Hidup di negeri ini, gengsi sering kali lebih mahal daripada kenyataan. Kita tahu, pola ini menjadi keharusan bagi manusia, terlebih saat kita melihat bagaimana pejabat publik sekarang yang hidupnya lebih megah namun mengesampingkan kewenangannya: memamerkan kemewahan, serta membangun citra mulia. Mirip dengan mentalitas kalangan priyayi atau bangsawan di masa kolonial. Iya, masa dahulu kala hampir satu abad yang lalu. Meski negara modern sudah berdiri, struktur kekuasaan dirombak, dan pejabat publik kini bukan lagi pewaris darah biru, melainkan hasil rekrutmen politik dan pemilihan rakyat, mentalitas pada masa kolonial seperti itu nyatanya tidak tergerus zaman.
Jika dulu bangsawan memandang dirinya lebih tinggi ketimbang rakyat biasa, sekarang banyak pejabat pula yang masih menikmati perlakuan istimewa, meminta dihormati bukan karena kerja nyata, melainkan karena jabatan pada papan nama mereka. Potret seperti ini telah terlebih dahulu lahir dalam roman psikologi Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sutan Iskandar. Terbit pertama kali pada tahun 1935, buku ini menjadi kritik terhadap bangsawan Sunda yang terlalu bangga akan statusnya, gengsi, dan tak mau bekerja keras, hingga akhirnya jatuh.
Kelas Sosial dan Gengsi Bangsawan Sunda
Melihat fenomena ini, rasanya kelas sosial itu bukan hanya soal isi dompet, melainkan soal cara orang berpura-pura agar tak kelihatan miskin di depan khalayak. Nah, itulah kehidupan yang persis dijalani oleh Suria, tokoh utama dalam roman ini yang dikisahkan punya jabatan Menteri Gubermen di kota Sumedang.
Sedari lahir hidup bergelimang harta, tentu hal itu yang membentuk mentalitasnya yang tinggi hati. Sebelum menjabat sebagai Menteri Gubermen, Suria menikahi Zubaedah yang merupakan anak tunggal dari sahabat karib ayahnya yang sama-sama seorang kaya raya, pernikahannya bukan di dasari karena cinta, melainkan karena koneksi dan status.
Kisah tragis Suria di mulai saat ayahnya meninggal, lalu ia mendapatkan warisan yang besar. Momen ini menjadi titik balik, semacam awal dari jalan licin yang ia pilih sendiri. Alih-alih di kelola dengan bijak, harta itu dihamburkan untuk membiayai gaya hidup mewah dan menjaga gengsi di mata sekitar. Hal itu mengantarkannya pada konflik, bahwa status sosial yang tak ditopang kemampuan finansial hanya menjadi bom waktu. Sebab, gaya hidup yang dipaksakan sering kali menjadi pintu awal dari keruntuhan. Sejarah selalu saja mengulang diri, Suria memang hanya satu figur fiksi dari 1935, tetapi ‘Suria-Suria’ lain lahir terus di berbagai era. Di masyarakat yang masih mengagungkan gengsi lebih dari kejujuran, dan menilai keberhasilan dari kemewahan bukan kontribusi.
Cerminan Pahit Jika Tanggung Jawab dan Moralitas Hilang
Masalah yang menjerat Suria sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekadar gaya hidup yang hedon. Akar persoalannya ada pada kegagalannya memahami dan memikul tanggung jawab, baik sebagai suami, ayah, bangsawan, maupun pejabat. Setelah seluruh harta warisannya habis untuk memenuhi ambisi dan gengsi, ia kembali kepada Zubaedah yang sebelumnya ia tinggalkan dan sempat hidup menjanda sambil mengurus anaknya sendirian selama tiga tahun.
