“Penerjemahan sejak dahulu kala, telah menjadi fasilitator perdamaian. Penerjemahan memungkinkan adanya komunikasi, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya diplomasi, perdagangan, dan kerja sama antar bangsa yang berbeda, yang kemudian mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua orang.”

Pernahkah kalian menonton video yang memperlihatkan percakapan dua presiden negara adidaya—Presiden Rusia dan Presiden Tiongkok—yang saling berdialog melalui perantara penerjemah? Bayangkan ketegangan yang timbul. Satu kata yang meleset bisa berarti kesalahpahaman diplomatik, bahkan bencana politik. Di sinilah kita sadar, bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa adalah alat kekuasaan. Dan Babel karya R.F. Kuang menunjukkan bahwa bahasa tidaklah netral karena bahasa tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi biasa, melainkan juga alat politik.

Dalam Babel, R.F. Kuang menggambarkan bagaimana bahasa dikendalikan oleh segelintir elite demi kepentingan kekuasaan. Di tangan para akademisi Oxford, khususnya mereka yang berada di Institut Babel, bahasa tidak lagi diperlakukan sebagai warisan budaya yang setara. Mereka secara sepihak menentukan bahasa mana yang pantas dipelajari, serta mana yang dianggap tidak berguna dan layak ditinggalkan. Pemilahan ini tentu bukan netral, melainkan sangat politis: bahasa-bahasa yang dipilih adalah bahasa yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dominasi Kekaisaran Inggris.

“Bahasa adalah harta layaknya emas dan perak. Banyak orang yang mati dan berperang demi Gramatika.”

- Poster Iklan -

Dalam konteks ini, bahasa berperan sebagai instrumen perluasan kekuasaan—mempermudah penaklukan dan mendukung ambisi imperialisme. Bahasa diperlakukan bukan lagi sebagai sarana komunikasi belaka, melainkan sebagai komoditas sekaligus senjata. Dalam Babel, setiap kata dimanipulasi untuk menciptakan kekuatan sihir melalui batang perak—sebuah sistem magis yang secara langsung menopang sistem kolonial. Kerangka kritik ini menjadi dasar bagi keseluruhan cerita dan latar yang diangkat dalam novel.

Kritik terhadap dominasi bahasa dan kekuasaan menjadi inti dari novel Babel: Or the Necessity of Violence: An Arcane History of the Oxford Translators’ Revolution karya R.F. Kuang. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2022, novel ini mengusung genre fantasi sejarah dengan nuansa dark academia yang kental. Berlatar pada masa pemerintahan Ratu Victoria pada awal abad ke-19, Babel menggambarkan Britania sebagai imperium yang tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam dari negeri-negeri jajahannya, tetapi juga memanfaatkan bahasa lokal sebagai instrumen penjajahan. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Siska Nurohmah dan diterbitkan oleh Shira Media pada tahun 2024.

Kisah tentang bagaimana bahasa dimanfaatkan sebagai alat dominasi kolonial dalam Babel dituangkan melalui perjalanan tokoh utamanya, Robin Swift, yang sejak kecil telah menjadi bagian dari proyek besar kekuasaan bahasa yang dijalankan oleh Kekaisaran Inggris. Robin Swift merupakan anak yatim piatu dari Kanton, Cina, yang diambil dan dibawa ke Inggris oleh seorang profesor Oxford. Tujuannya agar Robin mendapat pendidikan yang baik dan nantinya dapat masuk ke dalam Babel (Institut Penerjemah Kerajaan) dan kemudian dimanfaatkan sebagai salah satu penerjemah yang mendukung kepentingan Kekaisaran Inggris.

Sewaktu remaja, ia masuk ke Universitas Oxford dan bertemu dengan ketiga kawannya: Ramy, seorang Muslim dari India; Victoire dari Haiti; dan Letty, yang merupakan satu-satunya keturunan asli Inggris diantara mereka. Pada masa itu, seseorang yang bukan berasal dari Inggris (non kulit putih) dianggap lebih rendah derajatnya. Robin, Ramy, dan Victoire sering mendapat diskriminasi dari orang-orang di sekitarnya. Mereka dianggap sebagai “orang asing“ yang tidak pantas untuk mendapatkan hak yang sama dengan warga Inggris. 

Pada akhirnya mereka bertiga sadar bahwa Inggris hanyalah memanfaatkan mereka dan negara mereka. Mereka merupakan korban dari imperialisme Inggris yang serakah. Menyadari hal itu, mereka pun melakukan perlawanan terhadap kolonialisme tersebut. Letty, sebagai warga asli Inggris, menjadi dilema ketika ia mengetahui rencana ketiga temannya. Ia bingung harus setia terhadap persahabatan atau kepada negaranya sendiri. Pada saat inilah ceritanya menjadi sangat seru. Konflik batin dan perlawanan tersebut juga mencerminkan kritik terhadap dunia akademik di balik sistem kolonial. Oleh karena itu, peran penerjemah menjadi sangat penting dan penuh dilema moral. 

Dalam Babel, digambarkan sebuah kenyataan pahit: para akademisi tidak sepenuhnya netral dalam mengajar, melainkan turut serta melanggengkan kolonialisme Inggris terhadap bangsa-bangsa lain. Hal ini terlihat jelas dari sikap para profesor yang tergambar dalam cerita. Dalam novel ini, Oxford—melalui Institut Babel—ditampilkan sebagai lembaga yang tampak objektif dan ilmiah di permukaan, namun pada kenyataannya menjadi alat utama yang menopang kekuasaan kolonial. Para penerjemah, termasuk Robin dan kawan-kawannya, dididik bukan untuk membebaskan pikiran, melainkan untuk melayani kepentingan imperium melalui penguasaan bahasa asing yang dimanfaatkan sebagai sumber sihir dan alat dominasi. Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan melalui kekuatan militer, tetapi juga melalui kontrol terhadap bahasa—yang digunakan untuk membentuk cara pandang dan menundukkan kesadaran masyarakat jajahan.

Dalam konteks ini, seorang penerjemah memegang peranan yang sangat krusial. Mereka menjadi jembatan utama dalam menyebarkan pemahaman lintas budaya dan menentukan bagaimana suatu pesan diterima secara global. Bahkan, penerjemah dapat disebut sebagai penentu arah peradaban—karena keputusan besar, baik yang berujung pada perang maupun perdamaian, sering kali bergantung pada bagaimana suatu kata diterjemahkan. 

“Bahasa bukan sekadar kumpulan kata-kata. Melainkan cara memandang dunia. Bahasa adalah kunci peradaban. Dan pengetahuan itu layak dipertaruhkan dengan nyawa.”

Masalah yang diangkat dalam Babel adalah bahwa Robin, sang penerjemah, justru tidak sejalan dengan pihak yang mengutusnya, yaitu Kekaisaran Inggris. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap netral, jika hatinya terusik oleh ketidakadilan kekaisaran yang telah mencabutnya dari tanah kelahirannya dan menjadikan bahasa ibunya sebagai alat untuk menghancurkan bangsanya sendiri?

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here