Bayangkan saat Anda menyaksikan seorang pebulutangkis berlari ke depan lapangan. Berjaga-jaga untuk netting, melompat, lalu smash keras ke arah lawan. Di setiap reli panjang, dia tak hanya memakai kekuatan otot. Tapi juga kesabaran, strategi, dan keinginan kuat untuk tidak menyerah. Dunia bulutangkis itu punya banyak cerita tentang atlet-atlet yang tidak mau berhenti meski kalah duluan, cedera, atau dipandang remeh.
Ada pemain tunggal putri Chen Yufei dari China. Peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 itu seolah “melawan takdir”. Ketika segala tekanan datang — entah cedera atau harapan yang malambung tinggi — semangatnya tetap hidup. Ia terus mencoba dan terus bangkit dari kekalahan. Sampai akhirnya memenangi gelar besar. Chen Yufei pernah mengalami masa sulit setelah tampil kurang memuaskan di Olimpiade Paris 2024.
Setelah kalah di babak perempat final Olimpiade Paris 2024, Chen Yufei mengambil cuti. Mantan peringkat nomor 1 dunia bulutangkis tunggal putri itu menyatakan bahwa ia merasa lelah secara mental dan fisik. Ia merasa perlu “ruang untuk pulih”. Lalu ia, menghabiskan waktu sekitar 10 minggu di Australia untuk belajar bahasa Inggris. Merefleksikan kariernya sebelum kembali ke lapangan internasional. Comeback-nya sangat kuat. Di tahun 2025 ia memenangkan gelar di Thailand Open 2025 dan Singapore Open 2025 setelah periode sulit sebelumnya.
Dari Korea, lihatlah Lee Yong Dae. Ia pemain yang pernah jadi nomor 1 dunia di ganda putra. Ia juga pernah melewati masa sulit. Adaptasi partner, cedera, dan keputusan berat. Namun ia tetap berada di jalur. Terus berlatih, terus berusaha.
Dari Indonesia ada Marcus Fernaldi Gideon (berpasangan dengan Kevin Sanjaya). Ia pernah dinyatakan cedera parah dan harus menjalani operasi di pergelangan kaki pada tahun 2022. Namun kemudian ia kembali berkompetisi dan masih tampil di turnamen‐tingkat tinggi. Gideon menjalani operasi untuk mengangkat tulang kecil yang tumbuh di pergelangan kaki kanan dan kiri pada April 2022 di Portugal. Meski baru habis operasi, ia bersama pasangannya tampil di turnamen seperti Indonesia Masters 2022 dan Denmark Open 2022. Bahkan pasangan yang disebut “the minions” itu sempat menjadi runner up pasca operiasi.
Coba simak juga cerita pasang surut Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan. Pasangan juara dunia 3 kali (2013, 2015, 2019) itu sukses dan pernah menjadi ranking 1 dunia ganda putra itu mengalami pasang surut. Sampai pernah jeluar dari Pelatnas PBSI. Pasangan yang disebut “the daddies” sukses menjalani karir dan mampu bersaing dan naik podium beberapa kali dibandingkan dengan pasangan yang lebih muda. Pasangan itu pensiun dari atlet internasional pada 26 Januari 2025 lewat acara resmi “moment of honor”. Hendra pensiun saat umur 40 tahu, Ahsan berumur 37 tahun.
Pertanyaan kita adalah apa saja pelajaran utama yang bisa kita ambil dari mereka untuk dunia menulis artikel? Penulis pemula pun butuh mental seperti itu. Kebanyakan berhenti karena “tidak ada pembaca”, “tak ada respon”, atau “tidak tahu harus mulai bagaimana, darimana”. Tapi kalau Anda tetap menulis, tetap mencoba, kesempatan besar akan datang.
