Tanpa terjemahan aku terkungkung di rumahku. Penerjemah adalah sekutu terbaikku. Ia memperkenalkan dunia padaku (Italo Calvino).
Perkenalan pertama saya dengan karya-karya terjemahan adalah serial lima sekawan Enid Blyton, yang diterjemahkan oleh Agus Setiadi.
Di era digital, dunia sastra anak-anak tidak lagi disekati oleh batas-batas negara. Kementerian Pendidikan) RI telah membuat langkah signifikan dalam membuat karya sastra dapat diakses secara mudah melalui platform daring, Penerjemahan dalam Jaringan (Penjaring). Tersedia buku-buku terjemahan dari berbagai negara, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan diakses secara bebas oleh pembaca sekolah dasar dan remaja. Buku-buku ini menawarkan perspektif baru dan pengalaman membaca yang berbeda, yang tidak saja memperkaya, tapi terkadang lebih menantang dari sisi kompleksitas tema yang diusung.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas teori penerjemahan, melainkan lebih menyoroti hasil penelaahan terhadap isi buku-buku anak dan remaja terjemahan yang tersedia di situs Penjaring. Situs ini menarik untuk dibahas karena cerita-cerita di dalamnya menampilkan seri social studies connects, yang memuat kisah-kisah tentang pemecahan misteri, tindakan peduli lingkungan sekitar, kontribusi di sekolah atau komunitas, serta memperlihatkan bagaimana anak-anak tokoh utama berperan aktif dalam kehidupan, tempat mereka tinggal. Selain itu, buku-buku cerita anak bergambar dwibahasa (Bahasa daerah dan Bahasa Indonesia), dari berbagai provinsi di Indonesia, dapat dibaca tanpa biaya. Judul buku-buku itu bahkan menampilkan kosa kata Bahasa daerah yang sama sekali asing, tak akrab di telinga.
Fokus pembahasan diarahkan pada konten cerita yang diangkat dalam buku-buku tersebut, bukan pada aspek teoritis penerjemahan. Cerita-cerita tersebut memperlihatkan nilai-nilai seperti kepedulian sosial, kerja sama, dan peran anak-anak dalam membentuk lingkungan mereka, sehingga memberikan tidak saja inspirasi, pembelajaran yang relevan bagi pembaca muda, namun juga menyediakan lumbung kosa kata baru serta pengalaman, yang bahkan sering tak terpikirkan sebelumnya oleh pembaca.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbudristek (sebelum bersalin nama menjadi Kemdikdasmen) saat memperingati Hari Keluarga Nasional 2024 meluncurkan platform bernama Penjaring. Platform ini merupakan layanan penerjemahan daring yang bertujuan memperluas akses literasi anak-anak melalui berbagai bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing.
Salah satu prioritas utama Badan Bahasa adalah meningkatkan literasi dengan menyediakan buku cerita anak berkualitas yang diterjemahkan dari dan ke berbagai bahasa. Seluruh koleksi buku ini dapat diakses gratis oleh masyarakat, sehingga mendukung pengembangan literasi anak dalam bahasa nasional dan bahasa ibu, serta memperkaya materi pembelajaran di sekolah.
Saat ini, platform ini telah menyimpan 3.271 bacaan anak hasil terjemahan dari 134 bahasa (daerah dan asing). Kolaborasi dengan UNESCO dan platform seperti Let’s Read Asia serta Storyweaver memperkaya koleksi buku. Platform ini dapat diakses melalui https://penerjemahan.kemdikbud.go.id/.
Menyebut buku cerita terjemahan, sebagai generasi X, serial novel Lima sekawan alias Famous Five, tak mungkin terlupakan. Karya Enid Blyton itu awalnya terbit di Inggris pada 1942, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Agus Setiadi dan menjadi bacaan “wajib’ generasi yang sekolah tahun 80-an. Kastil pulau Kirrin, mata George yang sebiru laut, kastil, limun jahe, dan kue lapis (yang awalnya saya pikir semacam, kue lapis legit atau lapis Surabaya, tapi ternyata sandwich! roti tawar bertumpuk dengan sayur dan daging di tengahnya), adalah kosa kata dan frasa yang tersimpan lekat dalam ingatan.
Jika di tahun 80-an akses bacaan berbahasa daerah, hanya bisa saya peroleh dalam Bahasa daerah (baca: Jawa), seperti Jaka Lodhang dan Jayabaya, maka jagad maya kini memungkinkan anak-anak sekolah dan saya berselancar ke laman Penjaring, lalu menikmati cerita anak dwibahasa dalam berbagai macam bahasa daerah, yang disediakan oleh kantor/balai Bahasa di seluruh Indonesia yang tiap tahun rutin gelar sayembara penulisan cerita anak dwibahasa (Bahasa daerah-Bahasa Indonesia), sejak 2022.
Boyondi, Menyiasati Padi
Buku anak-anak yang diterjemahkan dari bahasa asal ke bahasa sasaran membuka pintu ke dunia, budaya, dan cara berpikir baru. Ketika seorang anak Melayu atau Jawa membaca cerita yang awalnya ditulis dalam bahasa Sunda, Bali, atau Inggris sekalipun, mereka tidak hanya belajar tentang tempat lain, bagaimana orang lain seusianya bertutur, mengenal lingkungan yang sama sekali baru, mereka mengalami petualangan anak lain.
Anak yang hidup ribuan kilometer dari rumahnya, berasal tempat yang mungkin pernah dibaca namanya tapi belum pernah dikenalinya. Buku-buku terjemahan yang baik mempertahankan cita rasa budaya asal sekaligus dapat diakses oleh pembaca Indonesia. Dualitas ini yang membuat buku-buku terjemahan menarik.
