Medio 2025, sebuah video dokumenter yang dirilis seorang youtuber asal Australia, Andrew Fraser, menjadi perbincangan hangat di linimasa. Video bertajuk Indonesia’s Toxic Tofu Time Bomb: Poisoning Millions Daily tersebut membeberkan fakta yang mencengangkan: sebuah pabrik tahu di Jawa Timur menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar mengolah tahu. Yang membuat miris, bahan bakar sampah itu bukanlah sampah lokal yang dihasilkan di negeri sendiri, namun sampah impor yang dilimpahkan negara lain ke Indonesia. Dengan alasan demi menekan biaya produksi, kayu bakar tak lagi digunakan, dan gantinya adalah sampah plastik. Saya menghela napas dengan perasaan campur-aduk. Tahu yang merupakan lauk murah meriah dengan kandungan protein nabati dan dijadikan camilan yang banyak dijajakan di mana-mana, kini harus terkontaminasi zat berbahaya.
Kabar buruknya lagi, setelah dilakukan penelitian, sampel telur ayam di sekitaran pabrik tahu ternyata ikut-ikutan tercemar dioksin—senyawa beracun yang dihasilkan akibat pembakaran plastik. Lebih mengejutkan lagi, kandungan dioksin yang terdeteksi dalam telur-telur tersebut tertinggi kedua yang pernah tercatat di Asia. Dioksin diklaim sebagai racun abadi yang tak bisa terurai oleh lingkungan. Paparannya mengakibatkan sejumlah masalah kesehatan seperti kanker, gangguan hormonal, dan serenteng daftar penyakit serius lainnya. Sudah seharusnya kita bergidik ngeri, bahkan setelah dibakar pun plastik itu tidak hilang, ia hanya berubah menjadi racun dan bercampur dengan udara.
Rasanya, saya tak sanggup membayangkan jika tahu-tahu itu kemudian diedarkan para pedagang, lalu terhidang di meja makan banyak orang. Saya tak sanggup membayangkan jika sepiring rujak cingur yang lezat itu harus diisi dengan irisan tahu dan telur rebus yang telah tercemar dioksin. Namun, saya mengerti, para pelaku bisnis tahu dan masyarakat di sana hanya tak pernah akrab dengan kata dioksin—yang sama asingnya dengan kata pecel di telinga warga Zimbabwe.

















