsip-prinsip anti otoritarian, egaliter, dan equality. Wilayah-wilayah yang dimaksud adalah wilayah-wilayah pinggiran atau pedalaman yang jauh dari jangkauan kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi pusat kekuasaan di Maluku.
Secara ringkasnya, buku Anarki di Alifuru merupakan historiografi yang menarasikan sejarah masyarakat pinggiran dan pedalaman yang hidup tanpa raja, atau pribumi bebas yang dikenal sebagai orang-orang Alifuru dalam upaya-upayanya menghindari pembentukan negara—baik oleh koloninal maupun kerajaan—di Nusantara pada sekitar abad 14 hingga 20.
Hubungan Anarki dengan Praktik Lokal Alifuru
Di awal Bima memaparkan definisi anarkisme dalam konteks sejarahnya: “anarkisme sudah pasti tanpa negara, tetapi masyarakat tanpa negara belum tentu anarkis”. Bagi Bima, Anarki di Alifuru tidak merujuk pada pengertian anarkisme secara ideologis ala Bakunin yang penuh teoritis dan ilmiah, melainkan anarkisme dalam praksis: hidup berdasarkan musyawarah mufakat, kesetaraan, dan kebebasan dari dominasi.
Bima memanfaatkan sumber laporan Eropa awal yang menyebut masyarakat di kepulauan Maluku adalah masyarakat tanpa raja guna memperkuat narasi yang ia bangun. Misalnya seperti laporan Ludovico de Varthema pada tahun 1505, Tom Pires pada tahun 1512, dan bahkan laporan Eropa lainnya yang ‘tidak secara’ gamblang menyebut masyarakat di Kepulauan Maluku sebagai masyarakat tanpa raja dan negara (menjadikan kepala suku sebagai pemimpin).
Dari sumber-sumber di atas, Bima menerangkan bahwa masyarakat Maluku merupakan komunitas yang otonom, di mana kepala suku hanya berperan sebagai pengarah dan tetua yang dihormati, dan otoritas yang dimiliki para tetua itu mempunyai batas.
Ia kemudian juga membandingkan sumber-sumber sejarah berupa laporan Eropa paling awal dengan sejarah lisan masyarakat lokal mengenai orang-orang di Alifuru pada masa lampau. Melalui banyak perbandingan dan interpretasi sumber, Bima membangun argumen historisnya mengenai keberadaan anarkisme di kepulauan Maluku.
Bima memakai analisis James C. Scott yang meneliti sejarah masyarakat tanpa negara di dataran tinggi Asia Tenggara dengan penuh kehati-hatian, karena perbedaan letak geografis. Lewat buku ini, Bima seperti ingin mengatakan, bahwasannya sejarah anarkisme sebagai nilai dan praktik bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat Nusantara.
Membongkar Definisi Mapan
Kerja-kerja penelitian Bima pun tak hanya berhenti pada tahapan menyusun ulang fakta historis dan penguatan argumen. Ia juga menawarkan kerangka berpikir alternatif dalam membaca kembali narasi masa lalu yang disebut Bambang Purwanto dalam Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?! sebagai kesadaran dekonstruktif.
Oleh karenanya, Bima tidak sekadar menulis narasi tandingan, melainkan melakukan pembongkaran ulang atas konsepsi lama yang mapan dan dominan dalam historiografi Indonesia: seperti konsep negara, raja, dan kekuasaan itu sendiri. Dalam sumber berupa laporan Eropa, definisi negara dan raja selalu merujuk pada makna ruang yang teratur, serta siapa yang memerintah, dan siapa yang diperintah. Pengertian itu dibongkar oleh Bima dalam naskah ini dengan kritis.
Dalam beberapa sumber yang dihimpun Bima, terdapat sesat pikir dalam penggunaan bahasa yang menurutnya kurang tepat dan bersifat menghakimi dan merendahkan. Misalnya dalam melihat masyarakat tanpa negara, laporan Eropa paling awal selalu menyelipkan bahasa yang memberi gambaran merendahkan dalam memandang masyarakat yang hidup di ruang tanpa negara dan ketiadaan otoritas pusat.
Bahasa itu diselipkan karena berkembang dalam tradisi pemikiran Barat yang selalu menganggap sebuah masyarakat di bawah negara dan pemerintah adalah keniscayaan. Hal itu memunculkan dikotomi antara peradaban beradab dan peradaban yang biadab. Ketiadaan raja dan institusi pemerintahan otoritas yang sah, membuat bangsa Eropa seperti Belanda menyebut peradaban Maluku (pinggiran dan pedalaman) sebagai peradaban biadab.
Upaya Pembentukan Negara
Ketika babak sejarah kepulauan Maluku diwarnai dengan sejarah Ternate dan Tidore, ruang tanpa negara yang menjadi subjek penelitian Bima mulai memasuki masa-masa bergejolak; meliputi perubahan dalam pelbagai aspek kehidupan yang ada di ruang tanpa negara. Seperti kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budaya, perlahan bertransformasi menyesuaikan pengaruh yang dibawa peradaban Barat. Sejak itu, pengangkatan raja dan pembentukan kerajaan-kerajaan kecil mulai dijalankan.
