Dalam beberapa pekan terakhir, kebijakan pemerintah Kabupaten Pati menjadi sorotan tajam publik. Bupati Pati dikritik setelah menetapkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Kebijakan yang disebut-sebut sebagai bagian dari optimalisasi pendapatan daerah ini justru menuai gelombang protes dari masyarakat, khususnya petani dan pelaku usaha kecil.

Kenaikan PBB hingga tiga kali lipat ini dianggap sangat membebani warga, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi dan mahalnya harga kebutuhan pokok. Tak sedikit warga yang akhirnya mempertanyakan: “Apakah benar kenaikan pajak ini akan meningkatkan kesejahteraan, atau justru memperdalam jurang ketimpangan ekonomi?”

Naiknya Pajak, Turunnya Harapan

Kebijakan Bupati Pati naikkan PBB memang sah secara administratif. Namun, secara sosiologis dan psikologis, hal ini menjadi beban tambahan yang signifikan bagi masyarakat. Petani, misalnya, yang selama ini mengeluhkan harga jual hasil tani yang rendah, kini harus memikirkan biaya tambahan untuk membayar pajak lahan yang mereka miliki.

Banyak warga desa menyampaikan keluhan karena nilai jual objek pajak (NJOP) yang tiba-tiba melonjak, tanpa ada pemberitahuan dan sosialisasi yang cukup. Bahkan ada yang mengaku tagihan PBB mereka naik dari ratusan ribu menjadi jutaan rupiah dalam setahun.

- Poster Iklan -

Mengapa PBB Naik 250 Persen?

Menurut pemerintah daerah, kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dana tersebut, katanya, akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik lainnya.

Namun, kritik muncul karena tidak ada transparansi penggunaan anggaran sebelumnya. Warga mempertanyakan apakah dana yang selama ini dikumpulkan melalui pajak sudah digunakan secara efisien dan tepat sasaran.

Banyak pihak juga menilai bahwa menaikkan PBB secara drastis tanpa tahapan dan kajian sosial yang matang adalah kebijakan yang tergesa-gesa dan elitis.

Pajak Tak Harus Menyiksa

Pajak pada dasarnya adalah kewajiban warga negara. Tapi dalam negara demokratis, pajak tidak bisa diberlakukan secara sepihak. Harus ada prinsip keadilan, partisipasi masyarakat, dan transparansi dalam perencanaan serta pelaksanaannya.

Pajak idealnya berbanding lurus dengan pelayanan publik. Namun di banyak tempat, termasuk di Pati, kenaikan pajak belum tentu diikuti dengan perbaikan layanan publik. Warga tetap mengeluh soal jalan rusak, layanan kesehatan terbatas, dan pendidikan yang mahal.

Kesejahteraan tak bisa diukur hanya dari angka-angka penerimaan daerah. Ia harus dirasakan nyata oleh warga. Dan ketika pajak naik tapi kehidupan makin berat, tentu ada yang salah dalam tata kelola kebijakan.

Suara Rakyat Jangan Diabaikan

Gelombang protes atas kenaikan PBB di Pati menunjukkan bahwa rakyat mulai kritis dan sadar hak. Mereka tidak menolak membayar pajak, tapi mereka menuntut keadilan dan kepatutan. Pemerintah daerah seharusnya merespons aspirasi ini dengan bijak, bukan justru mengabaikan atau mengintimidasi.

Solusi terbaik tentu bukan hanya mendongkrak pendapatan daerah lewat pajak, tetapi melalui reformasi anggaran, efisiensi belanja publik, dan pemberantasan kebocoran anggaran.

Kebijakan Bupati Pati naikkan PBB hingga 250 persen menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kewajiban warga dan tanggung jawab pemerintah. Jika tidak ada transparansi, akuntabilitas, dan kepekaan sosial, maka kebijakan semacam ini hanya akan menambah kesenjangan dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Karena pada akhirnya, pajak bukan hanya angka, tapi soal rasa keadilan.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here