Bakauheni Merak
Bakauheni Merak

Langit malam bersama ombak laut yang tak pasti menjadi pemandangan Bahir setiap tanggal 14 bulan Februari, Juli, Agustus, dan Desember. Tubuh pria itu kurus, rambutnya belum memutih, usianya juga masih 35 tahun. Selat Sunda yang indah jadi satu-satunya hiburan meski harus dinikmatinya diam-diam. Sebagai buruh kecil di Jawa, dia tidak punya pilihan banyak.

Semua upah dikirimnya ke anak dan istri yang menunggu di rumah papan berlantai semen. Tak punya aset bagus yang bisa dipegang saat gaji macet. Bagi dia, hidupnya saja sudah susah. Di hari yang sudah ditetapkan, pria bermata sipit itu menyeberangi pulau untuk sekadar memeluk rumahnya, beristirahat, dan mengantarkan anak sekolah. Begitu pun saat kembali untuk mengaduk adonan es krim di pabrik setelah dompetnya kosong. 

Begitulah cara Bahir hidup selama 10 tahun ke belakang. Berpetualang demi tiga piring nasi, sedangkan istri harap-harap cemas. Sebab, suaminya itu harus melaut dalam kegelapan agar tidak ditarik bayaran tinggi. Kakinya yang sudah tidak mulus, banyak koreng, melompat ke sana ke mari. Terkadang, dia menyelinap di lambung kapal kargo atau menumpang di truk barang yang bersedia mengangkutnya dengan upah seadanya.

Duduk bersandar di tumpukan peti kayu, Bahir kerap mengintip lampu-lampu di luar kapal dari jendela kecil di kapal kargo. Kalau menumpang truk, jari kakinya berjingkat keluar di antara kendaraan besar dan naik ke atas untuk menyawang hiburan yang sama. Pria itu akan kembali jika lampu Pelabuhan Merak sudah terlihat. 

- Poster Iklan -

“Bang, barang sudah tak ada yang tinggal?” Tini menggorengkan telur dadar untuk suaminya. 

“Sudah. Kau tak usah mengantarku, Tin.” 

Pukul sebelas malam, tanggal 14 Februari 2023, dia harus berangkat ke Bakauheni. Kali ini ia membayar sopir truk dengan uang Rp25.000. Bahir merapatkan jaket lusuhnya. Tini terlihat biasa saja sambil menata makan untuknya, namun jantung berdegup cepat. Pria yang tingginya 175 cm itu makan telur dadar yang tampak sederhana dengan nikmat. 

“Makan yang benar meski bosmu memaksamu bekerja 12 jam, Bang. Duit memang penting, tapi kalau kau mati, siapa yang kami tunggu pulang?” istrinya memelas. Suasana meja makan pun selalu begini setiap harinya tiba, sendu dan penuh nasihat. Bahir pun hanya manggut-manggut sambil mengunyah. “Hati-hati juga. Kau ini selalu membahayakan diri sendiri.”

Usai mengisi perut, memeluk dan mencium sang anak yang tertidur nyenyak adalah rutinitasnya sebelum pergi. Ada waktu saat dia merasa bersalah karena tak ikut menyaksikan pertumbuhan anaknya. Setiap pulang, anak laki-lakinya sudah bertambah tinggi dan pamer kemampuan. 

“Pak, lihat! Aku sudah bisa makan sendiri,” katanya saat umur tiga tahun. 

“Aku sudah pandai berhitung. Bapak harus dengar!” lalu dia melafalkan angka satu sampai seratus di umur lima tahun. 

“Pak, aku suka sepak bola. Aku ingin jadi pemain!” teriaknya saat dia sudah duduk di bangku kelas 2 SD. 

Waktu berjalan cepat, sudah waktunya Bahir ke pelabuhan. Dia berpamitan pada istri dan melompat ke mobil bak yang baru saja pulang dari kebun. Mobil itu milik tetangganya yang memberikan tumpangan secara cuma-cuma. Penerangan yang hanya mengandalkan lampu jalan dan lampu kendaraan terasa sunyi. Suara jangkrik dan gemerisik semak-semak terdengar nyaring.

