“For not only must the black man be black; he must be black in relation to the white man.”, Frantz Fanon, Black Skin, White Masks
Ketika Frantz Fanon menulis Black Skin, White Masks pada tahun 1952, ia tengah menggali luka psikis kolonialisme: bagaimana kekuasaan tak hanya merampas tanah dan tubuh, tetapi juga mencengkeram cara manusia memandang dirinya sendiri. Fanon menunjukkan bahwa penjajahan paling dalam adalah penjajahan identitas, ketika seseorang harus menjadi dirinya di bawah sorotan orang lain, sorotan yang mendefinisikan, menilai, dan pada akhirnya mengendalikan.
Kini, lebih dari setengah abad setelah Fanon, sorotan itu tidak padam. Ia justru tumbuh, menyebar, dan bertransformasi. Bukan lagi dalam bentuk tatapan kolonialis kulit putih yang menundukkan kulit hitam, melainkan dalam bentuk likes, views, komentar, dan algoritma, tatapan digital tanpa wajah yang terus-menerus menilai, menyortir, dan mengarahkan siapa kita. Wajah yang dulu dijajah oleh sejarah, kini dijajah oleh sorotan permanen dari panggung digital. Dan kita, bukan hanya objek dari tatapan itu, tapi sekaligus aktor yang sukarela tampil.
Tatapan yang Menetapkan: Dari Kolonialisme ke Kapitalisme Digital
Fanon berbicara tentang identitas yang dibentuk dalam relasi kuasa kolonial: orang kulit hitam yang terus-menerus terdefinisi oleh cara pandang orang kulit putih. Identitas bukan sesuatu yang lahir dari dalam, melainkan respons terhadap pandangan luar yang terus menginterogasi. Seorang lelaki kulit hitam di Prancis bukan hanya “pria”, tetapi “pria kulit hitam”, selalu dalam oposisi terhadap “standar” putih. Fanon menyebut ini sebagai bentuk alienasi: terpisah dari diri sendiri karena harus melihat diri dengan mata orang lain.
Kini, dalam era media sosial, kita tak lagi berada dalam kerangka penjajahan rasial klasik. Tapi bentuk alienasi itu belum pergi. Ia berganti rupa menjadi kebutuhan untuk “terlihat”, untuk “diakui” oleh jaringan sosial yang tak pernah tidur. Kita tidak hanya menampilkan diri, tapi belajar untuk menyunting identitas kita berdasarkan umpan balik digital: like, komentar, share, atau bahkan diamnya algoritma yang tidak memberi kita eksposur.
Sherry Turkle, dalam bukunya The Second Self, menulis bahwa teknologi bukan lagi sekadar alat, melainkan “cermin yang berpikir”: tempat di mana manusia membentuk versi digital dari dirinya sendiri. Tapi “cermin” ini bukan netral. Ia memantulkan bukan siapa kita sebenarnya, melainkan siapa yang lebih bisa diklik. Identitas menjadi performa, bukan keberadaan. Kita menjadi kurator dari diri kita sendiri, seperti manajer merek pribadi yang setiap hari bertanya: “Postingan ini cukup menarik tidak? atau Aku terlihat cukup atau tidak?”
Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai bentuk psikopolitik digital, sebuah rejim kekuasaan di mana kontrol tidak lagi datang dari luar, tapi dari dalam. Kita tidak dipaksa untuk tampil, tapi ingin tampil. Kita tidak ditekan untuk menunjukkan performa, tapi menemukan makna dalam performa itu sendiri. “Kita adalah tahanan yang membangun selnya sendiri, dan senang tinggal di dalamnya.”
Identitas Sebagai Performa: Dari Gender ke Feed
Judith Butler, dalam Gender Trouble, memperkenalkan konsep identitas sebagai sesuatu yang performatif, yakni, dibentuk melalui pengulangan tindakan sosial. Seorang menjadi laki-laki atau perempuan bukan karena esensi biologis, tapi karena terus melakukan aksi, gesture, dan bahasa yang dikaitkan dengan identitas itu. Di era digital, performativitas itu diperluas ke segala aspek kehidupan.
Identitas digital adalah performa yang terus berlangsung. Kita mengunggah, menceritakan, memasang filter, mengarsipkan, menghapus, dan mengatur ulang, semuanya adalah bentuk performa. Bahkan diam pun bisa jadi strategi performa: misalnya dengan tidak memposting hal pribadi demi citra profesionalisme, atau sebaliknya, membagikan luka sebagai konten untuk membangun empati audiens.
