Onde-onde Ketawanggede
Ketika masuk ke Ketawanggede, ingatan saya itu dibawa ke kenangan akhir tahun 1990-an, saat saya mulai menetap di Malang. Ada tiga macam jajan pasar yang tiap pagi dan sore dijajakan dengan ditenteng keranjang bambu oleh beberapa orang dengan berjalan kaki. Jajanan pasar itu buatan pendatang yang tinggal di Ketawanggede, salah satu kampung selingkar kampus Universitas Brawijaya. Kue itu adalah onde-onde, getas, dan weci. Suara para penjaja itu masih saya ingat dengan baik. Pun aroma yang diuarkan tiga jajan pasar, yang ternyata hari ini sudah tidak lagi ditawarkan dari rumah-ke rumah secara berkeliling oleh penjajanya
Dalam kerangka itu, pawon bukan hanya ruang memasak, melainkan sekolah rasa dan etika. Seperti saya tekankan dalam buku Nusantara dalam Piringku (Gramedia, 2019), dapur Nusantara adalah arsip pengetahuan yang hidup, nama bahan adalah kosakata, teknik memasak adalah tata bahasa, dan jamuan adalah narasi sosial. Di pawon, pengetahuan berpindah bukan melalui ceramah, melainkan melalui praktik: mata yang mengamati warna tempe yang tengah digoreng, telinga yang membaca bunyi desis saat rajangan bawang merah dan bawang putih mencumbu minyak panas, asap yang mengular ke atas seolah membubung dari masakan yang dijerang di atas kompor.
Di Malang yang kian metropolis, menghidupkan nilai filosofis pawon berarti menempatkan kembali dapur sebagai ruang pembentukan karakter, penalaran ekologis, dan solidaritas keluarga. Narasi nguri-uri budoyo pawon di Ketawanggede mengingatkan hal yang sering terlupa: filosofi dapur sebagai etika keseharian. Pawon adalah penanda memulai aktivitas keseharian di suatu rumah melalui aktivitas cethik geni.
Sejarah kuliner Nusantara memperlihatkan keluwesan pawon menghadapi perubahan. Pengaruh asing tidak menenggelamkan identitas; sebaliknya, ia diolah dan dibumikan. Dari dapur keraton hingga meja rakyat, lahir Selat Solo, Bistik Jawa, Timlo, gudeg manggar, kipo Kotagede, dan nasi liwet. Penamaan lokal dipertahankan, teknik disesuaikan, bahan berpijak pada musim. Global menjadi lokal ketika bernegosiasi dengan rasa, bahasa, dan ekologi setempat.
Kini arus gastro-colonialism bekerja halus tetapi sistematis. Etalase rumah makan dan warung kaki lima menata selera kota menjadi seragam: citarasa Korea, Jepang, hingga makanan cepat saji ala Barat, merebut ruang imajinasi dan estetika penyajian. Dalam proses itu, bahan lokal dicurigai kurang modern, dan kisah produksi tercerabut dari piring kita sendiri. Jika dibiarkan, kita kehilangan ragam ingatan sekaligus martabat para produsen pengetahuan tentang pangan, peracik, peramu citarasa yang menjaga gawang lumbung pangan kita.
Jalan Pulang ke Selera Asal
Salah satu jalan pulang dimulai dari kemasan. Daun pisang dengan beragam lipatan—pincuk, takir, pincukan segitiga, tum—bukan sekadar estetika hijau. Ia memperkuat aroma masakan, menjaga suhu, mengatur porsi, dan mempertemukan indera dengan aroma alam. Di tangan generasi muda, kemasan ini menjadi kanvas desain yang menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan beban, melainkan gaya yang berkelas.
Strategi berikutnya ialah storytelling. Cerita onde-onde yang menyatukan wijen, gula, kacang hjau, dan tepung ketan; getas yang sederhana namun jujur; weci yang memuliakan irisan sayur dengan tepung terigu; rawon yang berpasangan dengan mendol, bukankah kepandaian menyiasati tempe yang sudah mulai membusuk dan beraroma semangit merupakan warisan meminimalkan sampah makanan, yang hari ini menobatkan Indonesia sebagai? Orem-orem yang memanjangkan ingatan pada tempe, dan rawon yang diolah dari kluwek beracun yang sudah dijinakkan melalui pengetahuan masa lalu sehingga disebut sebagai sup hitam kebanggaan. Bila setiap bungkus makanan menyertakan kisah pendek, stiker, kode batang, atau cap sederhana, citarasa menetap lebih lama dalam memori jangka panjang.