Selama satu jam dia meringkuk menahan dingin. Jalan berkelok, angin lengket, dan bau amis pun akhirnya terasa. Bahir turun di ujung jalan, tak sampai gerbang. Maskernya dinaikkan dan mukanya berubah jadi ninja tanpa identitas. Dia menunggu, kakinya gemetar karena kedinginan. Tak lama, sebuah truk berwarna hitam dengan tutup hijau berhenti. Buruh itu membaca plat nomornya. 

“1895, sesuai,” batinnya. Sang sopir melongok ke luar, memberi isyarat. Tanpa banyak bicara, dia naik dan duduk di antara tumpukan kardus dagangan. 

Roda truk mulai menggilas aspal kembali. Lututnya ditarik ke dada untuk memperkecil ukuran. Ada sekitar 100 kardus tersusun rapi, hanya sebagian kecil yang terlihat meleyot. Suara bising mesin kapal, mobil, dan bentakan petugas bercampur dalam irama yang menakutkan. Hatinya membisikkan mantra selamat. Petugas meminta uang tiket dan keamanan mulai memeriksa baknya. Lampu senter menembus sela-sela kardus. Jantungnya berpacu dengan cahaya senter. 

“Aman!” kata yang melegakan napasnya. Truk melaju perlahan menuju antrean kendaraan yang menunggu giliran masuk. 

Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi. Kapal sudah datang, merapat perlahan ke dermaga. Lampunya menyorot ke sekitar. Kendaraan dipersilakan masuk satu per satu. Tukang parkir di dalam mulai bersuara mengarahkan para sopir. Truknya terguncang mengikuti ombak. Mesin dimatikan setelah terparkir dengan benar. Suasana makin ramai karena suara langkah kaki dan teriakan para penumpang. Bahir menunggu parkiran itu sepi untuk akhirnya ikut ke atas. Pintu kapal ditutup, suara pun makin senyap. Setelah beberapa menit, dia melompat turun dari bak dan berjalan pelan. Lompatannya lincah, dia benar-benar layak disebut ninja. 

Bahir berbaur bersama penumpang lainnya. Ada yang makan nasi bungkus, mi cup, dan menghisap batang rokok. Langkahnya mengikuti lorong sempit. Lantai satu ini dipenuhi dengan penumpang ekonomi. Tak ada kursi empuk yang bisa dibuat tidur. Bau asap rokok pun lebih dominan daripada bau rendang dan mi. Dia segera naik melalui tangga hijau yang sudah sedikit berkarat. Matanya menyempatkan mengintip ke area dalam. Wilayah kelas eksekutif.

Kursi empuk seperti di pesawat, sofa coklat dengan meja makan, televisi yang menyajikan film barat, AC di setiap ruang, dan kafetarian mewah. Hatinya meringis iri melihat orang-orang menikmati tidurnya sambil meluruskan kaki dan punggung. Sampai di tangga terakhir, dia naik menuju dek paling atas. Di sana juga tak kalah ramainya. Ada yang sengaja menggelar tikar bambu dan menikmati angin malam, ada juga yang berdiri dan membuat skenario apik. 

Bahir berlari kecil untuk duduk di pojok, mencoba menghindari kerumunan. Dia ikut menyaksikan keindahan lampu di kejauhan, cukup menenangkan. Untungnya, gelombang laut berdatangan secara perlahan. Begitu banyak hal yang ingin dia buang bersama gulungan ombak. Bintang di Selat Sunda terlihat memamerkan pesonanya pada semua orang. Bulan purnama turut tampil di tengah. 

“Ke mana, Bang?” napas Bahir berhenti sampai dia memastikan bahwa orang itu bukan petugas pengecekan. 

“Jakarta.”

“Bekerja?” Pria itu menoleh pada seorang gadis yang kira-kira usianya sepuluh tahun lebih muda dari dirinya. “Ceritakan tentang kota itu, Bang.” Permintaan yang sedikit lancang.

“Gedung yang menjulang bersebelahan dengan gubuk kumuh. Kota yang tak pernah tidur. Suara klakson memenuhi jalanan dan asapnya membuat sesak. Langkah kaki serba cepat demi mengejar hari. Banyak baju hitam di sana, berlarian di perumahan mewah dan sembunyi di kendaraan umum. Bangunan besar lebih sepi dibandingkan dengan perkampungan. Kalau di sana, jangan percaya orang berjas.”

Gadis berambut kepang itu menoleh heran, “Kenapa?”