Pertama, sabar dalam proses. Atlet bulutangkis tahu bahwa latihan berulang-ulang, pukulan yang gagal, tangkisan yang meleset, semuanya bagian dari jalan menuju kemenangan. Sama dengan menulis. Ide pertama mungkin kacau, kata-kata belum pas, alur belum mengalir. Itu wajar. Tetaplah menulis, revisi, perbaiki sedikit demi sedikit.
Kedua, pantang menyerah meski gagal. Walaupun kalah di turnamen besar atau cedera berat, atlet besar tidak langsung pensiun saat gagal satu kali. Mereka kembali dengan tekad. Penulis pemula pun bisa menggunakan kekalahan — misalnya tulisan ditolak, editor bilang belum matang — sebagai bahan bakar. Anda bisa bilang, “Ok-lah aku gagal sekarang, tapi aku akan bangkit dan bikin yang lebih baik.”
Ketiga, usaha keras terus-menerus. Tidak ada atlet yang sukses tanpa jam latihan panjang, tanpa keringat, tanpa pengorbanan. Penulis yang menghasilkan artikel bagus juga bukan karena isi ide langsung bagus saja, tapi karena banyak baca, banyak latihan, evaluasi diri, belajar gaya penulisan, memperbaiki kebiasaan buruk seperti kalimat terlalu panjang atau diksi tidak tepat.
Keempat, pembelajaran terus-menerus dari kesalahan. Atlet bulutangkis akan tonton videonya sendiri, analisis lawan, tanyakan pelatih, perbaiki strategi. Penulis juga bisa. Baca tulisan sendiri setelah beberapa hari, minta teman baca, lihat bagian yang tidak enak dibaca, lalu revisi. Contoh kalimat yang terlalu panjang bisa diubah ke versi yang lebih sederhana. Menulis artikel juga memerlukan pemahaman yang mendalam tentang sasaran pembaca dan gaya bahasa yang tepat. Jadi, penulis artikel wajib tahu siapa sasaran pembacanya dan pakai kata yang bagaimana sehingga pas.
Bagi Anda yang masih baru dalam dunia menulis artikel, lihatlah analogi bulutangkis ini sebagai motivasi. Ketika Anda menulis, anggaplah lapangan, anggaplah raketmu adalah laptop atau notebook, dan ide-ide adalah shuttlecock yang Anda smash ke halaman pembaca. Kadang shuttlecock jatuh ke tanah. Artinya, tulisanmu belum diterima. Tapi jangan biarkan itu menghentikanmu. Latih terus, lancarkan pukulanmu, perbaikilah alur dan bahasa.
Jika dibahasakan bisa menjadi begini, “Ketika saya mulai menulis artikel pertama, saya mengalami begitu banyak revisi. Kalimat saya terlalu panjang, ide saya belum fokus, respon pembaca pun minim. Tapi saya tidak berhenti. Saya terus menulis, memperbaiki, belajar gaya yang lebih ringan. Sekarang respons pembaca mulai muncul, dan saya merasa lebih percaya diri.” Jadi, sabar, pantang menyerah dan usaha keras.
Penting bagi penulis pemula. Sadari bahwa jalan menuju tulisan yang “meledak” (populer, dibaca banyak orang) biasanya bukan jalan lurus. Banyak rintangan, banyak revisi, banyak detik-menit frustrasi. Tapi seperti pemain bulutangkis yang bangkit dari skor kalah, Anda bisa bangkit dari tulisan yang sederhana. Usaha Anda dilihat sebagai latihan. Semakin sering Anda latihan menulis, maka semakin tajam gaya Anda akan jadi.
Semangat pantang menyerah di dunia bulutangkis sangat relevan untuk penulis pemula. Sabar dalam proses, tidak takut gagal, terus berlatih keras, dan belajar dari kesalahan adalah kunci yang sama. Jika para atlet mampu menahan pukulan, bangkit dari kekalahan dan kembali ke lapangan, maka Anda sebagai penulis juga bisa menahan tulisan yang belum sempurna, bangkit, dan menulis lagi dengan lebih baik. Gigih dan konsistensi itu penting.
 
		 
				



