Baru-baru ini kasus bullying menjadi perhatian publik. Kematian Timothi Anugerah, mahasiswa Universitas Udayana, diduga karena mengalami perundungan dari teman-temannya. Kasus dokter mahasiswa PPDS yang viral bunuh diri, juga diduga kuat karena tidak tahan dengan aksi bullying yang dilakukan oleh para seniornya. Tak hanya menimpa remaja dewasa, anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar juga tak luput dari tindakan perundungan. Tewasnya TA, siswa SDN Wonosobo beberapa waktu lalu, dan siswa MH siswa SMP di Tangerang Selatan, makin memperpanjang daftar buruk kasus bullying yang dialami oleh para siswa.

Setiap kali muncul video aksi bullying yang sengaja direkam dan dishare di sosial media, anak dipukul temannya, diejek atau sengaja dijambak rambutnya, dan pelakunya masih di bawah umur, kita seperti diingatkan bahwa dunia anak-anak hari ini jauh lebih keras dari masa kecil kita. Komentar netizen pun rata-rata sama, “Gurunya kemana? Kok gak tau? Di sekolah belajar apa sih?”, “Orangtuanya kemana? Ngapain aja?”. Bullying bukan semata-mata tanggung jawab sekolah. Memang betul, sekolah memiliki peran yang krusial dalam pencegahan bullying. Beberapa sekolah dan kampus telah membentuk tim TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan). Namun upaya itu sepertinya belum optimal. Di balik semua keresahan menyaksikan video aksi bullying di sosmed yang tersebar luas, sesungguhnya ada satu pertanyaan yang seharusnya tidak dilewatkan. “Apa sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pihak keluarga untuk mencegah aksi perundungan ini? Apakah orang tua bisa memiliki peran signifikan dalam mencegah anak agar tidak menjadi pelaku sekaligus korban bullying?”. Jawabannya kembali pada satu hal yang sering sekali kita remehkan, sederhana tapi memiliki kontribusi penting dalam kehidupan : komunikasi keluarga.

 

Mengapa Bullying Mudah Terjadi di Era Sekarang?

Anak-anak kita hidup di dua dunia saat ini, dunia nyata dan dunia digital. Di sekolah, mereka berteman fenomena nyata, menghadapi kompetisi dan pergaulan yang kompleks. Saat berinteraksi dengan sosmed atau game online, mereka terpapar banyak konten terkait kekerasan, konten menertawakan orang lain atau trend mengejek fisik seseorang yang dinormalisasi sebagai “hiburan”.Semua terpaan itu membentuk internalisasi pada anak tentang bagaimana mereka memahami kekerasan, emosi dan konflik. Bukan berarti anak-anak kita lebih kejam. Sama sekali bukan. Namun lingkungan komunikasi lengkap dengan exposure atau terpaan yang mereka dapat terlalu bising, sehingga mudah sekali bagi anak meniru perilaku normalisasi kekerasan, konflik dan emosi itu tanpa sempat mencerna nilai-nilai di baliknya. Terlebih ketika orang tua di rumah abai terhadap interaksi digital dan menyerahkan pengasuhan anak pada gadget tanpa melakukan kontrol karena rendahnya literasi digital orang tua, maka lengkap sudah. Rumah dan orang tua yang harusnya menjadi  tempat pertama untuk mencerna nilai-nilai itu, kehilangan fungsinya.

- Poster Iklan -

 

Komunikasi Keluarga: Pondasi Penting untuk Membangun Empati dan Moral Anak

Dalam teori pola komunikasi keluarga, Fitzpatrick menjelaskan ada dua hal yang mempengaruhi cara anak berinteraksi. Yang pertama adalah orientasi percakapan (conversation orientation), berkaitan dengan keluarga yang terbiasa berdiskusi, terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan anak dan membicarakan segala hal dengan anak. Kedua adalah orientasi kepatuhan (conformity orientation) berkaitan dengan nilai-nilai apa yang dipatuhi keluarga dalam interaksi sehingga hal ini akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan atau kepatuhan pada aturan.

Penelitian Fitzpatrick menunjukkan bahwa anak-anak yang berada pada keluarga yang memiliki orientasi percakapan tinggi dan kepatuhan pada nilai-nilai yang dianut tinggi lebih pandai mengatur emosi dan cenderung tidak melakukan bullying.

Sebaliknya keluarga yang jarang berkomunikasi, namun otoriter terhadap aturan sering menciptakan anak-anak yang takut mengungkapkan perasaan. Anak yang tumbuh di keluarga seperti ini akan lahir sebagai dua sosok, pelaku sekaligus berpotensi menjadi korban. Menjadi pelaku, ketika ia melampiaskan emosi dan stresnya, berpotensi menjadi korban ketika anak tidak berani melapor ke orang tua ketika mengalami perundungan. Hal itu disebabkan karena lemahnya komunikasi dan kuatnya otorasi orang tua tanpa adanya kedekatan dan komunikasi yang cukup pada anak. Artinya, cara komunikasi orang tua, kedekatan, keterbukaan dalam menerapkan aturan mempengaruhi bagaimana anak bersikap pada dunia.

