“Anakku, “ berkata induk bebek pada anaknya suatu ketika, “ada suatu mahluk di dunia ini yang harus kau hindari. Sedapat mungkin usahakan tidak bersua dengannya, Makhluk itu tidak seseram raja kita. Tidak bertanduk macam banteng. Tidak berbisa seperti ular. Namun, dia lebih berbahaya dari semuanya.”
“Dengan mengantuk, dia sanggup mengeluarkan ikan dari dasar laut. Dan dengan sebelah mata, mampu menjatuhkan burung di angkasa. Bahkan dengan tipu dayanya, dia dapat menundukkan gajah. Makhluk itu bernama Manusia. Aku berharap kau tidak akan bersua dengannya. Aku tidak ingin kau jadi mangsanya.” (Awas, Manusia!, Alala, 2021)
Tak pernah saya duga, kalau di tahun 1979, cerita anak ini ditulis oleh Mustofa Bisri, atau biasa kita akrabi dengan Gus Mus. Menurut penerbit Alala, yang menerbitkan ulang kisah ini, buku bertajuk Awas, Manusia! menandai debut Gus Mus sebagai penulis. Gus Mus pertama kali menulis cerita ini empat dekade lalu. Penerbitan ulang buku itu pada 2021 merupakan kado ulang tahun ke 77 Gus Mus. Selain Awas, Manusia! Gus Mus juga mengisahkan Nyamuk Perkasa, yang dalam penelusuran saya, diterbitkan oleh Gaya Favorit Press.
Memori lama saya gagal memindai, apalagi menemukan cerita atau judul buku tersebut. Rupanya saya tak pernah membaca buku itu. Agaknya, buku-buku bacaan program Inpres di era 70 dan 80an, di luar serial Lima Sekawan, Sersan Grung-Grung, dan Astrid, lebih mendominasi kepala saya saat itu. Setelah menikmati buku ini di tahun-tahun pandemi Covid-19, dengan sesal yang tertinggal, saya menggerutu mengapa buku itu dulu tak pernah ada di perpustakaan sekolah saya. Atau minimal tersaji dalam daftar bacaan fiksi yang direkomendasikan untuk dibaca siswa SD-SMA. Tapi lagi-lagi, kesadaran saya kembali dikecewakan, sebab daftar bacaan sastra untuk anak sekolah yang seharusnya dibuat, hingga hari ini tak kunjung tersedia. Politik (pengadaan) bacaan sastra kita masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Gus Mus menyajikan kisah anak bebek dan anak singa (pangeran rimba) yang tertawan manusia dalam Awas, Manusia! Sejak kecil, sang bebek selalu diingatkan ibunya tentang bahaya manusia. Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Ayo kita cari manusia!” tantangnya pada sang singa muda, pangeran rimba yang mengabaikan peringatan ayahnya demi petualangan ini.
Takdir membawa mereka bertemu seorang tukang kayu yang gemetar ketakutan melihat sang singa. Dengan cerdik, tukang kayu itu berpura-pura sedang dikejar manusia dan tengah membuatkan rumah kayu pelindung untuk macan.
“Buatkan juga untukku!” desak sang singa, terbakar rasa iri. Tanpa menyadari bahaya, ia melompat masuk ke dalam “rumah” yang baru selesai dibuat, sebuah peti jebakan yang mengurungnya dalam sekejap. Jeritan sang singa menggema di hutan sementara tukang kayu tersenyum puas. Sang bebek, demi menyaksikan sahabatnya terperangkap, berlari sekuat tenaga menyelamatkan diri, namun kaki-kaki bersepatu telah mengepungnya dari segala arah. Dua sahabat, satu nasib, menjadi tawanan manusia yang selama ini mereka cari.
Narasi manusia sebagai makhluk manipulatif, serakah, dan semena-mena, tidak saja dituturkan Gus Mus. Kecenderungan manusia menjadi predator serta eksploitatif terhadap makhluk lain, tak terkecuali lingkungan tempat mereka hidup dan beraktualisasi, diceritakan dalam The Lorax, karya Theodor Seuss Geisel, atau dikenal dengan Dr. Seuss. Ia bukanlah dokter medis. Sematan gelar doktor honoris causa diperoleh dari almamaternya Dartmouth College, Amerika Serikat, pada tahun 1955. Ia bercanda dan merasa perlu menyebut dirinya sebagai “Dokter Dr. Seuss.” Salah satu buku cerita karyanya yang melegenda ialah The Lorax, ditulis pada 1971. Lorax diangkat ke layar lebar sebagai animasi fantasi musikal pada 2012.
Buku The Lorax karya Dr. Seuss dimulai dengan seorang anak yang berjalan sendirian melewati jalan berlumpur dan berangin di ujung kota. Tempat di mana rumput tidak lagi tumbuh, langit selalu berkabut. Anak laki-laki tiba di rumah tua rusak milik makhluk misterius bernama Once-ler. Makhluk bertangan hijau panjang itu tinggal di menara tinggi terisolasi, dan hanya menjulurkan tangannya yang panjang dari jendela. Untuk mendengar kisah tentang Lorax, anak tersebut harus membayar Once-ler sebesar lima belas sen, paku yang bersih dan terang, dan kulit kerang dari seekor binatang yang sudah punah.