Penelitian mendukung gagasan bahwa teks sastra yang diterjemahkan meningkatkan empati dan pemahaman budaya (Nikolajeva, 2014 dan O’Sullivan, 2013). Anak-anak yang membaca cerita dari budaya lain mengembangkan pandangan dunia yang lebih luas dan lebih siap untuk menavigasi dunia yang kian terkoneksi.
Di Indonesia, keragaman bahasa daerah adalah kekuatan dan tantangan, eksposur kelokalan yang berwarna, sangat berharga bagi anak-anak pembaca. Membaca yang “liyan” dari halaman ke halaman memperkenalkan anak-anak pada konsep dan dunia yang berbeda, memperluas kosakata, keragaman linguistik, dan bersentuhan dengan problematika yang tak mereka dapati di lingkungan tempat mereka tinggal.
Mari kita mulai dengan buku cerita Boyondi.
Bagaimana sepiring bubur menyimpan citarasa kecendekiaan masyarakat Buol untuk bertahan hidup? Buku Boyondi yang ditulis Kasmir Syamsudin Male dan diilustrasi Dea Wulandari Dewantara. Boyondi adalah bukti artefak kuliner lokal berkorelasi kuat dengan karakter wilayah masyarakat pengonsumsinya.
Melalui perspektif Po’u, seorang anak dari Buol, pembaca tidak saja diajak untuk menjelajahi bahan-bahan boyondi, bubur tradisional yang memadukan nasi, santan, dan labu, namun juga menyesap rasa bumbu kisah masa lalu nenek moyang Buol menyiasati kelangkaan padi, sebagai makanan pokok. Boyondi diciptakan sebagai respon terhadap kelangkaan padi ladang di Sulawesi Tengah, yang dulu sulit didapat dan panen seringkali sedikit, terutama saat musim kemarau.
Solusi komunitas Buol melengkapi beras dengan sayuran yang tersedia secara melimpah seperti labu, menjadi petunjuk bagaimana orang lain menyintasi kondisi kelangkaan pangan. Pengalaman liyan hadir dalam bentuk pengetahuan, yang menawarkan pemahaman bahwa makanan tradisional kerap muncul dari kebutuhan dan kecerdikan. Ini melampaui perkara sekedar menyantap dan mengenalkan makanan lokal.
Tara Membayar Lunas
Judul buku ini menggelitik perhatian, ketika mengikuti Kongres Bahasa Indonesia XII di Jakarta, 25-28 Oktober 2023 lalu. Buku ini tersedia di sebuah booth dan boleh dimiliki secara gratis oleh peserta dan pemakalah Kongres. Tara Membayar Lunas dilabeli sebagai buku cerita tentang kewarganegaraan, secara spesifik berkisah tentang bagaimana memahami layanan pemerintah. Buku-buku yang relatif sulit ditulis, sebab ada pesan kesadaran membayar pajak.
Buku yang ditulis Kirsten Larsen dan Paige Billin-Frye, diterbitkan pertama kali oleh Astra Publishing House tahun 2006. Hak cipta terjemahan diluncurkan oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada 2022. Tertulis di sampul belakang, grades 1-3 Ages 6-8. Artinya, buku ini direkomendasikan untuk dibaca murid SD kelas rendah, 1-3 dengan rentang usia 6-8 tahun.
Adalah Jo, kakak perempuan Tara, menanggung biaya pajak atas pembelian peralatan membuat kaus yang dibeli Tara dengan uang tabungan sendiri. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi: setiap kali Tara menggunakan peralatan yang pajaknya sudah dibayarkan oleh Jo, ia harus memberikan 10 sen kepada Jo. Dengan kata lain, Jo membantu Tara dengan membayar pajak, sebagai gantinya, Tara perlu membayar sejumlah uang setiap kali memanfaatkan peralatan tersebut. Skema ini membuat Tara tetap bisa menggunakan peralatan impiannya, sembari belajar tentang tanggung jawab dan konsekuensi dari bantuan yang diterimanya.
Pajak dibayarkan warga untuk kembali dalam bentuk kemudahan warga menjalani kehidupan sehari-hari. Tara akhirnya belajar kalau masyarakat tak bayar pajak, mereka tak akan punya bus kota, bus sekolah, air bersih, pengadaan lampu lalu lintas, dan taman kota. Perdebatan antara Tara dan Jo, kakaknya yang berlangsung alot justru menjadi kekuatan cerita. Perbedaan pendapat secara tajam tak sering muncul dalam buku-buku cerita anak bergambar kita.
Melalui cerita yang diadaptasi dari latar budaya beragam, anak-anak tidak hanya mendapatkan hiburan, tetapi juga pengetahuan baru tentang tradisi, nilai, dan cara menyikapi kesenjangan pemahaman kebijakan. Buku-buku terjemahan ini bertindak sebagai konektor yang menghubungkan anak-anak dengan dunia di luar dunianya. Kehadiran terjemahan dari bahasa daerah membantu menjaga dan memperkenalkan warisan budaya kepada pembaca muda, sehingga identitas nasional diupayakan terus terjaga.
Muncul pertanyaan kritis yang perlu dijawab melalui kajian lanjutan. Apakah karya-karya terjemahan ini benar-benar diapresiasi oleh anak-anak di berbagai daerah? Bagaimana suara pembaca muda menanggapi tema keragaman budaya dan kenegaraan yang diangkat dalam cerita?
Apakah paparan karya terjemahan mendorong anak-anak untuk selalu mempertanyakan ulang, memahami perbedaan, membangun identitas nasional yang kuat, dan memastikan mereka berkesadaran mengawal produk layanan yang dihasilkan pemerintah secara independen tanpa rasa takut?
Jangan-jangan, membaca saja enggan, sebab yang sudah ditulis bisa dihapus oleh tekanan otoritas, kapan saja.