Bagi Bima, masuknya kolonialisme dan pengaruhnya menjadi titik balik (perubahan). Di mana suatu kekuasaan lokal dapat menjangkau ruang-ruang tanpa negara melalui penaklukan. Semenjak itu, kerajaan Ternate dan Tidore menjadi otoritas terpusat yang mampu memperluas jangkauan wilayah kekuasaanya hingga merambah ke daerah pinggiran dan pedalaman. Hal inilah yang dinamakan pemusatan kekuasaan.
Pembentukan negara yang umumnya berangkat dari penyerahan kolektif atas kedaulatan secara sukarela, dibantah secara kritis oleh Bima. Ia mengatakan bahwa proyek pembentukan negara di Kepulauan Maluku selalu diwarnai dengan penaklukan dan penyatuan wilayah tanpa negara ke dalam ruang negara yang berlangsung dengan kekerasan (meski pun dalam beberapa kasus secara sukarela), dan dipertahankan pula dengan kekerasan.
Kiat-kiat Menghindari Pembentukan Negara
Uniknya, pembentukan negara tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Orang-orang yang disebut sebagai Alifuru yang hidup di ruang tanpa negara, menurut Bima tidak dapat didefinisikan secara sederhana. Memang, sebagian ada yang sudah takluk, akan tetapi hal itu tidak dapat dipandang sekilas. Ia mengutip Sutherland: meremehkan otonomi komunitas Alifuru yang hampir mustahil dikendalikan. Ketertundukan orang-orang Alifuru bersifat ‘tidak pasti’. Jadi, bakal selalu ada perlawanan di dalamnya.
Salah satu upaya resistensi orang-orang Alifuru terhadap proyek pembentukan negara terpusat bisa dilihat dalam tradisi Siwa-Lima—sebuah sistem dualisme sosial-politik yang mencegah munculnya pemusatan kekuasaan.
Alih-alih hadir untuk penaklukan layaknya perang konvensional, perang Siwa-Lima berlangsung dalam konsep keseimbangan, di mana dua komunitas yang berkonflik malah menjaga batas kekuasaan lawan-kawan tanpa saling mendominasi. Bagi Bima, ini bukan sekadar kultur lokal, tetapi gambaran nyata dari prinsip anti dominasi yang selaras dengan semangat anarkisme.
Dan meski pun pemusatan kekuasaan sudah berlangsung selama ratusan tahun, Kepulauan Maluku tidak sepenuhnya takluk oleh proyek pembentukan negara yang dijalankan kerajaan Ternate-Tidore dan Kolonial melalui ekspansinya. Ada beberapa Alifuru yang memilih untuk tidak takluk pada kekuatan Ternate-Tidore dan kolonial, mereka lebih memilih untuk membangun federasi.
Namun, tak semua Alifuru membentuk federasi, karena definisi mereka memang tak pernah tunggal. Yang pasti ialah wilayah-wilayah otonom itu mempunyai kiat-kiat mandiri baik dalam swa-pengorganisasian maupun hanya untuk mengatur kehidupan sosial politik dan ekonomi mereka sendiri-sendiri tanpa otoritas sentral.
Alifuru: Sejarah Tanpa Raja dan Negara
Pada akhirnya buku Anarki di Alifuru tidak sekadar mengangkat kisah mereka yang dipinggirkan, terpinggirkan, dan ditaklukan, tetapi juga menentang pandangan kita selama ini dalam melihat masa lalu. Buku ini menunjukkan bahwa sejarah Indonesia itu lebih kompleks daripada narasi yang dibentuk historiografi Indonesia pada umumnya.
Historiografi yang tidak melulu berbicara soal aktivitas kekuasaan, raja, dan kolonialisme, tetapi juga berbicara kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Dalam Anarki di Alifuru kita juga dapat melihat kekerasan yang dipaksakan dalam tahap-tahap awal pembentukan negara kepada mereka yang enggan hidup di bawah kontrol otoritas terpusat dan lebih memilih hidup dalam komunitas egaliter.
Anarki di Alifuru mengajak cara pandang kita memasuki horizon yang lebih luas daripada horizon historiografi Indonesia yang kaku dan elitis. Ia menentang eksklusivitas dalam pembentukan narasi sejarah Indonesia dan menawarkan perspektif baru dalam melihat dinamika sejarah Indonesia sebagai keberagaman yang kompleks dan hidup.
Mungkin inilah saatnya kita mempertanyakan kembali asumsi tak berdasar bahwa ketiadaan pemimpin dan negara berarti menciptakan ketidakteraturan. Sebab dalam sejarah kehidupan masyarakat Alifuru rupa-rupanya telah membuktikan: bahwa hidup setara tanpa pemerintah dan tanpa negara itu bisa terjadi dan bukanlah kehidupan yang utopis.