Kita sering takut ketika dibilang “nggak berbakat.” Seolah itu vonis yang menentukan masa depan. Padahal, kita masih hidup di masyarakat yang terlalu percaya pada kata “bakat.” Kalau ada anak kecil bisa nyanyi, orang langsung bilang dia berbakat. Sebaliknya, kalau ada yang fals, langsung dicap nggak punya bakat. Tapi, siapa yang tahu bagaimana nasib mereka setelah dewasa? Bisa jadi si anak “nggak berbakat” tadi malah jadi penyanyi hebat karena terus belajar.
Anak seorang musisi terkenal yang jago main alat musik, sering dianggap berbakat sejak lahir. Padahal, kalau dilihat lebih dekat, dia bisa karena sering latihan dan tumbuh di lingkungan yang mendukung. Orang tuanya terbiasa memainkan musik, di rumah ada alat musik, dan setiap hari ia melihat, mendengar, serta mencoba. Lingkungan dan kebiasaan itu yang membentuk kemampuannya. Jadi, bukan soal bakat, tapi soal latihan dan pembiasaan.
Coba pikir, apakah ada orang yang sejak kecil “berbakat jadi menteri”? Nggak ada, kan? Semua belajar lewat pengalaman. Jatuh bangun dan waktu panjang. Bakat mungkin ada sedikit pengaruhnya. Tetapi kalau terlalu percaya pada bakat, justru bisa bikin kita berhenti mencoba. Kata “bakat” sering jadi alasan untuk menyerah sebelum mulai.
Saya sendiri nggak merasa punya bakat menulis. Orang tua saya juga nggak pernah bilang saya berbakat atau tidak. Saya hanya punya satu hal:. Keyakinan bahwa saya bisa belajar. Dulu saya juga nggak bisa berenang. Tapi karena setiap hari main di sungai Winongo dekat rumah, lama-lama jadi bisa. Telinga dan hidung sering kemasukan air. Teta dari situ saya belajar. Saya tidak pernah berpikir “sayaberbakat berenang”. Saya hanya terus mencobanya.
Belajar menulis itu mirip belajar berenang. Kalau ingin bisa, ya harus nyemplung (terjun) langsung. Beda banget antara belajar berenang dengan belajar tentang berenang. Yang pertama, kamu benar-benar terjun ke air, basah, dan latihan terus. Yang kedua, kamu cuma membayangkan teknik gaya dada atau gaya bebas tanpa praktik. Sama halnya dengan menulis. Kamu nggak akan bisa hanya dengan memikirkan teori atau menunggu “mood.” Kamu harus mulai menulis, meski hasilnya jelek.
Saya masih ingat, waktu sekolah di SMAN 1 Bantul guru Bahasa Indonesia menyuruh kami menulis cerpen. Saya bingung mau nulis apa. Akhirnya saya menulis pengalaman waktu ikut acara Sekolah Dasar (SD) ke Tawangmangu.
Ceritanya asal-asalan, yang penting tugas selesai. Tapi nasib buruk datang — saya disuruh baca cerpen itu di depan kelas. Cerpen saya aneh dan lucu. Teman-teman dan guru malah tertawa. Rasanya malu banget. Tapi dari situ saya punya tekad. Saya nggak mau dipermalukan lagi. Saya mulai membaca buku-buku agar bisa menulis lebih baik. Kadang ikut pelatihan menulis. Membaca biografi penulis. Membaca alur tulisan para penulis.
Ternyata, trik sederhana itu berhasil. Saya jadi lebih mudah belajar hal lain, termasuk matematika. Padahal dulu pelajaran matematika itu seperti “hantu” buat saya. Tapi karena saya ingin bisa, saya berusaha. Ternyata bisa juga. Ternyata kuncinya bukan bakat, tapi niat dan kemauan belajar.
Suatu ketika, guru SMA memberi tugas membuat resensi buku. Saya memilih buku Belenggu karya Armijn Pane. Awalnya saya pikir bakal susah. Tapi ternyata, saya bisa menulisnya dengan lebih mudah. Mungkin karena saya sudah punya tekad ingin bisa menulis. Mungkin juga karena saya mulai terbiasa membaca. Lama-lama, menulis tidak terasa sulit lagi.
Apakah itu tanda saya punya bakat menulis? Sama sekali tidak. Saya tidak percaya kemampuan menulis datang dari bakat. Saya hanya percaya pada proses. Pada kemauan untuk terus mencoba. Saya membaca lebih banyak. Belajar dari tulisan orang lain. Berani membuat tulisan sendiri meskipun belum sempurna.
Saya juga beruntung punya bapak yang suka membelikan buku meskipun gajinya pas-pasan. Bapak saya guru SD dengan pangkat golongan II. Dari situlah kebiasaan membaca saya tumbuh. Dari membaca, saya belajar bagaimana cara orang lain menulis, memilih kata, dan menyusun ide. Dan semua itu terjadi bukan karena bakat, tapi karena kebiasaan dan ketekunan.
Jadi, kalau kamu ingin bisa menulis, berhenti bilang “saya nggak berbakat.” Yang kamu butuh cuma satu. Latihan terus-menerus. Semua penulis besar yang kamu kagumi dulunya juga pernah menulis jelek. Bedanya, mereka tidak berhenti. Mereka terus menulis sampai akhirnya bisa.
Bakat memang bisa jadi bonus kecil, tapi bukan penentu utama. Yang menentukan adalah seberapa besar kemauanmu untuk belajar dan bertahan. Jadi, jangan tunggu “bakat” datang. Mulailah sekarang, berani salah, dan terus perbaiki diri. Karena kemampuan bukan lahir dari bakat. Tetapi dari kerja keras dan keyakinan bahwa kamu bisa.
Bakat bukanlah tiket menuju sukses. Latihan, tekad, dan konsistensi jauh lebih menentukan. Jadi, kalau kamu ingin bisa menulis, bernyanyi, atau apa pun itu jangan menunggu bakat datang. Mulailah dulu.