Di tengah arus perkembangan digital yang terus mengalir deras dan ledakan beragam konten sosial media yang sulit untuk dikurasi dari algoritma yang berantakan, generasi muda dihadapkan pada segudang kompleksitas tantangan yang tidak boleh disaksikan oleh orang tua hanya dengan sebelah mata: brain rot. Sebuah terminologi populer yang terjadi akibat penurunan kapasitas kognitif otak akibat terlalu banyak mengkonsumsi konten digital yang receh dan non-substansial. Tak hanya menjadi peristiwa up to date, brain rot saat ini menjelma serupa sinyal peringatan bagi orang tua dan masyarakat, khususnya dalam konteks pengasuhan dan pendidikan anak menyikapi perkembangan teknologi yang berdampak pada tumbuh kembang mereka. 

Dari sejumlah survei menunjukan bahwa sebagian besar anak-anak menghabiskan lebih dari 4,5 jam/hari untuk berselancar di depan layar ponsel pintar mereka, sementara kegiatan outdoor hanya dihabiskan selama 40 menit saja. Hematnya, dalam 12 jam waktu aktif mereka, lebih dari sepertiga dihabiskan untuk menatap layar gawai. Profesor Kathryn J. Saunders dari Universitas Ulster memberikan atensi serius menyoal dilema yang dihadapi oleh para orang tua di era digital: bagaimana mengelola keseimbangan antara manfaat teknologi sebagai medium pembelajaran, sekaligus strategi menghadapi ancaman adiksi scrolling sosial media yang semakin masif? 

Imajinasi Ekstrim dan Kaburnya Batas Realitas

Fenomena yang terjadi tidak hadir secara tunggal. Ia dikemas dengan visualisasi yang menarik dan humor yang absurd, seperti karakter viral “Tung Tung Sahur” animasi berbentuk kayu, atau “Balerina Cappucina” icon imajinatif antara gabungan secangkir kopi yang menyerupai seorang balerina. Semua ini merupakan bagian dari tren meme surealis yang populer dikenal sebagai Italian Brain Rot. Istilah itu datang sebagai sebuah bentuk konten yang lucu nampun nampak ganjil, viral di aplikasi Roblox hingga TikTok, dan telah banyak digemari oleh anak-anak Gen Alpha.

Di balik bentuk lucunya, konten seperti ini ternyata mengundang keprihatinan yang cukup serius. Menurut salah seorang pemerhati keluarga dan pengasuhan, konten anomali menarik atensi karena sifatnya yang instan dan menimbulkan rasa penasaran. Namun, secara jangka panjang ia mempunyai dampak yang sepele. Ia dapat mengaburkan garis demarkasi antara logika dan fantasi, membuat anak-anak terbiasa dengan konten imajinasi yang ekstrim dan menumpulkan daya pikir kritis mereka.

- Poster Iklan -

Istilah brain rot sendiri bukanlah konsep yang cukup baru di media sosial. Oxford Word of the Year 2024 mencatat bahwa terminologi ini sebagai kondisi penurunan fungsi otak akibat terlalu banyak mengkonsumsi kontenreceh secara terus-menerus. Akibatnya, ia dapat menghilangkan semangat, gangguan tidur bahkan depresi. Bahkan sebelum sosial media dilahirkan, pada 1854, Henry David Thoreau sempat menuliskannya sebagai bentuk degradasi intelektual akibat ketertarikan pada hal-hal remeh. 

Dari sisi psikologis, brain rot mempunyai dampak yang lebih serius pada anak-anak. Menukil teori Piaget, anak usia dini berada dalam level pra-operasional, di mana mereka belum mampu membedakan dengan tegas antara dunia imajinasi dan realitas. Konten absurd seperti konten anomali justru berpotensi mengganggu cara berpikir mereka terhadap dunia nyata. Ketika fungsi otak yang masih dalam perkembang disuapi konten-konten tanpa narasi logis, maka kemampuan kognitif berpotensi terhambat. 