Ruang aksi terbaik ada pada generasi muda, terutama mahasiswa, sebagai pengguna etalase makanan kota Malang paling aktif sekaligus produsen tren. Alih-alih ceramah, ajak mereka mengalami: pop-up stall kampus–UMKM berkemasan daun pisang; rilisan menu musiman berbahan lokal (singkong, kelor, kluwek, manggar) layaknya perilisan kreatif; serta kisah makanan yang bisa dipindai dari kode batang (QR-story) yang menghadirkan informasi gizi, ekologi, dan jejak pengolahan. Dengan cara ini, lokal tampil elegan, sehat, keren, dan bermakna.
Secara epistemologis, pawon memproduksi pengetahuan yang tak selalu tertangkap buku teks. Ukuran sejumput, secubit gula atau garam, seruas jahe, adalah satuan kultural dari pengalaman. Satuan-satuan ini membentuk literasi rasa: kemampuan membedakan tingkat ketebalan asap, derajat kematangan, dan titik didih santan, misalnya.
Metode pembelajaran efektif untuk menghidupkan pawon adalah practice-based learning. Kelas mini di rumah, balai RW, atau kantin kampus bisa dirancang sederhana: satu bahan bintang perpekan, satu teknik fokus, satu cerita pendamping. Misalnya, pekan kluwek: peserta belajar menetralkan racun dalam buah kluwek alias pucung, memahami fermentasi, dan mencicipi aneka side dish rawon. Yang dipetik bukan sekadar menu, melainkan cara berpikir, bahwa keselamatan, rasa, dan martabat dapat dirangkai dalam satu panci.
Dari sisi ekonomi, pawon yang berdaya mendorong sirkulasi nilai di lingkar terdekat. Ketika bahan dibeli di pasar kampung, uang berputar di radius yang memelihara banyak pihak: petani, pedagang, perajin kelontong. Kemasan daun mengurangi biaya dan limbah; olahan sisa, tempe semangit jadi mendol, nasi sisa jadi kerupuk, mengajarkan efisiensi yang bermartabat. Nilai tambah sisa makanan tidak lekas berakhir di tempat sampah, tetapi ia menguat dan hadir di meja makan.
Secara ekologis, pawon yang berpihak pada bahan lokal-musiman menurunkan jejak karbon dan memulihkan keanekaragaman pangan. Kebun kecil, bahkan di teras, memungkinkan bumbu dasar tumbuh: cabai, serai, daun jeruk, kemangi. Di skala kampung, bank bibit dan kebun bersama memperluas kedaulatan benih. Ketika rasa kembali berpijak pada musim, kota belajar bersabar dan merayakan rotasi alam.
Ritual komunal memperkuat pembelajaran. Kenduri, barikan di komunitas atau kampung menata ulang etika berbagi. Kenduri kecil di pekarangan, atau jamuan lintas generasi di balai warga memperkaya pertukaran pengetahuan. Di situ, resep menjadi teks lisan, alat masak menjadi media belajar, dan hidangan menjadi medium diplomasi keseharian.
Estetika pawon tidak kalah modern. Hijau daun, cokelat gula, putih ketan, hitam kluwek, kuning kunyit, dan merah cabai adalah palet yang siap diracik perancang visual. Foto uap yang mengembun di tutup kukusan berbicara tentang waktu, kesabaran, dan kesintasan. Desain menu menonjolkan nama lokal, bukan sekadar terjemahan, agar identitas rasa tampil percaya diri di hadapan global. Jangan lupa mencatat nama-nama piranti dapur yang masih menempel di ingatan para tetua kampung, soblukan, sutil, cowek, ulek-ulek, ceret, dan tampah adalah lumbung kosa kata pawon yang merekam perjalanan peradaban kita.
Jika Tengger mengajarkan keintiman pawon melalui label pagenen, masyarakat Samin menegaskan kemandirian , Banyuwangi memperlihatkan keluwesan sekaligus keberanian dalam meramu masakan (pecel rawon, rujak soto), dan Madura menguatkan solidaritas melalui citarasa sega Bhug atau citarasa masakan yang berani bumbu, maka Malang bisa menawarkan “bahasa rasa” yang mempertemukan semuanya. Malang adalah kota pendidikan, tempat bertemunya rupa-rupa etnis; KLK (Kampung Lingkar Kampus) adalah laboratorium. Di sini, pawon bisa menjadi ruang tamu (pagenen), ruang mandiri (Samin), ruang berani meracik (blended), dan ruang solidaritas ekonomi (pinggiran yang naik kelas). Malang dapat menjadi penjaga “tata bahasa” rasa: menjaga kosakata lokal, merawat tata urut memasak, dan menyusun kembali narasi makan bersama yang relevan di kota kampus. Termasuk menyajikan kembali atraksi sinoman saat hajatan, saat para peladen makanan dan minuman mempraktikkan etiket jamuan makan ala Jawa atau ala wilayah Indonesia lainnya.