Zygmunt Bauman menyebut dunia ini sebagai masyarakat cair, di mana semua hal, termasuk identitas, tidak lagi kokoh. Diri bukan lagi bangunan, melainkan pakaian. Bisa diganti, ditambal, disesuaikan. Hari ini kamu bisa menjadi spiritual, besok aktivis, lusa seleb humor. Semua tinggal dipilih dari katalog persona yang tersedia. Pertanyaannya: di tengah semua kemungkinan itu, masih adakah yang benar-benar “aku”?
Penjajahan Diri oleh Diri Sendiri
Fanon berjuang untuk membebaskan manusia dari struktur eksternal yang menundukkan martabatnya. Ia mengajak manusia untuk menantang pandangan dunia yang sudah diset dari luar. Tapi hari ini, yang menundukkan kita bukan hanya “yang lain”, melainkan versi diri kita sendiri, versi yang terus kita rawat agar bisa diterima, disukai, ditiru.
Media sosial bukan penjajah dalam bentuk klasik. Ia tidak menggunakan paksaan, senjata, atau hukum. Ia menggunakan permainan validasi, pengukuran sosial, dan ritme keterlibatan. Kita tahu bahwa kita bisa menghapus akun. Tapi kita tidak bisa dengan mudah menghapus dorongan untuk dilihat, diinginkan, dipertimbangkan, karena itu adalah kebutuhan dasar manusia. Media sosial memanfaatkan kebutuhan itu, lalu mengubahnya menjadi ekosistem ekonomi.
Maka pertanyaannya bukan hanya: Siapa aku di mata orang lain?
Tapi: Siapa aku tanpa penglihatan orang lain?
Dan pertanyaan yang lebih menakutkan: Jika tak ada yang melihatku, apakah aku masih ada?
Fanon menyatakan bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika seseorang bisa mendefinisikan dirinya sendiri, lepas dari penilaian kolonialis. Tapi di zaman ini, mungkin kemerdekaan sejati adalah ketika kita bisa hidup tanpa menjadikan “sorotan” sebagai nadi eksistensi.
Wajah yang Dikenali atau Dikenakan?
Kita tidak lagi memakai topeng putih, seperti kata Fanon. Kita memakai topeng digital, filter yang menyempurnakan kulit, mempertegas kontur wajah, menghilangkan kerutan. Tapi lebih dari itu, kita memakai topeng eksistensial: persona yang kita bentuk di media sosial untuk dikenali, untuk dianggap ada.
Topeng ini tidak dipaksakan kepada kita. Kita yang memilihnya. Kita yang merawatnya. Kita yang takut kehilangannya. Dan mungkin, seperti kata Turkle, suatu saat kita akan lebih mengenali versi diri kita yang tampil di layar ketimbang wajah kita sendiri di cermin.
Kita hidup di zaman di mana pertarungan identitas tak lagi terjadi antara si terjajah dan penjajah, melainkan antara diri yang tampil dan diri yang tersembunyi.
Dan mungkin, di antara itu semua, terselip pertanyaan paling sunyi dalam hidup manusia modern:
Siapa aku, kalau tak ada yang menonton?
Daftar Buku
- Fanon, Frantz.
Black Skin, White Masks. Grove Press, 2008.
Aslinya diterbitkan dalam bahasa Prancis tahun 1952. Karya penting yang mengupas psikologi kolonialisme dan alienasi identitas pada ras terjajah. - Turkle, Sherry.
The Second Self: Computers and the Human Spirit. MIT Press, 1984.
Menganalisis bagaimana teknologi, terutama komputer dan internet, mulai membentuk “diri digital” manusia.Lihat juga:
Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books, 2011. - Byung-Chul Han.
The Transparency Society. Stanford University Press, 2015.
Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power. Verso, 2017.
Dua buku pendek namun tajam yang membahas bagaimana kontrol sosial bertransformasi melalui transparansi dan self-exploitation. - Butler, Judith.
Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge, 1990.
Memperkenalkan konsep “identitas sebagai performa” yang bisa diperluas ke wacana digital masa kini. - Bauman, Zygmunt.
Liquid Modernity. Polity Press, 2000.
Menggambarkan bagaimana kehidupan, relasi, dan identitas di era modern menjadi cair, fleksibel, dan tidak stabil.
Oleh: Naufal Ulum (Pedagang Buku)