Peran Perempuan dalam Membangun Literasi Digital Sejak di Ruang Tamu

Di balik kompleksitas ancaman yang menghantui sosial media, peran perempuan sebagai ibu dan sekolah pertama bagi anak muncul sebagai garda terdepan untuk membimbing dan memberikan pemahaman soal literasi digital dalam keluarga. Dalam banyak rumah tangga di Indonesia, seorang ibu masih menjadi sosok utama dalam pengasuhan anak. Di titik itulah letak strategis bagi perempuan dalam membentuk budaya digital yang lebih sehat, kritis dan manusiawi. Mulai dari menyusun aturan soal durasi screen time di rumah, menentukan algoritma dan tontonan yang edukatif, hingga berperan aktif untuk mendampingi anak ketika mereka asyik berselancar di dunia maya. Ini bukan soal membatasi akses, melainkan mendesain pemahaman anak terhadap substansi dan makna konten yang mereka konsumsi. Dalam sejumlah kasus, adiksi terhadap gadget tidak hanya ditimbulkan oleh banyaknya waktu yang ia habiskan, tapi juga tentang terbatasnya dialog tentang konten yang dilihat.

Sebagai langkah preventif, terdapat sejumlah strategi yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam menghadapi absurditas konten dan ancaman brain rot di ruang digital keluarga.  Pertama, batasi waktu screen time. Untuk anak yang berusia di atas dua tahun, durasi maksimal yang disarankan adalah 1-2 jam/hari. Sementara, untuk anak yang masih di bawah 2 tahun sebaiknya ia tidak boleh terpapar oleh gadget sama sekali. Kedua, hindari aktivitas gadget menjelang waktu tidur. Kebiasaan masih sering dilakukan oleh sebagian orang tua untuk meninabobokan anak. Padahal, kegiatan ini dapat mempengaruhi kualitas tidur dan memperpanjang durasi screen time tanpa tujuan yang jelas.

Ketiga, kurangi jumlah aplikasi yang berpotensi menimbulkan adiksi pada anak. Semakin banyak aplikasi, peluang distraksi dan adiksi anak terhadap gadget semakin tinggi. Lalu, keempat, isi waktu dengan aktivitas yang nyata seperti olahraga pagi bareng, memasak, bikin kue bareng atau bercocok tanam di halaman belakang bersama mereka. Terakhir, kelima, perkuat intensitas komunikasi dalam keluarga. Membiasakan bercerita, mengobrol atau sekedar jalan-jalan sore di sekitar rumah jauh lebih menyegarkan kesehatan mental anak ketimbang berselancar berjam-jam di sosial media.

Masih berhubungan dengan semua itu, pendidikan literasi digital juga semestinya tidak selesai hanya di ruang tamu dan kamar tidur saja. Lingkungan sekolah juga perlu menjadi mitra yang sejalan dalam menumbuhkan budaya digital yang sehat. Pendidikan digital merupakan kerja kolaborasi yang melibatkan rumah, sekolah, komunitas dan andil negara.Tapi kembali lagi, yang menjadi garda terdepan bagi anak untuk pertama kali mengenal dunia adalah keluarga. Ia adalah kompas yang menuntun mereka menuju dunia yang lebih baik, sehat dan berdampak positif baik terhadap fisik maupun kesehatan mental mereka. Di tahap pengaplikasiannya, program seperti pemulihan digital melalui pelatihan dan pendekatan teknologi dapat menjadi alternatif dalam membantu anak-anak meningkatkan kemampuan fokus dan membangun kembali daya kognitif mereka.

Seperti halnya yang seringkali disampaikan dalam sejumlah forum pendidikan anak, bahwa teknologi adalah alat, bukan tujuan. Tujuan kita adalah anak-anak yang tumbuh dengan ketajaman dalam berpikir, kesehatan mental yang baik, serta mampu untuk memfilter informasi secara bijak sejak dini. Oleh karena itu, literasi digital bukan lagi sebagai pilihan, melainkan keharusan. Dan perempuan, dengan peran domestik sekaligus publiknya, bisa menjadi motor penggerak perubahan di era digital. Dan jika fondasi literasi dari rumah itu rapuh, maka tak ada lagi sistem pendidikan atau regulasi yang menggantikannya. Maka refleksi terbesarnya adalah: teknologi boleh saban detik terus berubah, tapi prinsip pengasuhan yang sehat dan penuh kesadaran tak boleh kehilangan tempat.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here