Saya selalu merasa beruntung lahir dan tumbuh di desa. Bukan karena udaranya yang sejuk atau pemandangannya yang indah, tapi karena dari kehidupan sederhana di sana. Saya belajar banyak hal tentang makna hidup. Salah satunya datang dari benda yang mungkin dianggap sepele. Sebuah kendi tanah liat.

Di rumah masa kecil saya, tak pernah ada kulkas. Entah karena listriknya tidak kuat atau karena orang tua saya memang belum mampu membeli. Jadi, untuk menikmati air dingin, kami minum dari kendi. Airnya terasa sejuk, segar, bahkan di siang bolong pun seperti minum es.

Awalnya, kendi cuma saya anggap alat untuk menampung air. Tapi lama-lama, saya sadar,  kendi itu ternyata menyimpan filosofi hidup yang dalam. Dari bentuknya yang sederhana dan kadang jelek, ternyata banyak pelajaran bisa kita petik.

Kendi itu tidak bisa mengeluarkan air kalau tak pernah diisi. Dan air yang keluar pun tergantung dari apa yang kamu masukkan. Masukkan air putih, keluarnya air putih. Masukkan sirup, ya keluarnya sirup. Logis, kan?

- Poster Iklan -

Dari situ saya belajar, hidup ini soal proses mengisi diri. Kalau Anda mengisi diri dengan hal-hal baik, yang keluar juga kebaikan. Tapi kalau yang masuk cuma hal-hal negatif, jangan heran kalau yang keluar juga racun.

Begitu juga dengan menulis. Coba bayangkan otak Anda seperti kendi. Kalau Anda ingin bisa menulis tentang feminisme, tapi bacaanmu cuma gosip seleb, ya hasilnya akan tetap seputar gosip. Tulisan yang baik cuma bisa lahir dari pikiran yang terisi baik.

Artinya, kualitas tulisanmu tergantung dari “air” apa yang kamu masukkan ke otak, bukan? Membaca adalah cara utama mengisi kendi itu. Tapi sekadar membaca belum cukup. Anda juga harus sering mengasah kemampuan menulis. Sama seperti pisau yang harus terus diasah biar tetap tajam.

Membaca memberi isi, menulis memberi bentuk. Dua-duanya harus jalan bareng. Karena sehebat apa pun pisau, kalau tumpul tetap tak berguna. Begitu juga sebaliknya. Kalau Anda jago menulis tapi tidak punya bahan bacaan, hasilnya akan kosong.

Tapi gimana kalau sudah sering membaca, punya semangat tinggi, tapi tetap belum bisa menulis? Tenang. Jangan panik. Terus saja membaca. Lama-lama, isi di kepala akan “penuh”. Dan seperti kendi yang kepenuhan air, isinya pasti tumpah juga. Entah lewat tulisan atau obrolan. Dari situlah kemampuan menulis pelan-pelan muncul.

Bacaan itu tidak selalu harus buku tebal. Pengalaman hidup, pengamatan, atau cerita orang lain juga bisa jadi bahan isi kendi kita. Misalnya Anda pernah melihat dinamika kehidupan mahasiswa, pergaulan, atau konflik sosial. Suatu saat, ketika Anda menulis tentang itu, pengalaman tadi akan muncul dengan sendirinya. Mengapa? Karena Anda sudah “mengisinya” jauh-jauh hari.

Nah, masalahnya, tidak semua “air” yang kita masukkan itu bersih. Kadang justru yang masuk adalah “air comberan”. Ibaratnya, informasi yang kotor dan tidak berguna. Kalau isi kendi kamu cuma gosip, berita hoaks, atau tontonan yang bikin tumpul pikiran, jangan berharap airnya bisa jernih.

Kalau sudah begitu, satu-satunya cara adalah menguras kendi. Bersihkan isi kepala dari informasi sampah. Ganti dengan bacaan yang bermanfaat, pengetahuan yang menambah wawasan, dan pengalaman yang membangun. Memang butuh waktu. Sama seperti kendi berkerak, airnya tidak langsung jernih begitu dikuras. Tapi lama-lama, kalau terus Anda isi dengan air bersih, kerak itu akan hilang juga.

Begitu juga dengan otak kita. Kalau selama ini lebih sering disuguhi hal-hal negatif — berita kejahatan, konten sensasional, drama receh — maka hasil pemikiran kita juga akan serba dangkal. Tapi kalau Anda mulai isi dengan hal-hal bernilai, sedikit demi sedikit isi kepala akan berubah. Dan itu akan kelihatan dari cara Anda berpikir, berbicara, bahkan menulis.

Menulis itu proses kreatif, tapi juga proses moral. Karena setiap kata yang Anda tulis mencerminkan isi kepala. Kalau isinya bersih, tulisannya menenangkan. Tapi kalau yang di kepala kotor, tulisan Anda juga bisa menjerumuskan. Makanya, penting banget untuk jaga “air” yang kamu masukkan.

Mungkin sekarang Anda belum merasa butuh menulis. Tapi mengisi diri dengan hal-hal baik tetap penting. Karena siapa tahu suatu hari nanti Anda ingin berbagi lewat tulisan, atau setidaknya lewat perkataan. Dan ketika saat itu tiba, Anda akan berterima kasih pada diri sendiri yang dulu mau belajar menjaga “air kendi” tetap jernih.

Hidup ini sesederhana kendi tanah liat. Apa yang Anda isi, itu yang akan dikelarkan. Kalau Anda ingin menghasilkan hal baik —  entah tulisan, ucapan, atau tindakan — maka isi dulu diri sendiri dengan hal-hal baik. Bersihkan isi kepala dari “air comberan”, isi dengan “air bening” berupa pengetahuan dan pengalaman berharga. Karena pada akhirnya, kualitas hidupmu sangat bergantung pada seberapa jernih kendi yang kamu bawa dalam dirimu.

Itulah yang dinamakan teori kendi. Teori yang dicetuskan oleh kehidupan, bukan oleh tokoh terkemuka. Jelek bentuknya tetapi menyimpan makna hidup yang sangat tinggi.  Menulis bisa dengan memprektikkan teori kendi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here