Mengapa Pawon Penting
Pawon merupakan pusat produksi pengetahuan, tempat merapatkan keintiman keluarga, sekaligus ruang yang menyuguhkan makanan yang menjadi sarana diplomasi dan penurun tensi konflik antarindividu/kelompok. Masalahnya sekarang ialah urbanisasi dan pangan ultra-olahan mengubah pawon menjadi sekadar pantry alias dapur kering. Dampaknya menyentuh gizi, limbah, dan memori budaya. Pengganti teknik dengan bumbu instan mengikis literasi rasa dan keterampilan mengolah makanan di dapur, dan tentu memiskinkan isi lumbung pengetahuan gastronomi kita.
Kita lihat bagaimana pawon-pawon Nusantara menjadi bukti sintasnya sebuah generasi dan peradaban. Boyondi masyarakat Buol, dituturkan sebagai pangan substitusi ketika beras langka. Maka masyarakat mencampur beras dengan labu agar penggunaan beras tidka terlalu banyak, apalagi saat musim kemarau yang membuat panen padi sedikit.
Peralihan ke beras/terigu menyingkirkan sagu (papeda dan olahan lain), berdampak pada kedaulatan pangan dan ekosistem rawa-sagu. Jangan lupa, kalau sagu tak lagi dikonsumsi maka kosa kata yang mengiringi penananaman dan pengolahan sagu hingga siap disantap, juga akan lenyap.
Menggugat Gastro-colonialism
Gastro-colonialism adalah dominasi selera/produk/standar kuliner (sering kolonial-korporasi) yang menggeser pangan lokal. Perlawanan sehari-hari: penamaan asli, teknik tradisi, bahan lokal, dan nilai tambah yang kembali ke petani-pengolah. Gastro-colonialism di Indonesia bekerja halus melalui standarisasi selera, estetika, dan bahasa makanan yang didorong arus kapital, media, dan industri hospitality global. Di etalase kota, dari mal hingga warung cepat saji, rasa “modern” sering disamakan dengan citarasa Korea, Jepang, atau western, lengkap dengan nama menu berbahasa asing, plating minimalis, dan narasi premium yang meminggirkan bahan lokal. Dampaknya bukan sekadar pergeseran preferensi, tetapi kisah produksi tercerabut dari piring, petani kecil kehilangan posisi tawar, dan teknik tradisi dipersepsikan “kuno” atau “kurang higienis.” Pada saat yang sama, komoditas lokal yang naik kelas kerap mengalami krisis identitas, bumbu disimplifikasi agar universal, daun pembungkus diganti plastik demi kepraktisan dan keekonomisan, dan nama daerah diubah agar lebih “marketable.” Jalur ini mereproduksi relasi kolonial, yang dulu berbasis rempah dan logistik, kini lewat citra, kurasi, dan algoritma tren.
Kita perlu mengubah dapur (pawon) menjadi ruang kedaulatan rasa, menegaskan kembali teknik, istilah, dan musiman sebagai standar mutu; mengembalikan daun pisang, anyaman, dan tanah liat bukan sekadar dekor, melainkan teknologi rasa dan ekologi, serta menulis ulang narasi produk agar menyertakan jejak petani, waktu panen, hingga etika pemrosesan. Gastro-colonialism tidak ditangkal dengan anti-global, melainkan dengan negosiasi cerdas, adaptasi lintas budaya yang tetap memakai penanda lokal, pengembangan menu musiman di kantin sekolah/kampus, sertifikasi komunitas untuk kemasan berkelanjutan, dan storytelling yang menempatkan produsen sebagai subjek. Ketika bahasa menu memakai penamaan lokal yang percaya diri, kurasi festival memberi panggung pada bahan-bahan makanan tradisional (kluwek, manggar, sagu, nasi jagung. kelor), dan generasi muda mempopulerkan teknik tradisi melalui media digital, arus kolonisasi selera berbalik, global diramu agar membumi, bukan lokal yang dirapikan agar seragam. Sungguh menyeragamkan citarasa yang dicecap lidah, adalah upaya sia-sia.
Pada akhirnya, pawon Ketawanggede mengingatkan kita bahwa ingatan tidak hanya disimpan, melainkan dimasak kembali menjadi jembatan rasa yang bisa dilalui oleh masa kini dan masa depan. Dengan menghidupkan filosofi pawon, kita menegosiasikan global tanpa kehilangan jati diri. Kemerdekaan pawon adalah bentuk kemandirian dan kedaulatan pangan, mari kita rebut kembali!
Merjosari, 7 November 2025





