Bersamaan dengan kesempatan kedua yang menjadi harapan baru Zubaedah, Suria mulai menjabat sebagai Menteri Gubermen. Terkadang memang ada saja orang yang tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua, Suria contohnya: gaji yang ia dapatkan tak pernah sampai ke rumah, pendidikan anaknya bahkan tak pernah di bayarkan, hingga Zubaedah yang terpaksa terlilit hutang demi kebutuhan dapur.
Moralitasnya yang telah hilang itu mengantarkan pada konflik rumah tangga yang akhirnya meledak. Namun orang nyatanya tidak mudah belajar dari kesalahan, karena malu reputasinya di kantor tidak sebanding dengan kenyataan di rumah, Suria melakukan penggelapan uang. Jalan pintas yang bukan sekadar salah langkah, melainkan sudah mengakar menjadi gejala sosial. Mau itu pejabat tinggi, atau orang yang punya kedudukan kecil-kecilan, selalu tergoda dalam kesuksesan semu, meski dengan sumber yang busuk.
Kesalahan Suria tidak berhenti pada dirinya sendiri, dampaknya menjalar ke seluruh keluarganya. Anaknya yang harus tumbuh dalam ketidakstabilan, Zubaedah yang berakhir meninggal dalam kesedihan, dan nama keluarga yang rusak di mata masyarakat. Melalui kisah ini, betapa kita belajar, bahwa moralitas adalah fondasi hidup sosial dan keluarga. Pun dari kisah Suria yang menjadi cermin pahit, bahwa integritas dan tanggung jawab yang hilang dapat meruntuhkan bukan hanya satu kehidupan, melainkan satu generasi.
Kejatuhan Mental
Memang pantas saja buku ini memperkenalkan diri sebagai roman psikologi, melihat bagaimana kisahnya menyorot kedalaman batin manusia di balik rangkaian peristiwanya. Kita dibuat menyaksikan Suria, selapis demi selapis kehilangan hal-hal yang selama ini menopang hidupnya: harta, jabatan, keluarga, bahkan harga diri. Bukan semata kehilangan dalam arti material, namun juga hilangnya ‘definisi diri’. Selama hidup, Suria didefinisikan oleh status: oleh bagaimana orang memandangnya, oleh hormat yang ia terima, oleh gengsi yang ia rawat. Begitu semuanya hilang, ia seolah tak tahu lagi siapa dirinya, kehilangan pijakan, serta tak punya daya untuk bangkit.
Pada akhirnya tekanan sosial yang menjadi hukuman, rasa malu yang menggerogoti, rasa bersalah yang tak tertanggung, semuanya terkumpul menjadi guncangan batin yang menelan kewarasannya. Bagi pembaca modern, kita belajar, bahwa ternyata di masa dulu ketika isu kesehatan mental belum jadi percakapan publik, Nur Sutan Iskandar telah memperlihatkan secara gamblang bagaimana konstruksi sosial bisa menghancurkan stabilitas batin seseorang.
Kita semua tahu, seekor katak tak akan pernah bisa jadi lembu. Jika memaksa, itu hanya akan membahayakan dirinya sendiri, sebab tubuhnya tak di rancang untuk itu. Sama halnya dengan Suria, sama halnya dengan kalangan yang berkedudukan, sama pula dengan banyak orang hari ini.
Berawal sebagai bentuk kritikan untuk bangsawan Sunda, meski feodalisme sudah lewat, kolonialisme sudah berakhir, tapi budaya feodal itu sendiri masih eksis di sekitar kita. Saya yakin itu bukanlah sifat dasar manusia. Itu lebih mirip penyakit yang diwariskan, terus dipelihara karena rasa takut kehilangan hormat dan takut dianggap ‘turun derajat’. Dan seperti Suria, banyak yang tidak atau belum sadar, bahwa menjaga kehormatan yang rapuh tanpa di dasari moralitas hanya akan mempercepat kehancuran itu sendiri.
Identitas Buku
Judul: Katak Hendak Jadi Lembu
Penulis: Nur St. Iskandar
Penerbit: Balai Pustaka
ISBN:9789796907960
Tebal: 224 hlm