Suatu kali saya membaca status media sosial kawan Setyaningsih, esais dan penekun pustaka anak, yang memposting projek penerbitan buku-buku klasik Eyang Djokolelono, dengan sampul gaya lawas yang dikuaskan oleh ilustrator berbakat, Nai Rinaket. Tanpa pikir dua kali, saya bertanya di mana saya bisa memperoleh buku-buku itu. Alhasil dari perbincangan dengan Setyaningsih dan Nai, saya tahu kalau Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tengah mengusahakan proyek menerbitkan kembali bacaan-bacaan masa anak-anak, bertajuk Seri Klasik Semasa Kecil, dimulai dengan enam karya Djokolelono: Pak Gangsir Juru Ramal Istana, Rahasia Lukisan, Terlontar ke Masa Silam, Getaran, Genderang Perang dari Wamena, dan Hancurnya Jembatan Beru.
Dalam kata pengantar buku Pak Gangsir Juru Ramal Istana, Setyaningsih menyampaikan diksi (seri) klasik tidak melulu merujuk pada ingatan buku-buku pengarang Eropa dan Amerika (Serikat), Mark Twain, Robert Louis Stevenson, Louisa May Alcott, yang mewarisi tradisi kesusastraan cetak yang mapan dan eksis lebih awal. Namun dalam khazanah Indonesia, kita juga punya bacaan karya Aman Dt Madjoindo (Si Doel Anak Betawi—yang pernah saya ulas di tulisan sebelum ini—dan Anak Desa), yang menuturkan narasi keseharian anak-anak, dan impresif di masanya.
Penyematan label klasik pada buku Pak Gangsir Juru Ramal Istana, didasarkan pada kejenakaan dan aspek “tidak biasa” terkait kemalasan Gangsir. Pak Gangsir, pemalas mujur nan jenaka dihadap-hadapkan pada Raja Indrabuwana, yang otoriter dan sewenang-wenang. Magnet kejenakaan inilah yang menurut Setyaningsih layak digelari selempang klasik, sebab selain mengentalkan kepiawaian penulisnya dalam meramu humor dalam cerita, berpotensi mengeruk ceruk perhatian (calon) pembaca di zaman berbeda, ditambah karya tersebut impresif di eranya.





