 

Tanda-Tanda Anak Berpotensi Menjadi Pelaku atau Korban

Tanda-Tanda ini bukan untuk memberikan label atau klaim bahwa anak-anak yang seperti ini pasti menjadi pelaku atau mungkin menjadi korban. Namun tanda-tanda ini akan membantu orang tua untuk mengidentifikasi potensi yang bisa terjadi sehingga orang tua menjadi lebih peka terhadap anak.

Anak yang memiliki potensi menjadi pelaku perundungan adalah anak yang terdeteksi sering mengejek teman atau merendahkan teman. Dia juga cenderung untuk mudah marah ketika keinginannya tidak terpenuhi. Anak juga cenderung untuk menganggap kekerasan sebagai hal yang lumrah, hal yang biasa atau lucu. Sedangkan anak yang berpotensi menjadi korban jika dia tiba-tiba suka menarik diri atau diam. Dia juga mendadak malas untuk pergi sekolah, ketakutan ketika membuka HP di depan orang tua, menghindar ketika diminta bercerita tentang kondisi di sekolah dan tampak kehilangan rasa kepercayaan diri.

Potensi akan kedua hal tersebut, bisa dicegah, dan bagaimana orang tua menerapkan orientasi komunikasi dan orientasi konformitasnya lah yang menjadi kunci utamanya.

 

Strategi Komunikasi Keluarga untuk Mencegah Anak Menjadi Pelaku atau Korban

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak agar tidak berpotensi menjadi pelaku atau korban perundungan. Hal pertama yang perlu dilakukan orang tua adalah mencoba untuk menjadikan obrolan harian sebagai rutinitas. Luangkan waktu sekira 10-15 menit tanpa intervensi gadget per hari untuk sekedar menanyakan, “Bagaimana sekolah hari ini, apakah menyenangkan”. “Apa hal menyenangkan yang dirasakan tadi di sekolah atau saat bermain dengan teman?”. Atau bisa juga bertanya, “Siapa teman yang paling sering paling sering kamu aja ngobrol?”. Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, anak akan merasa didengar dan tidak perlu menggunakan kekuasaan untuk menjadi pelaku perundungan.

Anak juga perlu diajari bagaimana bahasa emosi dan mengenali emosi sejak dini. Ketika anak marah, tantrum, membanting barang, orang tua perlu membantu menjelaskan rasa yang dialami anak sejak usia dini. Ajari anak agar bisa menamai perasaannya. Misal, “Aku sedih jika diejek”, “Aku marah jika tidak diperhatikan,” dan sebagainya. Dengan mengenali perasaan yang dirasakan, anak akan lebih mudah mengidentifikasi perubahan emosi yang dialami.

Cara ketiga adalah validasi perasaan anak dan jangan meremehkannya. Alih-alih mengatakan, “Kamu cowok loh, ah gitu aja nangis” lebih baik baik orang tua belajar untuk memvalidasi perasaan yang dialami anak. “Oh itu pasti bikin kamu tidak nyaman ya, sini ibu temani untuk bercerita,”.

Hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah belajarlah tentang bagaimana kemampuan meningkatkan literasi digital dengan lebih baik. Dalam Parental Mediation Theory yang disampaikan oleh Valkenburg, dalam mengkonsumsi konten digital, orang tua harus memiliki peran yang signifikan. Orang tua bukanpah polisi konten, melainkan partner anak untuk melakukan refleksi terhadap tayangan. Orang tua bisa menonton tayangan bersama dengan anak, tanyakan apa apa yang terjadi dalam konten digital tersebut dan berdiskusi terkait nilai dan dampak yang mungkin bisa ditimbulkan dalam konten digital tersebut. Dengan demikian anak akan terbiasa terlibat dan mampu menginternalisasi nilai-nilai baik seiring dengan dampingan intensif dari orang tua.

 

Rumah adalah Ruang Aman Pertama Anak

Pada intinya, bullying bukanlah dominasi persoalan sekolah. Orang tua dan rumah adalah ruang aman pertama anak yang akan membangun komunikasi dan akan mengajari anak bagaimana berinteraksi. Di dunia yang makin bising dengan exposure terpaan informasi ini, anak membutuhkan tempat aman dan nyaman untuk pulang dari kegaduhan terpaan yang ia rasakan. Orang tua dan rumah adalah “tempat pulang” terbaik bagi tanya di benak anak. Dan komunikasi keluarga yang efektif yang akan membuatnya merasa aman untuk pulang.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here