Setelah menerima bayaran, Once-ler mulai menceritakan kisahnya. Bertahun-tahun yang lalu, ia datang ke tempat yang indah dipenuhi pohon-pohon Truffula yang berwarna-warni dengan daun lembut seperti sutra. Udara di sana segar dan bersih, langit cerah, dan berbagai makhluk hidup bahagia di habitat surgawi itu. Ada Bar-ba-loots (makhluk seperti beruang), Swomee–Swans (burung), dan ikan Humming. Buah pohon Truffula makanan utama Bar-ba-loots. Nyanyian burung Swomee-Swans menggema riang, sementara ikan-ikan Humming berkecipak di kolam jernih.
Terpikat oleh jumbai sutra pohon Truffula, Once-ler memotong satu pohon dan menggunakannya untuk merajut thneed, produk serbaguna. Makhluk bertangan panjang itu terus menebang pohon Truffula demi memperbesar produksi thneed. Tindakan serakah itu mengundang Lorax datang, makhluk oranye kecil yang mengaku sebagai juru bicara para pepohonan. Lorax meminta Once-ler menghentikan ulahnya meruntuhkan pohon-pohon Truffula, tetapi Once-ler tak peduli.
Didorong keserakahan dan ambisi, Once-ler membangun pabrik, membawa keluarganya, dan mulai memproduksi thneed secara massal. Hal ini menyebabkan deforestasi parah. Bar-ba-loots, yang bergantung pada buah Truffula, menderita kekurangan makanan dan harus pergi. Swomee-Swans menyusul. Ia tidak dapat bernyanyi karena polusi udara, diikuti oleh ikan Humming, yang kolamnya terkontaminasi limbah industri. Lorax kembali mengingatkan Once-ler, namun si tangan hijau itu bergeming, ia terus melakukan penebangan pohon guna ekspansi bisnisnya. Tibalah mesin-mesin gergaji di hadapan pohon Truffula terakhir. Tak ada lagi pohon tersisa, pabrik thneed tutup.
Diam-diam Lorax menumpuk batu-batuan dan menuliskan satu kata, KECUALI. Pesan yang hanya ia tujukan kepada pembabat hutan. Once-ler akhirnya memahami pesan Lorax: ”Kecuali orang sepertimu sangat peduli, tidak ada yang akan menjadi lebih baik. Tidak akan .” Once-ler memberi anak lelaki itu benih pohon Truffula terakhir, mendesaknya untuk menanam dan memeliharanya, dan mengatakan bahwa jika pohon Truffula telah tumbuh lagi, mungkin Lorax dan makhluk hutan akan bersedia kembali.
Saya membayangkan Seuss menulis The Lorax di sebuah ruang kerja yang menghadap ke hutan pinus California, yang perlahan-lahan menyusut, menyempit. Mungkin ia melihat truk-truk pengangkut kayu lewat, satu demi satu, seperti semut-semut pekerja yang tak pernah lelah bekerja. Di sini, kita tak perlu membayangkan. Kita melihatnya setiap hari: hutan Kalimantan menghitam terbakar, lahan gambut Sumatera mengering, hutan yang terbakar mengirimkan asapnya ke negara tetangga, dan pegunungan Jayawijaya kehilangan salju abadinya. Kita hidup di negeri yang dipimpin oleh kata “Pembangunan”. Kosa kata itu menjelma menjadi mantra suci, membenarkan segala bentuk eksploitasi. Seperti Once-ler dalam The Lorax, tak henti menebang pohon Truffula demi memburu rente produksi thneed besar-besaran. Disusul dengan dalih pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan stabilitas keamanan.
Di antara lembaran-lembaran tuturan Gus Mus tentang bebek dan singa muda, tersembunyi refleksi mendalam tentang hubungan kekuasaan dan kerentanan. Seperti air yang mengalir perlahan namun mengikis bebatuan, Awas, Manusia! mengajak kita merenungkan, bahkan menafsir ulang bagaimana struktur sosial kita terbentuk: ketika kepercayaan rakyat, yang diberikan tiap kali lima tahun sekali justru berakhir di ruang-ruang yang membatasi.
Dalam lanskap Indonesia yang terus bermetamorfosis, kisah ini menjadi cermin yang memantulkan bayangan tentang bagaimana institusi-institusi yang seharusnya melindungi, terkadang justru menciptakan kebanalan. Lebih jauh, sebagaimana sang singa muda yang tanpa sadar masuk ke dalam perangkap retak, rakyat sering kali terjebak dalam sistem kekuasaan yang mempertontonkan simulakra kemajuan. Ambiguitas antara janji perlindungan dan realitas kekuasaan menciptakan ruang hampa di mana idealisme kewargaan tereduksi menjadi objek manipulasi.
Di Indonesia, kala hutan hujan tropis menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, sungai-sungai tercemar limbah industri, indeks kualitas udara kota-kota besar kita tergolong yang terburuk di dunia, kita membutuhkan solidaritas para Lorax. Kita memerlukan cerita-cerita yang tidak hanya menghibur anak-anak, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar, bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi, dan mereka berpotensi menggalang kekuatan untuk membuat perbedaan.
Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin didominasi oleh pragmatisme jangka pendek dan kalkulasi elektoral, cerita anak yang berpihak pada lingkungan menjadi ruang di mana nilai-nilai alternatif dapat ditanamkan dan dipelihara. Seperti benih Truffula terakhir dalam The Lorax, atau bebek yang berhasil melarikan diri tapi terkepung kaki manusia, cerita-cerita ini mungkin terlihat kecil dan tidak signifikan di hadapan bisingnya mesin politik dan ekonomi yang besar. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Dr. Seuss dan Gus Mus, dari benih kecil inilah hutan dan kekuatan baru akan tumbuh, meraksasa.
Aku suka ini, best. Dibaca ya teman-teman