Bahir tertawa sebentar, “Kau akan tahu nanti.”

Angin luat makin berisik. Dua orang asing itu terdiam masing-masing menghirup aroma yang amis. Terombang-ambing sambil menyeruput kopi yang dibawa dari rumah. Bahir berusaha terjaga dengan baik. Gunung Krakatau tak terlihat wujudnya. Lampu mercusuar menerawang ke dalam. Lagi-lagi dia menunduk dan kejar-kejaran dengan cahaya. Pria itu tersadar saat ada suara yang samar menagih identitas dan tiket. Dia langsung melesat pergi. Sayang, petugas melihatnya. 

“Hey! Jangan lari!” 

Darahnya berdesir kencang. Teriakan itu mematahkan rasa aman yang sempat dirasakannya di sudut gelap kapal. Kaki kerempengnya loncat dari lorong ke lorong. Banyak langkah di belakangnya yang menggema di koridor. Bahir tak menoleh sedikit pun. Dia membalikkan arah ke ruang eksekutif, tapi penjaga sudah menjaga di pintu. Dituruninya tangga lagi menuju lantai satu. Larinya ke dek yang penuh orang, berharap dia makin susah dicari. Pria dengan kulit sawo matangnya itu melihat sebuah pintu kecil yang dia yakini mengarah ke ruang mesin. Langkahnya dipercepat, petugas pun sedikit berlari menerobos kerumunan. 

Mereka mendekat, Bahir menenggelamkan badannya di kegelapan. Dirinya lupa bahwa para kacung berseragam itu membawa senter. Dia harus berlari menjauh dari sorot cahaya lagi. Udara di sana pengap dan panas. Keringat bercucuran. Napasnya tertahan dan makin sesak. 

“Ketangkap kau!” tanpa sadar sudah ada salah satunya di belakang Bahir. 

Dia benar-benar terperangkap di sana. Tak ada jalan untuk melarikan diri. Pundaknya diremas, wajahnya penuh ketakutan. Bahir diminta mengeluarkan tiket, tapi sesuai dugaan mereka, penumpang itu tak memilikinya. Petugas menyeretnya keluar. Tangannya sudah terikat oleh tali. Dia menyerahkan hidupnya pada takdir. 

***

Bahir menyaksikan hiruk-pikuk Kota Jakarta kembali, tapi kali ini dia duduk di mobil biru. Sampai di sebuah kantor besar, ia ditarik dan didudukkan di ruangan. Sederet pertanyaan diajukan dan dia menjawab dengan kooperatif. Penyelidikan berjalan lancar, penyelundup naif tidak menarik sopir yang membawanya. Dia tanggung sendiri. Polisi pun menyerahkan ke meja hijau. Sidang dimulai dua hari dari insiden itu. Jaksa menanyakan rentetan pertanyaan yang sama. Dia pun menjawab datar. Pikirannya kali ini pasal cara dia mengabari sang istri. 

“Anda menyelinap. Itu tindakan ilegal. Apakah Anda tahu?” seorang Jaksa memulai pertunjukan dongeng yang biasa ditontonnya di layar televisi.

Bahir menjawab tanpa saksi dan pengacara mahal. “Saya tak punya pilihan lain. Tak ada uang lebih, tapi saya harus cari nafkah.” Setelan usang yang belum diganti sejak tangannya diborgol telah menampilkan kemiskinannya.

“Siapa yang membantu Anda?” 

“Tidak ada.”

“Anda yakin?” Terdakwa mengangguk. “Tindakan itu berbahaya. Kalau terjadi kecelakaan, kami tidak bisa menemukan identitas Anda.” Semua omelan sudah ditelannya. 

“Saudara terdakwa, sampaikan sesuatu sebelum saya memutuskan,” kini hakim memulai sandiwara. Sayangnya, Bahir tak berminat, dia diam. Hakim bernapas kasar, “Setelah mempertimbangkan semua aspek, pengadilan memutuskan: terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman penjara dua tahun!” dok dok dok. Hakim mengetuk palunya cepat karena Bahir benar-benar tak membela diri. Saat mendengar hukuman pun tatapan miliknya datar. Kepalanya lebih berisik daripada ruang sidang. Bakauheni dan Merak yang selalu membuat jantungnya berdebar, kini tak ada lagi wujudnya. 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here